Punggung Patricia menabrak dinding dengan begitu keras sampai membuatnya terdiam beberapa saat. William hanya memerhatikan kakaknya dengan cemas, tapi dia tidak berani untuk mendekat. Patricia tertegun karena William ternyata berani untuk melawannya balik meski dia yang sebenarnya bersalah.“Nona, kau tidak apa-apa? Apa ada yang terasa sakit?” David mendekat dan mencoba untuk menenangkan Patricia yang masih terlihat syok.“Tidak apa-apa, tolong menjauh dariku David. Aku tidak ingin kamu terluka juga karena aku.” Patricia menolak bantuan David dan malah menatap William dengan tajam.“Jadi begitu, Will? Kamu sudah berani untuk melawanku sekarang? Kamu tahu siapa yang salah di sini bukan. Ingin menyiksaku sejauh mana, hah?” cecar Patricia. William sama sekali tidak berkutik dan terus bungkam tanpa mengatakan apa pun. Keduanya sama-sama sedang emosi.Patricia berjalan mondar-mandir untuk lebih menenangkan dirinya dari rasa marah yang meluap-luap pada William. Memukulinya bukan sebuah solu
Sean menatap tajam pada Patricia yang sedang tertidur pulas di ranjangnya tanpa memedulikan sekitarnya. Beberapa pelayan tampak sibuk membereskan beberapa bagian rumahnya berjalan kesana kemari.“Tuan, aku sudah mengganti pakaian Nona dengan yang lebih nyaman dan sedang mencucinya. Setelah itu aku akan mencuci pakaian anda,” ujar salah satu pelayan wanita yang terlihat sudah agak tua.“Buang saja pakaianku, itu sangat menjijikan. Aku tidak akan mau memakainya lagi atau kamu bisa mengambilnya. Terserah apa pun yang akan kamu lakukan dengan pakaian kotor itu,” imbuh Sean. Dia masih memakai jubah mandinya, namun dada bidangnya terlihat kemana-mana.“Baik Tuan,” jawab pelayan itu.“Apa ruang tengah sudah dibersihkan? Aku tidak ingin ada bau dan noda muntahan dari wanita itu di rumahku. Pastikan semuanya sudah bersih,” sahut Sean dengan nada perintah.“Semua sudah dibersihkan Tuan, kami jamin tidak ada noda atau pun bau yang tersisa di ruangan ini.” Pelayan yang lain datang dan menghampiri
Sean mengerutkan keningnya sambil melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia masih belum puas dengan pakaian yang aku pakai. Dari ekspresinya Patricia yakin seribu persen akan hal itu.“Hmm, menarik. Tapi sepertinya masih ada yang kurang…” ucapnya masih sambil menatap Patricia.“Agh! Sudahlah, suka tidak suka aku tidak mau lagi mencoba semua pakaian di toko ini. Lebih baik kamu pilih satu dan kita pergi dari tempat ini. Kita sudah lebih dari tiga jam mencoba pakaian saja, ingin berapa lama lagi kita berada di tempat ini,” keluh Patricia dengan kesal. Dirinya sudah sangat lelah karena harus mengikuti keinginan Sean.“Mungkin jika dilengkapi dengan beberapa aksesoris seperti anting dan kalung, akan terlihat bagus.”“Ya, benar. Juga sepertinya tas tangan kecil akan menambah daya tarik untuk Nona.” Semua pelayan di butik ini beramai-ramai memberikan saran untuk Patricia. Sementara Patricia memutar bola matanya karena kesal dan dia duduk di sebuah sofa karena kakinya sudah cukup pe
“Bohong, kamu sama sekali tidak pernah merindukanku. Kamu tidak pernah merindukan kami semua,” ucap Patricia dengan suara pelan. Dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi setelah beberapa tahun.“Aku sungguh merindukanmu, kupikir kau dan yang lainnya sedang marah padaku lalu pergi berlibur. Makanya aku membiarkan kalian pergi. Bagaimana kabar kalian semua? Dimana sekarang kalian tinggal? Biarkan aku tahu kabar kalian, terutama Amber,” ujarnya sambil mendekat.“Stop, jangan mendekat lagi! Aku sudah muak dengan semua kebohongan yang kamu ucapkan. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku bahkan sudah tidak sudi mengakuimu lagi,” balas Patricia dengan menahan marahnya.“Patricia, ada apa? Apa ada sesuatu antara kau dengan dia?” Sean datang mendekat dan berdiri di samping Patricia. Dia sedikit menarik Patricia kebelakang karena tepat di bawah kaki Patricia ada pecahan beling dari gelas yang terjatuh.“Tidak ada, aku sama sekali tidak mengenalnya. Maaf Tuan, anda se
“Akhirnya aku bisa makan dengan benar. Jujur saja, makan kue atau cemilan yang porsinya tidak seberapa itu sama sekali tidak membuatku kenyang. Kamu yang bayar semuanya bukan?” tanya Patricia begitu tahu Sean membawanya ke sebuah restoran.“Memangnya kau sanggup membayar satu jenis makanan di sini? Mungkin kau hanya sanggup membayar minuman saja,” celoteh Sean.“Hei, aku tidak membawa uang banyak saat kamu memaksaku ikut denganmu. Pokoknya kamu yang membayar semuanya karena kamu yang mengajak dan memaksaku untuk ikut!” balas Patricia. Dia sudah mengganti sepatu heels dengan sepatu converse miliknya, jadi bisa berjalan lebih nyaman dan leluasa. Namun, pakaiannya masih tetap dress yang berwarna biru karena Sean tidak mengizinkannya ganti pakaian.“Sudahlah masuk saja, kau terlalu banyak bicara.” Sean berjalan lebih dulu. Setelah masuk, mereka diantar oleh waiters menuju ruangan VIP. Patricia sibuk melihat-lihat interior restoran ini yang lebih terkesan elegan dan minimalis daripada mewa
“Sean, maafkan aku. Sepertinya kita tidak bisa membicarakan kerja sama bisnis kita sekarang, aku tidak sudah tidak ingin membicarakannya lagi. Situasinya sekarang seperti ini…” keluh Darren. “Kita sudahi saja pertemuan hari ini, aku akan meminta asistenku untuk mengatur ulang jadwal pertemuan kita.”“Bukan tentang bisnis, ini tentang Patricia,” sahut Sean.“Oh, apa dia pernah menceritakan masalah keluarga padamu? Itu tidak seperti yang dia ceritakan, sama sekali tidak benar. Aku bukan seorang yang seperti itu,” bantah Darren. Dia mencoba meyakinkan Sean dengan menceritakan versi dirinya.“Aku tidak peduli dan tidak mau tahu masalah keluarga kalian. Melihat kalian saja aku sudah tahu.”“Memangnya kamu tahu apa tentang kami? Jangan bicara seolah kamu tahu segalanya Sean, itu sangat tidak baik untuk citra dirimu,” tutur Rachel yang mencoba membela kekasihnya.“Sepertinya kau sudah ikut campur terlalu jauh Rachel. Tak perlu memikirkan citra diriku, pikirkan saja dirimu sendiri seperti apa
“Sean sialan! Bagaimana bisa dia meninggalkanku sendirian di hotel, sedangkan pihak hotel menahanku sendiri di sini,” gerutu Patricia sambil berjalan bolak-balik di lobi hotel menunggu orang suruhan Sean datang menjemputnya. Sean dengan sengaja meninggalkan Patricia di hotel dengan belum membayar fasilitas menginap dan makan selama dua hari. Uang yang Patricia gunakan untuk membayar juga kurang sedikit sehingga dia kebingungan harus mencari siapa untuk menolong dirinya sendiri. Patricia terus menelepon Sean tapi sama sekali tidak diangkat, malah sekarang Sean tampak mematikan teleponnya. “Apa anda sudah bisa menghubungi kerabat anda, Nona?” tanya seorang resepsionis pada Patricia. Tatapan sejak tadi tidak pernah lepas menatap dirinya, seolah takut Patricia tiba-tiba kabur tanpa membayar. “Sebentar, aku masih mencoba menghubunginya. Tenang saja, aku tidak akan pergi tanpa membayar dulu,” imbuh Patricia. Dia merasa sangat malu karena tatapan mereka yang seperti ‘jika tidak punya uang
“Sean sialan! Bagaimana bisa dia meninggalkanku sendirian di hotel, sedangkan pihak hotel menahanku sendiri di sini,” gerutu Patricia sambil berjalan bolak-balik di lobi hotel menunggu orang suruhan Sean datang menjemputnya. Sean dengan sengaja meninggalkan Patricia di hotel dengan belum membayar fasilitas menginap dan makan selama dua hari. Uang yang Patricia gunakan untuk membayar juga kurang sedikit sehingga dia kebingungan harus mencari siapa untuk menolong dirinya sendiri. Patricia terus menelepon Sean tapi sama sekali tidak diangkat, malah sekarang Sean tampak mematikan teleponnya. “Apa anda sudah bisa menghubungi kerabat anda, Nona?” tanya seorang resepsionis pada Patricia. Tatapan sejak tadi tidak pernah lepas menatap dirinya, seolah takut Patricia tiba-tiba kabur tanpa membayar. “Sebentar, aku masih mencoba menghubunginya. Tenang saja, aku tidak akan pergi tanpa membayar dulu,” imbuh Patricia. Dia merasa sangat malu karena tatapan mereka yang seperti ‘jika tidak punya uang
“Apa-apaan kau! Aku masih bicara dengan ibuku dan kau malah menyeretku masuk kedalam mobil!” protes Patricia. Sean mengunci mobilnya sehingga dia tidak bisa kabur.“Kau sudah pergi meninggalkan pekerjaanmu selama dua jam dan membiarkanmu mengerjakan semuanya sendiri. Bisa-bisanya asisten pribadiku meninggalkan pekerjaannya tanpa persetujuanku. Meeting tadi hampir kacau karena kau tidak menyiapkan apa yang aku butuhkan!” Sean benar-benar marah dengan sikap seenaknya Patricia.“Aku tahu aku melakukan kesalahan, aku juga akan bertanggung jawab dengan menambah jam kerjaku selama beberapa hari. Tolong buka kuncinya, ibuku sedang menunggu di rumah, dia pasti merasa cemas karena aku tidak kembali,” pinta Patricia.“Baiklah.”“Sean! Sean!”Sean keluar dari mobilnya dan tetap mengunci Patricia dari dalam. Dia tidak mau Patricia punya kesempatan kabur dan bersembunyi dibalik ibunya. Maka, dia sendiri yang akan menghadapi ibu dari Patricia. Sean menekan bell pintu dan menunggu beberapa saat samp
Patricia semakin panik karena ternyata ibunya tidak ada di rumah. Semua sudut rumah sudah dijelajahi, namun tidak ada satu pun jejak ibunya berada bahkan dia tidak membawa ponselnya sama sekali. Ponsel milik Karina yang ditinggalkan untuk ibunya.“Kemana dia pergi? Sejak kapan dia pergi dari rumah?” bisik Patricia pada dirinya sendiri. Dia berjalan bolak balik dengan linglung, tidak tahu harus mencari ibunya kemana dan kemana dia harus mencari lebih dulu.“Haruskah aku menelpon polisi dan melaporkan orang hilang?”Ditengah rasa kebingungannya memutuskan sesuatu, Sean menelponnya.“Kau sudah pergi terlalu lama, cepat kembali dan bantu pekerjaanku. Sudah pergi tanpa izinku, pergi terlalu lama, siapa boss Perusahaan tempatmu bekerja, hah!” omel Sean di telepon.“Maaf Sean, aku pergi keluar terlalu lama. Tapi ini benar-benar serius, ibuku menghilang. Dia pergi dari rumah,” jawab Patricia dengan nada yang cemas.“Sudahlah Patricia, kau terlalu cemas berlebihan. Ibumu itu wanita dewasa, dia
