Ajeng masih ngamuk di mobil saat Radev membawanya pergi. Perempuan itu terus mencecar dengan kata-katanya yang kasar. Sementara itu Radev yang berada di sebelahnya tidak menggubris perempuan itu. Alih-alih akan meladeni, Radev malah sibuk mengutak-atik ponselnya yang membuat Ajeng jengkel setengah mati.“Aku tuh lagi ngomong sama kamu, Dev! Kamu malah sibuk main hp! Kamu pikir aku apa, hah?” Ajeng akan merebut ponsel dari Radev, tapi dengan gerakan cepat lelaki itu menjauhkannya lalu menyimpan ke saku celana.Radev mengembalikan konsentrasi pada jalanan di hadapannya. Lelaki itu fokus menyetir.“Kamu nggak menghargai aku sedikit pun. Kamu anggap apa aku ini, Dev? Apa kamu lupa kalau aku tunangan kamu? Bahkan aku nggak hanya sekadar tunangan. Aku ini calon istri kamu!"“Gimana aku bisa menghargai kamu kalau kamu nggak bisa menghargai orang lain,” jawab Radev akhirnya tanpa memandang pada Ajeng.“Orang lain mana yang harus aku hargai?”Radev mendengkus pelan. Ajeng pasti paham siapa yan
“Ke mana aja lo kemarin? Nyokap gue susah-susah jagain bokap lo, tapi lo-nya malah kelayapan!”Pertanyaan bernada tidak menyenangkan itu membuat Starla memalingkan wajah ke arah pintu. Tampak di sana adik tirinya sedang berdiri dengan tangan bersedekap.“Ada acara kantor,” jawab Starla yang tidak ingin ribut. Ini masih terlalu pagi untuk perang mulut. Ia tidak ingin merusak mood-nya dengan hal-hal tidak berguna.“Tiap ditanya lo selalu ngejawab dengan alasan yang sama. Nggak ada alasan lain apa?”“Jadi kamu maunya aku ngejawab apa?” lirik Starla melalui kaca meja rias tempatnya bercermin saat ini.Tantri mengeluarkan dengkusan. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai Starla. Starla mempunyai segala yang tidak dimilikinya. Starla berwajah menawan dengan bentuk tubuh yang ideal. Starla juga cerdas dan disenangi banyak orang. Sedangkan dirinya hanyalah seorang perempuan berwajah biasa yang kelewat kurus dan hatinya busuk.Tantri menarik langkah mendekat kala matanya bertemu dengan tube dress
Tampak seorang perempuan sedang bicara pada Starla. Starla tidak menyangka akan bertemu dengan perempuan tersebut di tempat ini walau sebenarnya tidak mustahil hal itu terjadi.Dikembangkannya senyum ramah bersama sapaan yang terlontar dari bibirnya. “Selamat pagi, Bu Megan.”“Kamu sedang apa di sini?”“Saya disuruh Pak Radev ke sini, Bu. Saya bantu-bantu Bapak menyiapkan perlengkapannya. Ini saya mau beli roti buat sarapan Bapak, Bu,” terang Starla menjelaskan sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.Megan menyipit memandang Starla. “Perlengkapan apa yang kamu maksud?” tanyanya belum puas.“Pakaian dan sarapan Pak Radev.”“Memangnya kamu nggak bisa menyiapkan sehari sebelumnya? Atau seminggu sebelumnya?”“Bisa, Bu, tapi Pak Radev mau saya datang setiap pagi.”“Ada-ada saja.” Megan geleng-geleng kepala. Perempuan itu kemudian memindai Starla segenap-genapnya tanpa ada yang terlewat dari tangkapan matanya. “Setahu saya kamu sudah dipecat, kenapa balik lagi?”“Karena Pak Radev masih but
“Pak Radev, kok di sini?”Pertanyaan itu Radev dengar dari Starla sesampainya lelaki itu di lantai dasar.“Kita langsung ke kantor,” sahut Radev singkat lalu berjalan mendahului Starla.“Rotinya, Pak? Bapak nggak jadi sarapan?” tanya Starla kebingungan namun tetap mengikuti langkah Radev.“Sarapan di kantor.” Jawaban pria itu masih seringkas tadi.Bertahun-tahun bekerja dengan Radev tidak lantas membuat Starla memahami lelaki itu. Saat ini misalnya. Setelah tadi memutuskan untuk sarapan di apartemen, tiba-tiba saja Radev mengajaknya pergi.Duduk diam di sebelah Radev setelah mereka tiba di mobil, Starla hanyut dalam pikirannya sendiri. Kira-kira apa yang dikatakan Megan pada Radev? Lantas bagaimana reaksi Radev?“Pak, tadi saya ketemu Ibu Megan di depan lift. Bapak udah ketemu sama Ibu?” tanya Starla sambil memandang ke arah Radev.“Hm.” Radev menjawab dengan gumaman.Hening sejenak. Starla memutar otak mencari padanan kata yang tepat untuk bertanya pada Radev apa tadi Megan membicara
Ajeng terduduk dengan muka merah padam. Perkataan Radev tadi membuatnya malu setengah mati. Apalagi lelaki itu mengucapkannya terang-terangan di depan orang lain—Bjorka.“Ka, jangan percaya apa yang dibilang Radev tadi. Itu nggak benar. Aku nggak pernah filler. Semua bagian wajahku masih ori,” dustanya membela diri.Bjorka menerbitkan senyum tipis di bibirnya. Ia tahu persis siapa yang salah dan siapa yang benar di antara keduanya. “Take it easy. Nggak mungkinlah kamu udah cantik begini masih pake filler-filleran.”“Thank’s, Ka.” Ajeng tersipu. Lega karena berhasil meyakinkan Bjorka.“Mau ikut makan sekalian?”“Boleh deh.”Bjorka memanggil waitress, memesankan makanan untuk tunangan sahabatnya, sehingga jadilah mereka makan berdua.“Aku udah nggak ngerti lagi sama Radev. Aku salah apa coba?” curhat Ajeng di sela-sela kunyahannya.“Coba deh kamu introspeksi diri, kira-kira udah bikin apa sampai Radev jadi kesal,” jawab Bjorka menanggapi.“Aku nggak salah apa-apa. Aku baik-baik aja kok.
Embusan napas lega meluncur dari bibir Starla. Sesak di rongga dadanya sedikit berkurang setelah ayahnya pulang ke rumah. Apalagi keadaan pria itu juga sudah membaik.“Satu sendok lagi ya, Pa.” Starla menyodorkan sendok terakhir ke mulut Roni. Sudah sejak tadi ia menyuapi ayahnya itu makan. Senyum tercetak di bibirnya setelah piring di tangannya kosong. Setelahnya Starla memisahkan butiran pil dari kulitnya untuk kemudian memberikan pada Roni satu per satu.Perempuan dengan rambut sedikit di bawah bahu itu mengesahkan napasnya saat ingat harus kembali ke kantor, padahal di luar sana malam sudah berkunjung.‘Nasib budak korporat.’ Starla membatin. Ingin mengeluh nyatanya ia harus bersyukur karena ia masih diberi kesempatan untuk bekerja.“Pa, aku balik ke kantor sebentar.” Starla berpamitan sembari mencium dahi ayahnya. Ia harap Radev tidak menahannya sampai larut.Langkah Starla tertahan tepat di depan pintu kamar saat Mayang menghadangnya.“Mau ke mana?” tanya perempuan itu.“Balik k
“Pak, tapi saya—” Starla belum tuntas dengan jawabannya ketika Radev lebih dulu memutus kata-katanya.“Please, jangan bilang kalau kamu nggak mau. Saya butuh kamu malam ini, Starla. Kamu nggak kasihan sama saya memangnya?”Bukan tidak kasihan, Starla sangat prihatin menyaksikan keadaan Radev saat ini. Lelaki itu tampak kacau, sedih, dan hancur. Masalahnya Starla tidak mungkin tidak pulang. Ia sudah membayangkan omelan yang akan diterimanya dari Mayang jika hal itu terjadi.“Maaf, Pak Radev, saya nggak bisa nemenin Bapak di sini. Saya tetap harus pulang, Pak.”Radev mengembuskan napasnya di tengkuk Starla pertanda laki-laki itu kecewa karena penolakannya.“Pulanglah, maka saya akan minum sebanyak mungkin sampai besok nggak bisa bangun dan ikut meeting.” Ancaman itu terlontar dari mulut Radev bersama pelukannya yang semakin erat di tubuh Starla. Mereka berdansa sambil berpelukan. Keduanya bicara tanpa saling bertemu mata.“Kenapa Bapak selalu mengancam saya?” tanya Starla jengkel. Seper
Tubuh ramping itu menggeliat. Matanya masih tertutup rapat. Tidurnya terasa begitu singkat. Ia merasa ingin lebih lama lagi meringkuk di bawah kehangatan selimut sambil memeluk gulingnya yang empuk. Bahkan rasanya terlalu empuk untuk ukuran bantal.Merasa ada yang janggal, Starla mencoba membuka mata. Satu demi satu objek di sekitarnya menampakkan wujud memenuhi penglihatan Starla.Namun, masalah terbesarnya saat ini adalah bukan pada benda-benda yang terlihat oleh matanya melainkan siapa yang saat ini sedang terlelap di sebelahnya. Radev.Starla tidak akan lupa bagaimana semalam lelaki itu merengek agar Starla tetap bersamanya. Kekukuhannya menggoyahkan Starla membuat Starla terpaksa menyerah hingga berakhir di pelukan laki-laki itu.Radev menepati janjinya. Tidak ada yang terjadi. Mereka tidak bercinta. Hanya tidur saling memeluk. Sejujurnya, setelah lama lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak akibat beban dan tekanan hidupnya yang tinggi, Starla merasakannya lagi. Terdengar terlebiha
"Pokoknya kalian wajib datang. Gue nggak mau ya nerima alasan apa pun.""Apa pun?""Ya, apa pun!" tegas suara di seberang sana penuh penekanan.“Ya udah, gue tanya Kaka dulu ya, dia mau apa nggak.”"Ya pasti mau lah. Kalau nggak mau gue pecat dia jadi adek ipar."Rachel tertawa lalu memutus panggilan."Siapa, Ra?" tanya Bjorka yang baru keluar dari kamar mandi."Rai.""Raihana?"Rachel mengiakan dengan anggukan kepala.Bjorka tidak bertanya lagi. Masih dengan mengenakan handuk dia membuka lemari mencari bajunya di sana. Biasanya Rachel yang menyediakan. Tapi karena tadi asyik teleponan dengan Rai, Rachel jadi lupa."Ka, Rai minta kita hadir di acara nikahannya." Rachel menyampaikan isi pembicaraan dengan Rai tadi.Setelah bertualang dari pelukan satu laki-laki ke laki-laki lain, akhirnya Rai memantapkan hati untuk menikah. Bukan pernikahan yang pertama memang. Dan mirisnya lagi adalah calon suami Rai berumur hampir dua kali lipat dari usianya. Saat Rachel protes, "Lo yakin mau nikah s
Prosesi pernikahan Rachel dan Bjorka akhirnya berjalan dengan lancar dan baru saja berakhir.Rachel tidak merasa lelah sedikit pun meski rangkaian acara tersebut berlangsung hampir lima belas jam lamanya. Yang ada hanya perasaan bahagia.Perlahan pikirannya mulai mereka ulang lagi adegan demi adegan yang terselenggara tadi. Mulai dari prosesi akad nikah yang mengharukan sampai acara resepsi yang mewahnya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.Zoia yang mulai saat ini ia panggil dengan sebutan Mama mengusahakan semuanya agar sempurna. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk pernikahan kliennya, dan tentu saja saat pernikahan anak sendiri harus luar biasa.Seperti yang Rachel sepakati dengan Bjorka, Bjorka akan menunggunya di ballroom. Setelah mendengar komando dari MC, Rachel kemudian masuk diiringi oleh para bridesmaid. Yang menjadi bridesmaid adalah Starla, model-model Lavender Manajemen serta para sepupu Bjorka.Setelah menapakkan kaki di ballroom, wajah Rachel tertimpa lampu flas
Bagi orang-orang mungkin keputusan Bjorka untuk menikahi Rachel hanya dalam jangka waktu satu bulan setelah status mereka berpacaran adalah keputusan yang paling gila. Mungkin mereka juga menganggap Bjorka tidak berpikir panjang. Tapi demi apa pun Bjorka sudah memikirkan semua ini.Setelah jadian malam itu Bjorka mulai memikirkan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Rachel. Bjorka sudah mengenalnya bertahun-tahun. Ia tahu persis bagaimana sifat dan karakter Rachel. Dalam waktu satu bulan itu juga ia mulai merasakan chemistry demi chemistry di antara mereka yang tidak pernah ia temukan saat dulu bersama Nicole. Perlahan Bjorka menyadari bahwa ia lebih cocok dengan Rachel. Maka saat menyampaikan pada mamanya bahwa ia sudah punya pacar dan juga mengatakan ingin menikahi pacarnya itu mamanya terkejut oleh kenekatan Bjorka. Mungkin Bjorka memang nekat. Tapi nekat yang ini bukan tanpa alasan. Nekat yang ini juga akan ia pertanggungjawabkan.Setelah meyakinkan kedua orang tuany
Starla menatap Rachel sambil senyum-senyum sendiri menyaksikan tingkah adik iparnya itu.Saat ini Rachel sedang mematut diri di cermin sambil memindai diri dari puncak kepala hingga bawah kaki. Rachel mengenakan dress berwarna peach dan masih merasa ada yang kurang. Ini entah dress ke berapa yang ia coba sejak tadi.Malam ini Bjorka akan mengajak ke rumahnya. Dan status sebagai kekasihnya yang Rachel sandang saat ini membuatnya merasa harus memberikan yang terbaik. Rachel memang sudah ribuan kali mondar-mandir ke rumah Bjorka, namun itu sebagai sahabat. Malam ini adalah untuk pertama kalinya ia akan menginjakkan kaki di sana sebagai pacar Bjorka. Dan rasanya gugup bukan main."Gimana, Ra? Masih belum juga?" tanya Starla melihat Rachel yang masih bimbang akan mengenakan baju yang mana."Ini sih bagus, tapi agak ketat di bagian dada," jawab Rachel."Atau coba yang ini."Rachel menerima midi dress floral berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru yang Starla sodorkan la
"Please, Ka, jangan sekarang." Rachel menolak ketika Bjorka mengatakan akan membawa ke rumahnya dan mengenalkan pada orang tuanya bahwa saat ini Rachel adalah kekasihnya.Sudah satu bulan mereka berpacaran namun tidak seorang pun tahu perubahan status tersebut karena sejak awal mereka mengetahui keduanya bersahabat. Semua berjalan sebagaimana biasa."Kenapa nggak boleh?" Bjorka menatap Rachel lekat, ingin tahu apa alasannya.Tentu saja Rachel tidak siap dengan semua ini adalah karena ia khawatir respon yang akan diterimanya dari orang tua Bjorka. Selama ini mereka bisa menerima Rachel sebagai teman anak mereka. Namun hal yang sama belum tentu akan terjadi jika mereka tahu bahwa Rachel adalah kekasih putra mereka. Rachel tidak akan pernah lupa ucapan mamanya Bjorka yang pernah ia dengar dengan tidak sengaja. Dari sana sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan sikap mereka pada Rachel."Bukan nggak boleh tapi aku rasa belum saatnya," jawab Rachel mengatakan alasannya."Jadi kapan saatnya
Satu tahun kemudian.365 hari telah berlalu. Bjorka kehilangan jejak Nicole. Sejak Nicole resign Bjorka tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Bjorka tidak pernah mencari tahu atau menghubunginya. Karena jika keep in touch dengannya semua akan semakin sulit.Hari-hari terasa begitu berat, hampa dan sunyi. Ternyata begini rasanya patah hati. Sampai detik ini Bjorka masih memikirkan perkataan Nicole waktu itu.Pintu kamar Bjorka diketuk. Lalu kepala Papanya menyembul. Javas tampak sudah rapi dengan Polo shirt hitam dan jeans biru pudar. Walau sudah bapak-bapak tapi papanya masih muda. Papanya bahkan jarang mengenakan celana kain selain ke kantor."Nggak malmingan, Ka?""Mau malmingan sama siapa, Pa?"Javas mendekat lalu duduk di pinggir tempat tidur tempat Bjorka berbaring."Masa udah mau kepala tiga masih jomblo aja," ledek Javas padanya."Ya mau gimana, nggak ada yang mau sama aku.""Yaelah, Ka, Ka ... Baru kehilangan cewek satu kali letoynya sampai satu tahun." Papa menoyor kepala Bjorka
Radev tidak menjawab pertanyaan Rachel. Aura dingin yang menguar dari ekspresinya membuat Rachel jadi ketakutan. Dulu Radev sudah menasihatinya agar jangan terpengaruh oleh Megan. Tapi yang terjadi Megan berhasil memanfaatkan Rachel. Megan tahu Rachel adalah anak yang patuh dan penurut. Kelemahannya itu digunakan Megan untuk menekan Rachel."Dev, lo tahu dari mana?" tanya Rachel sekali lagi masih dengan ekspresi yang sama. Takut-takut seperti tadi."Nggak penting gue tahu dari mana. Yang penting adalah gue tahu.""Lo tahu dari Kaka?""Sahabat gue bukan orang munafik. Dia pandai menjaga rahasia. Dia nggak bakal koar-koar ke mana-mana sekalipun sama gue."Rachel menggigit pipi bagian dalam. Kalau memang bukan dari Bjorka lantas dari mana Radev tahu? Apa selama ini Radev mengawasi pergerakan Rachel dari jauh? "Udah berkali-kali gue kasih nasihat. Lo mesti hati-hati sama Mami. Tapi nyatanya dia berhasil menjebak lo.""Sorry, Dev, gue emang salah. Abisnya gue kasihan sama Mami. Lagian wak
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Marvel. Langit seakan berduka dan turut menangis. Satu demi satu para pelayat sudah mulai pulang. Takut kena gerimis yang akan menjelma menjadi hujan deras.Rachel masih terpaku memandangi gundukan tanah di hadapannya. Jasad Marvel sudah terkubur jauh di dalam tanah sana namun Rachel masih belum bisa menghentikan air matanya.Saat ini hanya tinggal Rachel, Radev, Starla dan Bjorka di pemakaman tersebut. Teman-teman dari Lavender Manajemen serta rekan kerja Radev sudah pulang. Sedangkan Megan dan Rai tidak mau datang sama sekali meskipun ini adalah untuk terakhir kalinya."Ra, sudah. Kita sama-sama ikhlasin Papi biar beliau tenang di alam sana," bujuk Radev mengusap punggung Rachel."Gue masih nggak percaya kalau Papi bunuh diri, Dev. Seharusnya nggak begini. Papi mengambil jalan pintas karena ngerasa nggak ada yang mendukungnya, dia ngerasa sendiri," ratap Rachel dengan perasaan sedih yang tidak kunjung habis. Mata gadis itu merah dan bengkak akibat
Sidang akan dimulai ketika Bjorka, Nicole dan Rachel masuk ke dalam ruangan.Rachel melihat Marvel mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan ceking. Membuat Rachel ingin menangis melihat kondisi sang ayah. Di saat-saat begini seharusnya pria itu mendapatkan support dari orang-orang terdekatnya. Terutama istrinya. Yang terjadi, istrinya malah meninggalkannya dan meminta cerai darinya. Lalu pacaran dengan pria lain yang kaya-raya.Rachel tidak sempat berbicara dengan Marvel. Tapi mereka sempat saling mengirim tatapan. Marvel bersyukur. Semua orang meninggalkannya. Hanya putri bungsunya yang selalu setia mengunjungi dan memberi support.Sidang atas kasus penyuapan itu dimulai. Diawali oleh pembacaan susunan acara oleh panitera. Selama itu pula detak jantung Rachel tidak karuan. Semoga saja hukuman untuk papinya tidak terlalu berat.Jika diibaratkan dengan kata-kata, mungkin Rachel sudah begah oleh sidang demi sidang yang disaksikannya. Hari ini sua