Pagi hari, dan pagi harinya lagi, Chelsi selalu menuju ke rumah besar milik keluarga Adipati. Dia perlahan menyukai bekerja menjadi asisten pribadi Binar. Bukan, bukan menyukai saja. Tetapi Chelsi sangat-sangat menyukai bekerja sebagai bawahan wanita tua tersebut. Sifat Binar yang rendah hati, lemah lembut, juga keibuan, membuat Chelsi seperti menghabiskan waktu bersama ibu sendiri.
Sesekali mereka akan menghabiskan waktu di dapur, menemani Binar yang membuat masakan. Walaupun di rumah Adipati memiliki beberapa ART, tetapi tak membuat Binar hanya berpangku-pangku kaki. Wanita tua tersebut sangat menyukai keluarganya makan makanan yang dia buat. Maka dari itu, Binar yang selalu memasak untuk keluarga tercinta.
"Sudah nyiram airnya ke situ. Ntar kembung lagi bunganya."
"Emang bunga bisa kembung, Bu?"
"Iya, bisa. Terus mabuk, dan akhirnya layu."
Di sebuah cafe yang bergaya klasik, Abimanyu dan Chelsi duduk berhadapan di depan meja bundar. Dua cangkir kafelate yang bergambar love dobel tersaji di hadapan, lengkap dengan bolu karamel yang menarik perhatian Chelsi."Kenapa Anda bawa saya kemari, Pak?" tanya si gadis ketika melihat Abimanyu yang masih diam menatapnya.Katanya, akan mengantarkan Chelsi pulang. Tapi Abimanyu malah membelokkan kendaraannya di sebuah kafe tak jauh dari kompleks tempat tinggalnya."Kamu nggak suka saya ajak makan?" Abimanyu malah balik bertanya. Entah kenapa, Chelsi perhatikan mata sang pria tampak sayu."Suka, Pak." Chelsi mengangguk tipis."Suka dengan siapa?" Abimanyu menaikkan sebelah alisnya. "Suka sama saya?" tebaknya menyeringai.Chelsi kelabakan."Su-suka diajak makan di sini, Pak."&n
"Katakan." Lagi, Abimanyu bersuara. Embusan napas sang pria begitu kasar membelai wajah Chelsi. Gadis itu menutup mata erat."Menjauh, Pak." Chelsi berusaha mendorong tubuh kokoh itu. Percuma. Tenaganya tak sebanding dengan tubuh atletis tersebut."Jawab dulu pertanyaanku!" Suara sang pria terdengar berat. Chelsi menelan ludah susah payah, Abimanyu memang pandai mengintimidasi orang. Baik lewat sikap, ucapan, juga tatapan."Bisakah Anda bersikap lebih sopan? Lembut, tidak sombong, juga kasar," jawab Chelsi lirih dengan cepat, saat tangan Abimanyu bergerak ke tengkuknya. Chelsi takut pria itu macam-macam.Tangan kekar Abimanyu berhenti bergerak di belakang leher gadis itu. Dia terdiam, Chelsi pun sama. Hanya terdengar embusan napas satu sama lainnya, saling menampar.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Abimanyu menarik tubu
Bayangan seorang wanita cantik dan seksi yang pernah mengacaukan acara pernikahan mereka, terbayang di benak Affandi. Wanita itu, wanita yang pernah berusaha keras juga agar menghancurkan hubungan pernikahannya dengan Binar, bahkan wanita tersebut sampai ingin melenyapkan Binar dengan cara menabraknya."Dokter Affandi.""Ah, iya ...." Affandi tersadarkan dari lamunannya ketika melihat wajah pasien yang hendak dioperasinya malam ini.Dia kembali mengamati pasien yang tak sadarkan diri di bawah lampu operasi itu. Walaupun wajah wanita tersebut sekarang tampak kurus, berkerut, juga kusam. Namun, Affandi ingat betul, wanita itu adalah Venuska. Salah satu wanita yang pernah menjadi mantannya dulu. Sekaligus wanita yang pernah berniat membunuh nona kesayangannya.Tentu Affandi akan syok dengan hal ini. Setelah sekian lama, wanita yang dulunya pernah ingin mengh
Chelsi terlonjak bangun saat merasakan silau matahari menyinari wajahnya. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya."Kok aku bisa di sini?" Alis gadis itu bertaut mendapati dirinya di sebuah sofa panjang di dalam ruang rawat kelas VIP. Tubuhnya pun terbalut oleh sebuah jas putih. Tampak jas kedokteran. Punya siapa?Pandangan Chelsi lantas tertuju pada seseorang yang terbaring di ranjang depan sana. Ibunya. Sang ibu terbaring masih tak sadarkan diri dengan beberapa selang yang melilit di lengannya. Chelsi segera bangkit, memperhatikannya dengan baik. Memastikan kondisi ibunya baik-baik saja.Suara deritan pintu di arah jam sembilan, mengalihkan perhatian gadis itu. Berdiri di sana, seorang perawat yang hendak mengecek perkembangan kondisi ibunya Chelsi."Permisi, Mbak," sapa perawat itu sopan.