Karina yang sedang duduk di sofa sambil memakan cemilannya terlihat bingung melihat kakaknya terlihat cemas. Dia sudah tahu sejak tadi menjemput ibu mereka, Patricia bersikap seperti itu. Dia pikir kakaknya seperti itu karena gugup, tapi sepertinya ada hal lain yang mengganggu pikiran kakaknya.“Ya? Bicara saja, aku akan mendengarkanmu,” sahut Karin. Patricia melirik ke arah kamar tempat ibu mereka berada.“Jangan pernah membicarakan atau mengungkit apa pun pada Mama tentang rumah dan apa pun tentang rumah itu,” ujar Patricia sambil berbisik sangat pelan.“Memangnya kenapa Mama tidak boleh tahu?” tanyanya dengan wajah polos.“Kau lupa apa saja yang sudah terjadi di rumah itu? Perampokan, preman, apa kau ingin Mama tahu dan kembali depresi memikirkan semua itu?”Mendengar hal itu membuat Karina membuka kedua mulutnya kemudian mengangguk.“Benar, aku tidak mau membuat Mama kepikiran hal itu lalu depresinya kembali,” ucap Karin menyetujui ide Patricia.“Berbohonglah apa saja jika dia mul
Patricia meremas kedua tangannya dengan gelisah, perasaan dan pikirannya bercampur aduk karena suatu kejadian yang membuat pikirannya tidak bisa melupakan hal itu dan menghapusnya dari pikirannya. Kejadian itu terus berputar-putar tanpa henti di otaknya dengan cepat.“Apa kamu gugup bertemu dengan Mama?” tanya Karina yang sejak tadi memerhatikan kakaknya yang terlihat tidak tenang di dalam mobil. Karina mengerutkan keningnya karena tidak biasanya kakaknya bersikap seperti itu dengan sangat jelas.“Hah? Ya, tentu saja aku merasa gugup. Ini pertama kalinya kita menjemput Mama pulang, dia akan kembali tinggal bersama dengan kita setelah beberapa tahun. Tentu saja aku merasa gugup,” jawab Patricia.“Aku sangat senang karena akhirnya Mama kembali bersama kita. Aku akan memberitahu Will dan dokter Malvine tentang hal ini. Tapi belakang ini Will sangat sulit dihubungi, ponselnya pun tidak aktif, apa terjadi sesuatu padanya?” tanya Karin padaku dengan wajah penasaran.Patricia menggelengkan k
“Apa yang ingin kamu bicarakan sampai membawaku ke taman rooftop?” tanya Patricia. Dia sama sekali tidak menyangka ada taman rooftop seindah ini.“Berapa dia membayarmu?” wanita itu menatap marah pada Patricia.“Apa maksudmu? Ah, jika maksudmu gajiku sebagai asisten pribadinya itu hampir tiga digit,” jawab Patricia.“Katakan padaku berapa dia membayarmu untuk menjadi teman kencannya? Aku akan membayarmu dua kali lipat jika kau mau menjauhinya,” perintahnya.“Kenapa kamu ingin aku menjauhinya? Harusnya kamu yang menjauh darinya karena dia milikku.”Kata “milikku” yang diucapkan Patricia membuat perempuan Bernama Oliv itu tersulut emosi.“Jaga kata-katamu jalang! Dia tidak akan pernah menjadi milikmu!”“Kamu yang jalang! Sudah tahu dia memilihku masih saja terus menyangkal! Seharusnya kamu sadar diri!”Tangan kanan Oliv terangkat dan menampar keras pipi Patricia sampai menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Tak hanya diam, Patricia juga turut membalas apa yang wanita itu lakukan padanya
Sudah selama dua minggu ini Patricia menjadi kekasih sewaan dari seorang Sean Fernandes. Banyak perubahan yang terjadi di hidupnya, termasuk gaya pakaian dia yang biasanya sederhana dan murah berubah menjadi fashionable dan bermerek mahal. Tak hanya itu, dia juga mendapat perawatan ke salon setiap akhir pekan. Dia benar-benar berubah dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.“Tidak, hari ini aku tidak bisa menginap di tempatku. Aku dan Karina ingin menjemput Mama pulang dari rumah sakit jiwa,” tolak Patricia pada permintaan Sean yang memintanya untuk menginap kembali di rumahnya.“Ya. Dokter Fhadh menyarankan untuk perawatan di rumah agar kondisi ibuku lebih stabil lagi. Katanya, jauh dari keluarga bisa membuat kondisinya naik turun. Dokter Alvin juga dulu menyarankan hal ini tapi aku tidak mendengarkannya dan memilih sibuk bekerja. Jadi, aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama kali ini,” beber Patricia Panjang lebar.“Kalau begitu nanti aku akan kirim makanan untuk kalian berdua,”
Patricia keluar kamar mandi dengan memakai jubah mandi dan handuk yang melilit kepalanya. Dia melihat Sean masih berada di situ dengan sebuah laptop di pangkuannya. Merasa heran karena sudah semalam ini orang itu masih saja bekerja dan dia juga tidak pernah melihatnya beristirahat sedikit pun, sekadar ketiduran di tempat kerjanya pun tidak pernah.“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku tadi? Kamu bilang ada yang ingin dibicarakan setelah aku mandi, sekarang aku sudah selesai. Jadi apa itu?” Patricia datang menghampiri Sean lalu terhenti. “Jangan menatapku seperti itu! Atau aku akan melempar kepalamu dengan vas bunga ini!”Patricia mengambil vas bunga kecil yang terletak di meja terdekatnya dan bersiap melemparnya ke kepala Sean.“Apa gunanya mata jika tidak untuk melihat, Patcy. Ternyata seperti itu dirimu setelah mandi, menarik,” godanya pada Patricia. Patricia yang takut segera merapatkan jubah mandinya.“Kapan pelayanmu itu membawakan baju untukku?” tanya Patricia.“Mungkin sebent
Patricia terdiam beberapa saat, dia sadar apa pun jawabannya bisa jadi merugikan dirinya. Terlebih lelaki ini bisa saja memanfaatkan dan memanipulasi situasi yang terjadi.“Apa pun, aku akan melakukan apa pun asalkan kedua adikku aman dan selamat dari ancaman Evelyn. Orang seperti dia pasti tidak main-main dengan ucapannya bukan? Aku juga tidak boleh setengah-setengah untuk melindungi keluargaku. Akan kulakukan apa pun untuk melindungi mereka,” ucap Patricia sambil menatap pada Sean.“Kau yakin dengan jawaban yang keluar dari mulutmu itu? Apa pun, berarti aku berhak meminta sesuatu darimu tanpa penolakan sama sekali bukan?”Patricia kembali terdiam, dia seperti sadar sudah mengucapkan hal yang salah dan ingin menarik ucapannya kembali.“Kau ragu dengan jawabanmu bukan? Ingin menariknya kembali? Tapi apa yang sudah terucap tidak bisa kau tarik kembali. Jadi aku bertanya sekali lagi padamu, apa kau yakin dengan jawabanmu itu?”“Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak punya uang, tidak p
“Apa aku tidak salah dengar?” Sean memutar tubuhnya sehingga menghadap Patricia sepenuhnya, namun Patricia menolak menatap Sean dan memilih melihat lurus ke jalan.“Kau tidak salah dengar, aku menyetujui menjadi wanitamu,” balas Patricia.“Tunggu dulu Patcy, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”“Ini tidak tiba-tiba, aku sudah memikirkannya matang-matang.”“Kapan? Kapan kau memikirkan hal itu?” cecar Sean. “Hei, lihat aku.”Patricia menatap Sean dengan wajah datarnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya juga sedikit sembab karena sempat menangis.“Apakah itu penting? Bukankah yang paling penting itu sudah menyetujuinya sekarang?” Patricia menjawab Sean dengan sebuah pertanyaan lagi.“Tidak, ini seperti bukan dirimu,” timpal Sean sambil menggelengkan kepala.“Memangnya kau tahu apa tentang diriku? Jangan bertingkah seolah kau tahu semua tentangku,” balas Patricia sambil memutar bola matanya.“Jujur saja aku merasa senang tapi sekaligus kecewa. Aku memang ingin mendapatkanmu, tapi bukan denga