"Tuan, bukankah aku tadi sudah bilang jika aku hanya ingin ke toilet. Dan mengenai tuan tedy tadi hanya tidak sengaja berpapasan lalu dia bertanya, hanya itu saja," Anna berusaha membela diri. Namun Daren seolah tidak peduli dengan penjelasan yang di katakan oleh Anna. Malah lelaki tampan itu meraih dan mencengkram erat pergelangan tangan sekertarisnya itu dan membawanya ke arah parkiran lalu menyuruh masuk ke dalam mobil dengan sedikit kasar. "Cepat masuk!" Titah Daren dengan nada tinggi dan penuh penekanan. "Tapi tuan, kita kan sedang meeting bersa..." belum tuntas Anna mengatakan kata-katanya. Daren lebih dulu memberitahukan jika meetingnya dan tuan Arson sudah selesai. Hal itu pun membuat Anna sedikit heran, karena bisa-bisanya Daren pergi begitu saja. Ketika Anna di rundung kebingungannya Rudi yang baru keluar dari resto tiba-tiba datang menghampiri mereka. "Tuan, ini kontrak kerja samanya sudah di tanda tangani oleh tuan Arson," ujar Rudi sembari menyodorkan sebuah map cok
Tepat jam empat sore, akhirnya Anna sampai di ruangan rawat sang ibu yang sangat dia sayangi. Bu Ratih yang masih terbaring lemah di atas brankar. Perlahan mulai membuka kedua pelupuk matanya saat mendengar suara pintu terbuka. Melihat putri kesayangan yang sudah ia cari-cari dari tadi. Membuat keduanya menangis haru. Apa lagi Anna yang begitu bahagia saat melihat orang yang dia sayangi akhirnya bisa melewati masa kritisnya. "Anna!" panggil Bu Ratih dengan nada rendah yang hampir tak terdengar. "Ibu," Anna berjalan menghampiri, lalu memeluk ibunya dengan sangat erat dan pelan. keduanya mengeluarkan air mata bahagia dan haru. Meskipun Anna harus merendahkan diri mendapatkan uang itu dari bosnya, tapi sejenak rasa sakit itu terobati saat melihat ibunya yang perlahan keadaannya mulai membaik. "Putri ibu, kenapa kamu jadi kurusan nak? pasti ini semua karena ibu yang telah banyak merepotkanmu?" lirih Bu Ratih mencecar beberapa pertanyaan pada putri semata wayangnya itu. Anna menggele
Daren terkejut, saat dia melihat video cctv di lobi hotel, di mana Anna berusaha keras memapah dirinya dengan sekuat tenaga, dan terlihat sesekali berusaha menelpon seseorang. Tapi terlihat tidak bisa. "Apa benar semua ini tidak ada hubungan dengan dia? jika bukan apa aku telah salah paham padanya?" Daren bertanya-tanya dalam hati sembari merenung. Tak ingin menebak-nebak, Daren tetap pada pendiriannya sebelum Rudi menemukan orangnya, ia harus tetap waspada walaupun pada seorang wanita. "Sebaiknya aku tidak boleh menyimpulkan sendiri, sebelum orangnya di temukan." Daren menghela nafas kasar, tapi mengingat ada noda darah di atas sprei, membuat dia baru sadar bahwa mungkin Anna baru melakukan hal itu pertama kali dengan dia, pikirnya. Tak ingin merasa bersalah, dengan cepat Daren melonggarkan dasi dan melepaskan jasnya lalu melempar ke sembarang arah. Baru saja lelaki tampan itu berjalan ke arah kamar mandi, tiba-tiba saja terdengar beberapa pesan yang masuk ke dalam pesannya. Meli
Dua hari kemudian, Daren yang sudah berpenampilan rapih dengan stelan kantor. Dengan langkah, lebar pria tampan itu mulai menuruni tangga dan berjalan ke meja makan dengan berat hati. Saat ayah dan ibunya sudah duduk menunggu, mereka yang sengaja ingin makan bersama dengan moment langka berharap apa yang akan di sampaikan membuat Daren patuh. "Daren! semalam tadi kamu sudah pergi kemana saja? pulang-pulang mabuk lagi, memangnya apa yang sedang kamu pikirkan sampai meminum segala?" Cecar nyonya Hilda menatap penuh selidik pada putranya, dengan perasaan yang berusaha menahan kemarahan. Daren yang baru saja duduk, lagi-lagi dia sambut dengan beberapa pertanyaan yang begitu sulit dan malas untuk dia jawab. Tapi sebagai seorang anak, dia harus tetap menjaga attitude-nya. "Hanya pergi mencari angin saja," jawab Daren singkat yang perlahan mulai mencicipi sarapan pagi yang sudah di siapkan oleh para pelayan di rumah mewahnya. Nyonya Hilda dan tuan Pratama saling menatap, saat melihat si
"Mau dia atau bukan, kenapa aku harus peduli," Anna menggelengkan kepala, lalu melanjutkan langkahnya untuk mengurus administrasi sebelum membawa ibunya pulang. Daren yang di ikuti oleh Rudi kedatangan mereka di sambut hangat oleh kepala rumah sakit dengan penuh hormat dan beberapa tenaga medis lainnya. "Tuan Daren, senang sekali akhirnya anda sudah sampai," sapa pria paruh baya sembari membungkukan badan. Daren hanya berdehem, tak berselang lama mereka berjalan menuju ke ruang tamu yang berada di lantai dua. Namun Rudi yang tak sengaja melihat Anna yang sedang berdiri di ruangan resepsionis. Membuat dia segera memberitahukan sang bos. "Tuan, ternyata nona Anna ada di sini juga," ucap Rudi dengan nada rendah.Langkah Daren terhenti sejenak, lalu ia menoleh dan kebetulan benar melihat Anna yang sedang berbicara serius dengan kedua suster seraya menandatangani beberapa berkas. "Anna!"Melihat Daren yang tiba-tiba saja berhenti, membuat kepala rumah sakit itu sedikit terheran. Dan m
"Tuan, apa yang ingin anda lakukan? jangan pernah macam-macam lagi padaku kalau tidak aku akan berteriak biar semua orang datang," peringat Anna yang terlihat begitu panik saat atasannya tengah mengurung tubuh mungilnya dengan kedua lengan kekar itu. "Apa kamu bilang Anna? mau berteriak. Kalau kau bisa berteriak lah. Aku ingin tahu apakah ada yang bisa menolongmu sekaligus aku bermacam-macam padamu. Yang ada mungkin nanti malah kamu sendiri yang akan di permalukan," bisik Daren memancarkan senyum devil. Anna terdiam, ia sesekali menelan saliva saat perasaannya semakin gelisah, bahkan nafasnya sampai tak karuan. "Kenapa dia seolah tidak takut, jangan-jangan rumah sakit ini punya hubungan yang erat dengannya?" Anna bertanya-tanya dalam hati. Melihat Anna yang begitu patuh, Daren hanya menyeringai malah dia kembali menantang. Jika dia tidak takut saat mengingat perkataan Anna yang tadi. "Kenapa diam? bukankah tadi kamu mau berteriak. Ayo teriak kalau berani," Cibir Daren seraya menden
Anna segera pergi menghindar, dia khawatir jika sang ibu akan curiga setelah berbicara empat mata dengan bos-nya. "Ibu, maaf karena telah membuat ibu cemas." Sesal Anna yang baru kembali ke dalam ruang rawat. Bu Ratih hanya tersenyum dan mengangguk pelan, saat Anna meminta maaf padanya. "Tidak nak, jangan minta maaf justru ibu yang minta maaf padamu. Karena sudah membuat repot, pasti bosmu tadi sangat marah karena kamu belum masuk kerja ya? Apa lagi setelah meminjam uang yang cukup besar," Bu Ratih mencecar Anna dengan beberapa pertanyaan dengan mimik wajah yang terlihat sedih. Anna semakin merasa bersalah, saat melihat ibunya yang cemas. Bahkan Anna tidak pernah membayangkan jika ibunya tahu semua apa yang telah terjadi padanya, tapi Anna berusaha besikap ceria."Ibu terlalu banyak berpikir, tadi tuan Daren hanya bilang kalau di kantor pekerjaanku sudah menumpuk, dan tidak sembarangan orang bisa menggantian aku jadi..." Belum sempat Anna menuntaskan perkataannya untuk meyakinka
Anna berusaha meronta sekuat tenaga, saat sang bos terus memagut bibirnya sampai membuat ia sesak untuk bernafas. Bahkan tanpa ragu lagi ia memberanikan diri menggigit bibirnya. Krek!"AAkkkkh, Anna! kau berani sekali," Daren terkejut dan marah saat wanita yang ada di depannya dengan terang-terangan menolak dirinya tanpa ragu. "Tuan, kenapa anda memperlakukanku seperti ini?" tanya Anna dengan netra yang berkaca-kaca seraya menyusut sudut bibirnya. Daren menyeringai, saat mendengar perkataan Anna yang terlihat sudah melupakan kesepakatan di antara mereka berdua saat di rumah sakit tadi. Tapi pria itu tidak diam begitu saja. "Anna! kenapa kamu bersikap seperti aku yang memaksamu. Bukankah tadi kamu sudah setuju jika mulai hari ini kamu harus menjadi wanitaku. Dan apa pun yang aku inginkan semua harus di patuhi," tegas Daren yang tak bosan mengingatkan. Jantung Anna berdegup sangat kencang, entah kenapa ia merasa merinding saat mendengar peringat bosnya itu. "Tapi, aku tidak mau jik
Daren terlihat sangat gelisah, saat dia masih dalam perjalanan mengejar Anna. bahkan beberapa kali lelaki itu terlihat terus menekan asistennya untuk mempercepat laju kecepatan mobilnya. "Cepat jalannya, apakah kamu tidak bisa menyetir!" bentak Daren dengan nada meninggi dan terlihat sangat gelisah. "Baik tuan, ini sudah sangat cepat," sahut sang asisten. Yang masih fokus melakukan tugasnya. Daren benar-benar terlihat cemas dan panik, berharap Anna tidak pergi sebelum dia datang. Tak hanya bisa menunggu sampai ke tempat tujuan, Daren meraih ponsel miliknya lalu berusaha untuk menghubungi wanita yang sangat dia cintai. Drrrt..drtt Panggilan telepon terus berbunyi, namun nihil tidak ada jawaban dari Anna, walaupun hanya sekedar pesan balasan. Membuat Daren semakin tak sabar dan lebih naik pitam. "Aakkkh, sial kenapa dia tidak mengangkat teleponku jangan bilang Anna benat-benar sudah pergi," Daren meracau dalam hati, perasaannya sama sekali tidak tenang. Lalu menekan kembali
Setelah Renata masih di ruangan UGD, semua orang terlihat sangat cemas dan panik. Setelah melihat insiden yang terjadi tadi. Tapi Nyonya Hanum yang masih belum mengerti dengan semua ucapan pelayan pribadinya. Membuat ia kembali memastikan apa maksud perkataanya tadi. "Bi Laksmi katakan padaku, maksud Bibi tadi apa mengatakan jika Renata adalah putrimu?" Nyonya Hanum menatap penuh selidik. Laksmi tertunduk malu, tapi setelah melihat putrinya yang saat ini sedang terpojok membuat ia tidak bisa lagi menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. "Nyonya benar, Renata adalah putriku yang sengaja aku bawa untuk nyonya rawat agar hidupnya bahagia, tapi yang aku liat malah sebaliknya," sesal Laksmi. "Astaga Bi, kenapa bibi sangat tega membiarkan Renata di panti asuhan saat itu? sekarang lihatlah Renata malah semakin susah untuk di atur karena obsesinya yang terlalu tinggi," Nyonya Hanum tak habis pikir. Mendengar perkataan mereka, tuan dan nyonya Wijaya segera menghampiri lalu menega
Daren dan kedua orang tuanya melirik ke arah sumber suara yang berada tepat di samping mereka, ibu Hanum dan bibi Laksmi merasa tak tega ketika melihat Renata yang berlutut memohon di bawah sana. "Nyonya Hanum, kebetulan anda kemari kami ingin membicarakan tentang putrimu yang sudah membuat kami malu dengan skandalnya." Hardik tuan Wijaya memberitahukan dengan nada tinggi. Nyonya Hanum dan bi Laksmi segera menghampiri dan berusaha untuk membantu Renata untuk bangun. "Renata bangunlah kamu nak," bujuk nyonya Hanum. Renata menggelengkan kepala, rasanya dia tidak ingin beranjak sebelum kedua mertuanya memberikan ampun padanya. "Nggak Bu, aku tidak mau, biarkan aku memohon pada mas Daren dan kedua orang tuanya," ucap Renata dalam tangisnya. Daren tersenyum getir, saat melihat dan mendengar kata-kata maaf dari Renata yang begitu enteng, seolah perbuatannya itu adalah hal kecil yang mudah untuk di maafkan. "Tidak! aku tidak sudi memaafkan wanita murahan sepertimu Renata mulai ma
"Aaakh tidak! kenapa semuanya jadi kacau seperti ini? dan kau tuan Andre! lihat ini semuanya gara-gara kamu," teriak Renata setengah frustasi sembari menjambak rambutnya. "Aku tidak tahu akan seperti ini Renata, jadi tenanglah. Kau bisa menjadi wanita ku untuk selamanya," bujuk Andrew menghampiri. Renata menepis kasar tangan pria itu, tak ingin kehilangan Daren. Ia segera memakai gaunnya kembali, lalu berusaha untuk mengejar dengan langkah yang tertatih-tatih. "Renata! tunggu!" panggil Andrew, yang masih di kerumuni oleh beberapa karyawan yang masih membidik kamera ke arahnya. Renata tidak menggubris panggilan Andrew. Baru saja keluar dari hotel, Kiki yang sudah lama menunggunya dari mobil segera menghampiri dan memanggil Renata. "Nyonya Renata! naiklah!" "Kiki, kau ternyata di sini?" Renata tak membuang waktu lagi, dengan cepat masuk ke dalam mobil dan meminta asistennya untuk mengejar Daren. Dengan patuh, Kiki melakukan sesuai perintah walaupun terpaksa harus mengebut.
Nyonya Wijaya benar-benar kecewa, sampai dia terduduk lemas di sofa dengan kepala yang sudah sangat sakit dan pusing. Karena bagaimana bisa menantu yang selalu dia idamkan malah ternyata hanya seorang wanita murahan yang sering bergonta-ganti seorang pria. "Renata! benar-benar kamu mengecewakan keluarga ini," Nyonya Wijaya sangat kesal, dengan berita yang mengegerkan hati ini membuat wajah keluarga Wijaya hilang di depan semua orang. "Tidak! Meskipun pernikahan Daren dan Renata sudah di sepakati oleh mas Wijaya, aku tetap tidak setuju dengan masalah ini," Nyonya Wijaya tak tahan lagi dengan berita yang tersebar. Ia segera menghubungi Daren dan juga suaminya tak lupa juga dengan Renata. Beberapa kali wanita paruh baya itu , terus menghubungi putra dan suaminya untuk membicarakan hal ini. Sementara Kiki asisten dari Renata sangat kaget ketika melihat skandal model yang ada dalam naungannya. "Astaga! gawat, bagaimana foto dan video nyonya Renata dan tuan Andrew bisa tersebar s
Kedua tangan Anna terkepal, netra coklatnya berkaca-kaca saat mendengar perkataan nyonya Wijaya. Yang begitu memandang rendah dirinya. Setelah berpikir dengan waktu yang cukup lama, Anna menarik nafas lalu dengan tegas kembali menolak tawaran uang dari wanita kaya itu. "Nyonya tidak usah repot-repot memberikan saya uang, jika itu keinginan anda maka aku akan melakukannya," Lirih Anna menangis. "Baguslah, kamu memang seharusnya tahu diri perbedaan kamu dan Daren sangatlah jauh berbeda, ambil saja cek itu tidak usah terlalu munafik!" ledek wanita paruh baya itu sembari memutar kedua mata malasnya. Lalu pergi begitu saja dengan sikap angkuh dan sombong. Bu Ratih yang tak sengaja mendengar obrolan mereka, membuat dia sangat kesal dan marah saat putri yang sangat sayangi di perlakukan rendah oleh orang lain. Dengan amarah yang menguasai dirinya, Bu Ratih memungut cek yang di berikan oleh nyonya Wijaya yang tergeletak di bawah lantai. "Tunggu!" panggil Bu Ratih. Langkah
Setelah Daren pergi untuk menyelesaikan semua masalah yang ada, Bu Ratih kembali mengingatkan putri kesayangannya atas apa yang baru saja dia dengarkan tadi. "Anna, jawab ibu. Apa kamu benar-benar akan menerima kembali pinangan tuan Daren? sudah jelas-jelas dia pria yang sudah memiliki pasangan," peringat Bu Ratih, berharap jika putrinya tidak salah mengambil keputusan dalam hidupnya. Anna menghela nafas panjang, lalu ia memutar badan dan menatap ibunya. Lalu menjawab. "Ya ibu, Anna sudah berpikir, jika calon bayi yang ada di dalam kandungan ini dia begitu membutuhkan figur seorang ayah, dan Anna juga yakin apa yang di katakan oleh tuan Daren membuat aku yakin," jelas Anna. Sebagai seorang ibu, ibu Ratih tidak bisa mencegah dia hanya berharap jika putrinya benar-benar bisa merasakan kebahagiaan. "Ya sudah, ibu hanya bisa berharap kamu dan tuan Daren segera menikah!" imbuh Bu Ratih. "Iya Bu," Anna tersenyum. Ketika ibu dan anak itu tengah berbicara serius tiba-tiba saj
"Tidak Anna! kamu sekarang tidak bisa lari dariku lagi, bagaimana pun juga calon bayi yang ada dalam kandunganmu adalah darah dagingku," tegas Daren meraih dan memegang kedua bahu mungil Anna. Kedua insan yang saling mencintai itu menatap satu sama lain dengan tatapan mendalam, terutama Anna rasanya air matanya sudah tak terbendung lagi. "Ku mohon, Anna. Jangan pernah lagi kamu pergi dariku, Renata dan aku hanya menikah dalam perjodohan, tidak ada rasa cinta dalam hatiku untuknya." jelas Daren sembari memeluk Anna dengan sangat erat. Bu Ratih yang hanya terpaku, entah kenapa dia melihat sebuah ketulusan di kedua manik mata Daren. Akan tetapi ada satu hal yang membuatnya sangat ragu dan di lema. "Tuan Daren sepertinya tulus pada Anna, tapi statusnya sebagai nyonya Renata hanya akan membawa masalah untuk Anna, bahkan semua orang mungkin akan mencemoohnya," batin Ratih. Setelah Anna dan Daren saling memeluk wanita paruh baya itu pun menghampiri dan mengingatkan keduanya. "Ann
Anna tercengang, dia sampai menutup mulut dengan kedua tangannya saat baru mengetahui semua kenyataan yang ada bahkan dia benar-benar tak habis pikir. "Tidak! itu tidak mungkin, bagaimana bisa mas Dirga begitu tega untuk mencelakai ku!" Dirga yang tak terima dengan cara Daren yang sengaja membuat Anna untuk menjauh dan membencinya. Pria itu pun segera menjelaskan. "Ana! apa yang di katakan oleh ka Daren itu bohong, aku tidak ingin mempunyai niat buruk padamu, dan aku benar-benar menyukaimu," Jelas Dirga beralibi. Mendengar perkataan Dirga yang berusaha untuk membela diri, membuat darah Daren mendidih. Dan tak kuasa lagi menahan diri untuk melayangkan kepalan tangannya tepat di wajah sepupunya itu. BLUGH! "Kau munafik sekali Dirga! Sudah jelas-jelas dirimu ingin mencelakai Anna dan calon bayinya." Bentak Daren yang sudah tak bisa lagi menahan emosi. Sampai Dirga terkena pukulan dan terjatuh tersungkur ke bawah lantai, tak terima di perlakukan kasar. Dirga berusaha mem