Affandi yang panik dengan gadis manis di hadapannya yang tiba-tiba tersedak, segera bangkit dari kursi sambil meraih gelas minum. Memberikannya ke Chelsi."Terima kasih," ucap Chelsi setelah meminum air yang diberikan Affandi hingga tandas. Lantas, dia menatap ayah atasan songongnya itu dengan melongo. Pertanyaan macam apa tadi?"Emm, pertanyaanku salah?" tanya Affandi polos.Chelsi tak habis pikir dengan kedua orang tua Abimanyu--pria yang terkenal garang itu. Ibunya begitu lemah lembut, sedangkan ayahnya agak tengil. Pertanyaan konyol seperti apa tadi."Boro-boro mau mempermainkan Pak Abimanyu, Pak. Setiap hari saja kendali hidupku ada di tangannya." Chelsi meringis. Berpikir, kemarin saja Abimanyu selalu memaksa agar mengikuti apa perintahnya. Apalagi sekarang, Chelsi punya utang ke dia, utang uang juga utang jasa. Pasti Chelsi sekarang tak ubahnya boneka di t
Dress brokat berwarna merah muda dengan lengan dan dada transparan, membalut pas di tubuh indah Chelsi. Gadis itu sedikit tercengang dengan hasil tangan para perias yang memoles wajahnya begitu sangat cantik hingga kelihatan berseri-seri. Rambut panjang Chelsi dikepang sedikit di kedua bagian pinggir rambut, lalu dibawa ke belakang dijepit.Chelsi kini sudah siap untuk datang ke perayaan acara ulang tahun Abimanyu, sekaligus penyambutan dia sebagai CEO baru Group Adipati. Gadis itu duduk di bangku sofa salon ternama yang mengajaknya tadi, menanti Abimanyu untuk menjemputnya.Ya, Chelsi lebih memilih untuk pergi bersama Abimanyu ketimbang Angkasa. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hati pria lembut tersebut, tentunya kecewa dan sakit, sebab merasa kalah lagi dari sang abang sepupu."Malam, Pak Abimanyu, Anda sudah datang?" Suara karyawan salon di ambang pintu, membuat Chelsi di samping kanan
"Lepas!" Chelsi menepis tangan Friska, sedikit membuat wanita itu terhuyung."Berani banget lo!" Mata Friska melotot tajam."Masalahmu apa dengan saya?" Chelsi meringis sambil membersihkan dada dress mahalnya yang cantik. Dibersihkan malah tambah kotor. Bagaimana sekarang?"Lo nggak usah kege'eran Abi ngasih cincin itu! Dia itu cuman mainin lo aja, bukannya ngelamar sungguhan." Sambil melipat tangan di dada, Friska melontarkan raut mengejek.Alis Chelsi mengernyit mendengar kalimat ambigu wanita di hadapannya. Dia menoleh ke kanan-kiri. Walaupun posisi mereka sekarang sedikit jauh dari keramaian, tapi tetap saja, ada orang yang berlalu-lalang menuju ke ruang acara. Dia merasa malu."Lo dengerin gue nggak, sih?" kesal Friska, merasa tak ditanggapi. "Gue itu kasihan sama lo, karena cuman dimainin sama Abi."
Gadis yang mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih dan dipadukan dengan celana jins hitam itu, perlahan memasuki rumah besar keluarga Adipati. Seorang ART berusia lanjut menyambut kehadirannya di pintu."Owh, Nak Chelsi. Ayo, Nak. Bu Binar dari kemarin kangen sama situ." ART tersebut langsung menarik gadis berambut panjang itu yang dibiarkan tergerai. Menuju ke ruang keluarga. Tepatnya ke meja makan.Sesampainya di sana, Chelsi terpaku. Tepat, pandangannya langsung bersirobok dengan seorang pria yang mengenakan kaus oblong putih. Segera Chelsi memutuskan kontak mata, dan beralih pada pria muda lainnya."Chelsi," sapa pria tersebut, yang tak lain adalah Angkasa."Anda di sini, Pak?" Chelsi ikutan menyapa. Lantas, tersenyum hormat pada Binar yang duduk di samping Abimanyu."Ayo, Nak Chelsi, makan dulu." Binar segera bangkit dari kur
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda