Masih dengan menutup mata dikarenakan kantuk, Affandi membelai sisi ranjang di sampingnya. Kosong. Sosok yang dicari-carinya itu tak tertangkap oleh telapak tangannya. Sambil memijit pangkal hidungnya, pria yang mulai beruban itu bangun dari tidur. Pandangannya mengedar ke sekitar, mencari-cari wanita paling berharga di hidupnya."Binar?" Affandi menuju ke kamar mandi. Mengetuknya, tetapi tak terdengar sahutan. Pandangan Affandi terlempar ke jam dinding. Pukul 00.30, dan istrinya tak ada di kamar."Dia pasti berada di sana lagi," gumam Affandi sambil mengembuskan napas kasar. Segera dia melangkahkan kaki ke ruangan yang dimaksud tersebut.Dalam ruangan temaram yang hanya disinari lampu tidur, Binar terduduk sambil memeluk sebuah boneka berwarna pink. Sesekali mata yang mulai menua itu tergenang air, lalu meluncurlah anak-anak sungai."Nona." Suara A
Friska yang melihat Chelsi memilih ikut Angkasa ketimbang Abimanyu, membuat wanita itu tersungging senyum miring, mengejek sang pria. "Bagaimana, apa dia sudah berhasil kamu dapatkan, Abi?" Friska memukul lengan berotot Abimanyu. Pria itu melirik tajam seraya membersihkan lengannya yang sehabis dipukul Friska, seolah wanita itu meninggalkan bekas noda di sana. "Pasti bisa. Gadis seperti dia gampang dapatinnya." Tak ingin berlama-lama dengan wanita seperti Friska yang selalu membuat Abimanyu gerah, pria itu memutuskan mengejar langkah Chelsi dan Angkasa yang belum jauh. "Abii ...." "Berhenti mengikutiku, atau saya akan menyuruh penjaga keamanan untuk menandai wajahmu agar tak diizinkan lagi masuk ke sini!" ucap Abimanyu penuh penekanan. Bahkan, Abimanyu bingung harus dengan cara apa agar wanita seperti Friska itu menjauhinya. Memang Friska lumayan cantik, tetapi gaya pakaian, make-up, dan tingkahnya yang dibuat-buat berlebihan, membuat Abimanyu ilfeel setengah mampus. Muak! "Tung
"Ada apa, Pak? Kenapa kita malah ke sini?" Chelsi melipat tangan di dada. Sambil menatap Abimanyu kesal, gadis itu menghempaskan bokong di bangku taman.Chelsi pikir, Abimanyu akan memberikan dia pekerjaan kantor. Tetapi siapa sangka, atasannya yang terkesan misterius itu malah mengajaknya ke taman. Chelsi jadi tak enak hati dengan Angkasa tadi, terlebih ketika mengingat Angkasa ingin membicarakan sesuatu yang penting. Berurusan dengan utangnya pula."Kamu benaran punya utang sama Angkasa?" Abimanyu mengikuti arah pandang Chelsi yang memandang ke arah gedung kantor Group Adipati.Chelsi tak menjawab, dia hanya memindai penampilan pria berkemeja lengan pendek dan dibalut rompi itu. Lantas, Chelsi menghembuskan napas kasar."Kenapa Anda membawa saya kemari? Pak Direktur tadi sepertinya ingin membicarakan hal yang penting denganku. Siapa tau saja, dia
"Selamat atas terpilihnya Anda sebagai CEO yang baru, Pak Abimanyu.""Selamat, Pak. Semoga bisa membawa kemajuan yang lebih besar lagi untuk perusahaan kita ini.""Selamat, Pak.""Selamat."Usai pengunduran diri Aiman di Group Adipati, dan melantik Abimanyu sebagai penggantinya menjadi CEO di perusahaan, rapat yang dihadiri oleh petinggi perusahaan dan lumayan banyak staff ini, saling memberikan selamat pada Abimanyu. Pria yang mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru tua, lengkap dengan rompi yang membalut tubuh kekarnya itu, tak pernah luntur senyum tipis di wajahnya. Mata Abimanyu juga berbinar-binar, menandakan betapa bahagianya dia mendapat jabatan tertinggi di perusahaan saat ini."Selamat, Bang Abi. Semoga kamu bisa memikul tanggung jawab besar ini." Sekarang giliran Angkasa yang menjabat tangan Abimanyu.Abimanyu hanya m
Mobil melaju sangat pelan, melewati gedung-gedung yang tampak temaram di sisi jalan. Sesekali Abimanyu menoleh pada gadis yang tampak cemberut di sampingnya, lalu kembali menatap lagi ke depan."Kamu tidak suka, saya antar pulang?" Akhirnya, Abimanyu bersuara.Chelsi hanya menggeleng menanggapi, tak sedikit pun menoleh ke sumber suara. Pikiran gadis itu dipenuhi oleh raut yang tampak syok di wajah neneknya Abimanyu tadi. Mungkin Binar takkan menyadari raut syok Ambar ketika menatap Chelsi yang barusan masuk tadi. Tapi Chelsi sangat melihat jelas, bagaimana wanita tua ringkih tadi, syok mendalam saat melihatnya. Seperti orang yang ketakutan saat melihat setan."Hey ....""Aaa!" Tangan Chelsi impulsif melayang, wajah Abimanyu tiba-tiba berada di samping pipinya.Sigap Abimanyu menahan lengan halus itu, sambil mengunci mata indah d
Suara batuk di pagi hari mengganggu tidur Chelsi yang rasanya baru sekejap. Hampir semalaman, gadis itu tak bisa memejamkan matanya. Wajah Abimanyu yang mendekat dengan tatapan menghanyutkan selalu menggoda benaknya. Segera gadis itu menyingkap selimut, lalu menuju ke sumber suara."Mama kenapa?" Segera Chelsi meraih lengan ibunya yang terduduk di lantai.Wanita tua yang telah beruban di rambut dan selalu melilitkan syal di leher itu, memang terbilang sering kali sakit-sakitan. Sering tubuh tuanya itu drop dan harus menjalani perawatan instensif di rumah sakit. Jika ada uang lebih, maka Chelsi akan melakukannya. Tetapi jika tidak, maka ibunya cukup dibantu obat-obatan dari kios saja ketika sedang drop. Beruntung, di tengah rumitnya hidup, Chelsi dilimpahkan tetangga yang mau saling membantu. Jadi, kalau Chelsi seharian pergi bekerja, dia tak terlalu memusingkan kondisi ibunya di rumah. Sebab, para tetangga mau saling memb
Abimanyu mengikuti langkah Chelsi menuju ke ruangan kantornya. Tanpa memedulikan perasaan kacau gadis itu. Bahkan, wajah Chelsi sekarang telah memerah melebihi kepiting rebus. Entah, kesal, malu, atau hal lainnya pada Abimanyu."Kenapa Anda ikutan masuk kemari, Pak? Bukankah sekarang ruangan ini bukan lagi ruangan Anda," ujar Chelsi mengingatkan Abimanyu, bahwa dirinya sekarang bukan seorang manajer lagi. Dan mereka tak lagi seruangan. Entah siapa nanti atasan baru Chelsi, yang pastinya gadis itu berharap manajer baru tersebut takkan jangan seperti Abimanyu."Kenapa? Marah denganku?" Kebiasaan Abimanyu, suka sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.Chelsi membuang muka ketika mengingat aksi mereka berdua semalam di mobil. Bisa-bisanya dia membalas ciuman atasannya yang sombong itu. Rasanya wajah gadis itu telah kebas akibat rasa panas yang menjalar dari pompaan jantung y
Pagi hari, dan pagi harinya lagi, Chelsi selalu menuju ke rumah besar milik keluarga Adipati. Dia perlahan menyukai bekerja menjadi asisten pribadi Binar. Bukan, bukan menyukai saja. Tetapi Chelsi sangat-sangat menyukai bekerja sebagai bawahan wanita tua tersebut. Sifat Binar yang rendah hati, lemah lembut, juga keibuan, membuat Chelsi seperti menghabiskan waktu bersama ibu sendiri.Sesekali mereka akan menghabiskan waktu di dapur, menemani Binar yang membuat masakan. Walaupun di rumah Adipati memiliki beberapa ART, tetapi tak membuat Binar hanya berpangku-pangku kaki. Wanita tua tersebut sangat menyukai keluarganya makan makanan yang dia buat. Maka dari itu, Binar yang selalu memasak untuk keluarga tercinta."Sudah nyiram airnya ke situ. Ntar kembung lagi bunganya.""Emang bunga bisa kembung, Bu?""Iya, bisa. Terus mabuk, dan akhirnya layu."
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda