Langkah Abimanyu dan Chelsi yang menuju ke luar kantor, terhalang oleh kedatangan Angkasa. Pria dengan setelah jas rapi itu, mengernyit melihat kelakuan abang sepupunya yang makin hari, makin tidak bisa ditolerir. Angkasa segera menahan langkah Abimanyu yang menyeret Chelsi.
"Minggir!" Tingkah Angkasa membuat Abimanyu geram. Dia melayangkan tatapan tajam pada sang adik sepupu.
"Lepasin dia!" Angkasa malah mengalihkan pandangan pada pergelangan tangan Chelsi yang digenggaman kuat oleh Abimanyu. "Lepas!" lanjutnya menegaskan.
"Jangan ikut campur urusanku!" Abimanyu menepis kasar tangan Angkasa yang hendak meraih lengan Chelsi. "Jangan pikir kamu direktur di perusahaan ini, saya akan tunduk padamu?" Tatapan Abimanyu, melayangkan permusuhan.
Angkasa menghela napas dalam-dalam. Dia mengamati raut kesakitan yang terpajang di wajah manis Chelsi. Angkasa memang tidak tah
Sudah hampir seminggu, Chelsi bekerja di Group Adipati. Selama seminggu itu pula, Chelsi tak pernah lagi melihat Abimanyu datang ke kantor. Di ruangannya, Chelsi disibukkan dengan file-file yang menggunung, diberikan oleh Revi. "Kerjakan semua ini!""Ini juga!""Semua ini diperintahkan oleh Pak Angkasa. Karena Pak Abi tak datang ke kantor, jadi kamu yang harus meng-handeled pekerjaannya. Bisa 'kan? Kalau nggak bisa, ya mending keluar aja."Setiap hari, Revi masuk ke ruangan Chelsi sambil membawakan gadis itu pekerjaan. Dengan menjual nama Angkasa, Revi memberi perintah sesuka hati. Bahkan, ada beberapa pekerjaan yang harusnya dia kerjakan, tetapi malah menyuruh Chelsi untuk mengerjakannya. Lima hari ini, Chelsi pulang sampai larut malam. Kadang, dia takut sendirian bekerja di kantor. Dia juga takut pulang sendirian. Tapi apa boleh buat, semuanya harus dia lawan demi sesuap nasi. "Heh, mau ke mana?" Revi menahan ketika melihat Chelsi keluar ruangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.
Wajah gadis itu memucat dengan langkah yang perlahan tertarik ke belakang. Hampir saja terjungkal saat pahanya menabrak kursi, untung seseorang yang dia tampar tadi lekas menahan pinggang ramping wanita itu. Menariknya mendekat. Mata Chelsi membulat sempurna mendapat perlakukan tiba-tiba seperti itu. Sementara pria dingin di hadapannya tetap memperlihatkan raut datar. Dari cahaya senter ponsel si pria, mereka bisa saling melihat netra masing-masing. Chelsi tenggelam beberapa saat dalam tatapan elang yang tampak menghunjam itu, sementara sang pria terlena menatap mata bulat di bawah dadanya. Sampai petir kembali berkilat disusul raungannya yang keras, Chelsi terlonjak sadar."Maaf, maaf." Gadis itu segera menjauh, sambil mengusap lengannya yang terasa basah."Dasar bodoh!" umpat sang pria yang tak lain adalah Abimanyu. Dia mengusap wajahnya yang terasa lumayan memanas akibat tamparan si gadis.
Chelsi menatap lekat kedalaman mata yang tampak kelam itu. Sementara Abimanyu tetap memperlihatkan raut datar, sambil menungunci tatapan si gadis. Mencoba meneror pikiran gadis itu dengan perkataan juga sikapnya."Mau saya buatkan mie, Pak?" Chelsi bangkit berdiri, memutuskan kontak mata dengan Abimanyu.Sementara sang pria tak menjawab apa pun. Dia lapar, tapi gengsi bilang iya. Alhasil, dia hanya menutup mata.Melihat sang bos hanya diam saja, Chelsi berinisiatif membuatkan mie tersebut. Lagi pula, dia juga sudah merasa lapar. Sebelumnya, sore tadi dia sudah membawa amunisi buat teman lemburnya malam ini. Karena tidak mungkin, jika dia lapar, harus ke pantry dulu di sela kesibukannya."Iyah, tinggal satu." Chelsi mengulum bibir sendiri, baru teringat tadi sudah menyeduh satu cup mie instan. Tinggal satu lagi. Sementara dia sudah menawarkan akan me
Cahaya mentari di pagi hari menembus kaca jendela besar itu. Menghantarkan hangat juga silau pada wajah manis yang berada di dalam ruangan tersebut. Chelsi menggeliat, alisnya bertaut tak suka pada cahaya yang menganggu tidurnya, yang terasa baru sekejap. Dia menggeliat lagi, dan merasakan begitu nyaman tempat tidurnya saat ini. Begitu empuk, lengkap dengan selimut yang membalut tubuhnya.Tunggu? Selimut? Chelsi langsung mengingat jika semalam terlelap sambil terduduk di lantai. Segera gadis itu membulatkan mata. Bangun, dan mengecek pakaian ketika mengingat jika dia semalam terjebak bersama sang manajer yang selalu memancing hal tidak-tidak padanya."Huft, syukurlah ...." Chelsi menghembuskan napas lega. Tapi setelah itu, dia terdiam sambil berpikir keras. Dirinya sekarang tertidur di sofa, dibalut selimut pula. Siapa yang melakukannya?"Apakah Pak Manajer?" Gadis itu menged
Chelsi lari menuju ke dalam kantor, dengan Abimanyu yang mengejarnya lewat tatapan tajam. Ingin menangkap gadis kurang ajar itu, tetapi lengan Abimanyu gegas dicekal oleh gadis yang memberikan Abimanyu kue cokelat tadi."Lucu sekali kamu, Abi. Demi menghindariku, malah menarik gadis lainnya untuk menjadi tunangan pura-pura kamu. Mana gadis itu nolak kamu mentah-mentah pula." Tawa yang dibuat seolah mengejek Abimanyu itu, berhasil membuat ego sang pria tertampar.Rahang Abimanyu mengeras, tatapan tajamnya dia lemparkan ke gadis berbaju mini itu. "Lepas!" perintahnya tegas sambil menatap lengan kekarnya yang masih digenggam erat si gadis bodoh di sampingnya itu."Abi ....""Menjauh dari hadapanku!" Abimanyu sedikit menyetak lengan halus itu, membuat Friska sedikit terhuyung ke belakang.Mengembuskan napas kasar, Abimanyu kembali m
Layangan tangan Revi terhenti di udara, dengan tatapan melotot pada siapa yang lancang, berani menghentikan tamparannya ke Chelsi. Sementara Chelsi juga ikutan melebar matanya melihat pria dengan rompi maroon itu, yang telah menyelamatkan dirinya dari layangan tangan kasar Revi. Sebenarnya, Chelsi bukannya tak bisa melawan wanita seperti Revi. Tapi, dia sadar jika Revi bukanlah lawannya. Chelsi takut, jika dia ikutan bertindak kasar, dipastikan tulang sekertaris direktur itu bisa saja patah."Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini di ruanganku, hmm?" Pria yang tak lain adalah Abimanyu itu, menggengam keras lengan kecil itu."Aww, sakit, Pak." Revi meringis, tak tahan dengan tenaga kuat Abimanyu."Jangan mencari masalah, jika tak ingin disakiti!" Abimanyu menyentak lengan Revi. Pinggul wanita itu sedikit membentur meja. Membuatnya kembali meringis."K
Mendengar suara dengan intonasi dingin di belakangnya, Chelsi sontak berbalik. Mengahadap kegelapan. Sepertinya familiar dengan suara bariton yang mencekam itu. Lampu di dalam mobil dinyalakan oleh si empu mobil, membuat mata Chelsi sontak menutup erat. Netranya terkejut dengan cahaya yang tiba-tiba itu. Dan ketika hendak membuka mata, wajah sang manajer garang itu memenuhi indra penglihatan."P-Pak ...?" Melotot gadis itu ketika mengetahui dia masuk ke sarang serigala. Pandangannya mengedar tak percaya ke seisi mobil, lalu terhenti pada wajah Abimanyu yang tampak datar. "I-ini mobil Anda?" tanyanya tertekan.Abimanyu tak menjawab. Dia sedang berusaha menahan senyum. Entah kenapa, wajah Chelsi dengan raut syok seperti itu sangat menggemaskan untuk dilihat. Belum lagi wajahnya yang mulai merona merah, menambah kesan manis di wajah gadis tersebut."Malu dilihat Angkasa dalam kondisi
Perlahan, Abimanyu mengusap permukaan yang tampak halus itu. Jantungnya berdegup kacau. Dia tersenyum smirk, merasakan perasaan asing di hatinya. Tak tega rasanya pria itu jika menganggu tidur Chelsi yang barusan terpejam. Abimanyu berpikir sebentar, bagaimana caranya mengetahui tempat tinggal Chelsi. Lantas, pandangannya tertuju pada tas selempang gadis itu. Dia meraihnya, mencari-cari tanda pengenal si gadis."Apa ini?" Namun tangannya malah menangkap hal lain yang membuat alis pria itu bertaut. Sebuah botol semprot mini berwarna merah. Abimanyu mengendusnya, dan tergelitiklah pria itu. Dia tertawa pelan. "Pantas saja dia tak takut denganku jika kuapa-apain, ternyata dia punya senjata rahasia.""Dasar, gadis licik."**Berbekal alamat dari kartu identitas si gadis, Abimanyu mulai memasukan mobilnya ke kompleks yang sangat jauh berbeda dengan kondisi kompleks elit t
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda