TERTANGKAP
Di sebuah rumah yang cukup megah. Dengan tiang-tiang yang kokoh menjulang, dilapisi emas di tiap tiang penyangganya. Terlihat dari kejauhan dua buah mobil memasuki pelataran secara beriringan setelah berkomunikasi dengan beberapa penjaga yang menunggui rumah tersebut.. “Benar, ini alamatnya.” Tanya seseorang dengan nada memaksa. “Betul, Pak.” Jawab laki-laki tersebut sambil menundukkan wajahnya.“Selamat pagi. Benar ini kediaman dari Mr. Xiao Alexander?” Tanya Kepala polisi kepada asisten rumah tangga. Kehadiran polisi berseragam dengan membawa senjata lengkap membuat asisten rumah tangga itu menjadi gugup. Jelas terlihat dari raut wajah asisten rumah tangga itu sambil menutup mulut dengan kedua tangan karena tercengang. Sebab seumur-umur asisten rumah tangga itu belum pernah menyaksikan secara pribadi kejadian seperti ini. Tak lama kemudian asisten rumah tangga dikagetkan dengan suara dari kepala polisi tersebut dengan pertanLUNASSetelah melunasi hutang. Mereka Kembali ke rumah kecil mereka di sekitar pinggiran ibu kota. Awalnya mereka berencana pergi ke tempat orangnya langsung. Namun, menurut debt kolektor yang biasanya datang ke rumah mereka untuk menagih hutang, cara melunasi hutang tersebut hanya perlu transfer melalui bank. saat mereka berdua tiba di rumah kecil mereka di sekitar pinggiran ibu kota untuk bersantai. Tiba-tiba mereka menerima pesan teks dari rentenir tersebut. “Selamat malam, masih ada waktu kurang dari tiga hari untuk melunasi bunga yang belum dibayarkan sampai akhir bulan ini. Jika anda tidak melunasinya segera. Maka bunganya akan terus membengkak.” Seru Rentenir.Mereka tercengang Ketika menyadari bahwa masih ada sisa hutang yang belum dibayarkan. Mereka hanya memiliki sisa uang sekitar tiga juta rupiah dari hasil menjual rumah warisan. Tetapi rupanya mereka masih harus membayar bunganya lagi. “Sungguh, ini pemerasan.” Ucap salah satu dari mereka. Menurut mereka, jika tida
SYOKMbah tidak tahu apa yang yang harus ia perbuat. Ini karena kondisi psikis cucu tercintanya ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Sebab Ketika beberapa orang yang menggunakan seragam lengkap datang kerumahnya untuk mengantar cucunya tersebut. Kondisi cucunya itu sudah dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Tubuhnya Lemah, dehidrasi, juga tatapan matanya kosong. “Kenapa dengan Shaina, Pak? “ Ujar Mbah khawatir. Nada suaranya menyiratkan kegetiran dan kesedihan melihat cucunya dalam keadaan seperti itu.Ini adalah pertama kalinya Shaina mengalami situasi dimana ia mengalami hal mengerikan seperti itu. jelas sekali penculikan itu telah membuat luka yang sangat besar bagi Shaina. Bahkan terlihat bahwa Shaina mengalami goncangan psikis yang sangat berat. Setiap malam ia akan mengigau berteriak-teriak secara histeris. Juga ketika ada kerabat atau tetangga yang datang berkunjung untuk menengok, Shaina akan menangis tiba-tiba. Seperti orang yang tidak ing
BERANGSUR-ANGSUR MEMBAIKDi dalam kamar, Shaina kedapatan tengah duduk bersila membelakangi pintu kamarnya. “Tidak. Ini semua salahku. Aku yang menyebabkanmu mati!” Pikir Shaina dalam hati tak bisa mengendalikan emosi. “Aku minta maaf Shinta. Aku minta maaf. Shinta! Shinta!” Lanjut Shaina dengan ekspresi yang sangat mengerikan.Mendengar apa yang Shaina ucapkan. Semua orang yang ada di ruangan itu segera menemukan diri mereka gemetar. Namun, kali ini Marselina datang lagi berkunjung membawa seorang Psikiater yang sangat berpengetahuan dan sepertinya, Psikiater yang dibawanya kali ini bukan tipe orang yang akan membuat lelucon seperti yang sebelum-sebelumnya. “Bagaimana keadaan Shaina?” Tanya Marselina Ketika Psikiater itu keluar dari kamar Shaina. “Saya belum dapat memberikan jawabannya sekarang. Sebab saya masih harus melakukan penyelidikan terhadap kondisi psikis Shaina. Tapi saya yakin Shaina masih bisa di sembuhkan traumanya.
HARAPAN BARUKesehatan mental Shaina berangsur-angsur membaik setiap harinya. Mbah pun juga merasa lebih tenang melihat perkembangan Kesehatan dari Shaina. Meski pada mulanya Mbah merasa pesimis. Menemukan Kembali keceriaan dari Shaina, mata Mbah berbinar. Di sela-sela rehabilitasi Shaina. Mbah berbincang-bincang dengan Psikiater itu. juga tak lupa Mbah berterima kasih karena Psikiater itu mau menolong menolong Shaina.Mbah di beri petunjuk oleh Psikiater itu sedikit demi sedikit sejak awal, bagaimana berbicara dengan Shaina, percakapan apa yang harus dihindari, dan bagaimana membuat Shaina tenang, jika sewaktu-waktu Shaina berteriak-teriak. Mbah mengangguk menuruti permintaan dari Psikiater tersebut. “Saya mengerti dok. Terima kasih.” Jawab Mbah dengan perasaan kagum terhadap Psikiater muda yang ada di depannya ini. “Beruntung sekali laki-kali yang kelak akan menikahimu nak. Kamu sudah cantik, baik hati, sabar, juga telaten mengurus pasien. Pasti s
KABAR DUKATiga hari yang lalu, Mbah memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk kesembuhan Shaina. Itu adalah keyakinan yang sungguh luar biasa. Mbha tak kenal Lelah merawat Shaina hingga bisa melakukan aktifitas seperti sedia kala. Shaina berangsur-angsur dapat berdamai dengan masalah penyesalan dirinya karena kematian tragis yang dialami Shinta, sahabatnya.Bahkan saat pihak kepolisian melakukan investigasi mengenai kematian Shinta. Shaina hadir menjadi saksi. Juga Shaina ikut membantu saat pihak kepolisian membongkar kuburan dari jenazah Shinta. Ia sudah bisa melewati fase berdamai dengan trauma yang ia alami.***Satu hari setelah kejadian autopsi mayat Shinta. Shaina membuat janji untuk bertemu dengan marselina di sebuah tempat hiburan di dekat pusat kota. Mereka bertemu sesaat setelah Shaina tiba di lokasi pertemuan. Mereka ngobrol Panjang lebar mengenai banyak hal. Mereka tertawa bersama, Ketika membicarakan Reza. Pacar dari Marselina. “Bagaimana mungkin, R
KAMBUH Setibanya di rumah, Shaina terperanjat. Setelah melihat emandangan yang tidak biasanya di rumah. Ketika itu rumah Shaina sudah dikerumuni oleh banyak orang. Orang—orang yang ada di sana menggunakan pakaian serba hitam. Pikiran dari Shaina mulai berkecamuk Ketika ia tahu bahwa yang meninggal adalah Ayahnya. Salah satu orang yang sangat disayangi Shaina. “Ayah kenapa bu?” Tanya Shaina kepada ibunya yang sedang duduk di atas permadani untuk membacakan doa kepada mendiang suaminya tersebut.***Meninggalnya Ayah dari Shaina yang tiba-tiba, membuat ibu masih tidak percaya kalau suami tercintanya itu sudah tiada. Padahal malam sebelum kejadian, pasangan suami istri itu masih makan bersama. Bahkan masih sempat mengobrol sebentar, sebelum kemudian pergi tidur.Bahkan seminggu belakangan, tak ada perubahan atau tanda-tanda sakit dari Ayah Shaina. Tidak demam, bahkan flu pun tidak. Kejadian yang mendadak itu jelas membuat Ibu Shaina menjadi terpukul. Seolah-olah kejadi
IBU***Jauh sebelum duka mendalam kehilangan suami tercinta. Ibu membantu suami tercintanya itu mencari nafkah. Semenjak suaminya berhenti bekerja, memang ibu kerap membantu mencukupi kebutuhan ekonomi. Mulai dari menjadi buruh cuci, hingga asisten rumah tangga paruh waktu.Apalagi setelah mereka kehilangan rumah warisan akibat hutang yang dimiliki Shaina. Kehidupan mereka semakin terperosok. Saat itu, mereka juga baru membeli rumah baru sehabis menjual rumah warisan, namun tak berselang lama. Rumah baru itu juga harus mereka jual untuk menutupi bunga dari hutang Shaina yang sudah membengkak.Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Semenjak mereka menjual rumah baru itu, Kesehatan suaminya mulai menurun setiap harinya. Jadi semua tanggung jawab menafkahi keluarga mau tidak mau harus diemban oleh Ibu seorang. Menjadi buruh cuci dan asisten rumah tangga paruh waktu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua sehari-hari. Uang yang mereka hasilkan t
KENANGAN IBU“Bu, Ayah kenapa meninggal bu?” Kejar Shaina. Suaranya meraung memenuhi ruangan. Disambut oleh isak tangis keluarga, juga kerabat terdekat. termasuk nenek yang datang jauh-jauh menemani Shaina. “Ayah, maafkan Shaina. Shaina hanya bisa menyusahkan keluarga sampai saat ini. Shaina belum bisa membahagiakan Ayah. Bahkan hingga saat ini. Yah bangun Yah. Shaina pulang.” Rengek Shaina di dekat jenazah Ayahnya.***Di sisi lain, Ibu yang juga turut ada di sisi Shaina. Hanya dapat tertunduk lesu melihat. Tubuh suami tercintanya terbujur kaku, dengan wajah pucat. Ibu tak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang terus mengalir membasahi kedua pipinya yang memerah. Bahkan sampai mendiang suaminya itu di masukkan ke liang lahat, ekspresi Ibu juga tak berubah. Lemas, tatapannya kosong, hanya air mata yang mengalir di kedua pipinya yang bisa memberikan gambaran betapa Ibu sangat terpukul. Sepulang dari tanah makam, Ibu masih juga terlihat murung. Makan tak mau, minum j