Eve hanya bisa terdiam, tatapan Luis yang tajam seakan menembus jiwanya. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. "M-melakukannya lagi?" ucap Eve terbata-bata, mencoba menelan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Luis tersenyum lebar, senyuman yang membuatnya terlihat lebih menggoda daripada sebelumnya. "Ya, sekali lagi," jawabnya dengan suara dalam yang penuh permainan. Perlahan, dia menggeser tubuhnya semakin mendekat, membuat Eve semakin terdesak ke tepi ranjang. "Bagaimana? Apa kau ... tidak ingin melakukannya lagi?" Eve menggigit bibirnya, bingung antara ingin menolak dan mengikuti lelucon Luis. Beberapa jam sebelumnya terasa begitu menakjubkan, dan rasa malu masih merayapi benaknya. "Se-harusnya kita tidur, Luis," sahutnya, berusaha terdengar tegas meski setiap serat tubuhnya merasa sebaliknya. "Kau tahu, kita bisa tidur nanti," ujar Luis sambil mendekatkan wajahnya, membuat Eve merasakan kehangatan napasnya. "Tapi saat ini, aku ingin merasaka
Waktu di restoran tiba-tiba seolah terhenti. Suasana berubah menjadi hening, mengundang perhatian semua pengunjung yang berada di dekat meja mereka.Eve tak mampu lagi berbicara, hanya terdiam sejenak memandangi cincin di tangan Luis. Lalu, air mata kebahagiaan mulai mengalir di pipinya. “Oh, Tuhan. Ya, aku bersedia!” Senyum Luis seketika mengembang, terlihat sangat menawan. Membuat para pengunjung sontak terdiam. Dengan sikap gentle Luis mengenakan cincin yang ia bawa ke jari manis Eve. Mereka berpelukan dalam kebahagiaan, sementara Lean menatap penuh rasa haru. Edward merangkul pundak istrinya itu dan menariknya ke sisinya, “Kau baik-baik saja?” bisiknya. “Ya, aku hanya merasa sangat bahagia untuk mereka,” jawab Lean, namun dalam hati ada keraguan yang tak bisa ia hilangkan. Dia menatap casis cincin yang bersinar di jari Eve, seakan memantulkan keraguannya tentang masa depan sendiri.Setelah kebahagiaan itu agak mereda, mereka melanjutkan dengan makan bersama. Sebuah buket bunga
Saat matahari bersinar cerah di Kota L, Lean dan Edward baru saja mendarat di bandara setelah perjalanan bulan madu mereka.Hari itu, karena kelelahan, mereka pun hanya menghabiskan waktu di vila. Edward menghubungi kedua orang tuanya dan juga kakeknya bahwa ia telah kembali ke Kota L. Begitu pula Lean yang segera memberi kabar pada ayahnya. "Apa kau baik-baik saja, Lean?" tanya Leon melalui sambungan ponsel.Ada nada cemas dalam suara ayahnya yang tertangkap oleh indera pendengaran Lean. Membuat ia merasa sangat terharu atas perubahan ayahnya itu. Dan semua itu terjadi karena Edward. Diam-diam, Lean melirik ke arah suaminya yang sedang duduk di sofa dan tengah berbicara dengan kedua orang tuanya. Edward tersenyum lebar, membuat dua cerukan dalam yang ada di kedua pipinya semakin terlihat jelas. Oh, Tuhan. Lean tidak tahu kebaikan apa yang pernah ia lakukan hingga ia mendapatkan suami setampan dan sebaik Edward. Bahkan jika ini hanya mimpi, ia masih kesulitan untuk mempercayainya.
Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan canggung Lean dengan Brad di kafe. Lean bahkan pergi bersama Edward ke pernikahan Luis dan Eve di Zurich. Kini, kehamilannya telah mencapai usia enam bulan dan perutnya sudah mulai terlihat. Edward semakin mencemaskan dirinya dan berusaha melindungi Lean dengan cara yang lebih protektif. “Aku rasa sudah saatnya kau istirahat bekerja,” ujar Edward sambil memegang bahu Lean di dalam ruangan kantornya dan menatap istrinya itu dengan penuh kekhawatiran. “Aku baik-baik saja, Ed. Aku masih bisa bekerja,” balas Lean, meski ada ketidakpastian di dalam nada suaranya. Belakangan ini ia mudah sekali merasa lelah, dan demi menemani Edward— Lean terus mengacuhkannya. Edward menatap Lean dengan wajah serius. “Tolong mengertilah, kesehatan dan keselamatanmu serta bayi kita, adalah yang paling utama,” tegasnya. “Aku tidak ingin mengambil risiko.”Hal itulah yang membuat Edward memutuskan bahwa Lean harus beristirahat dari Gail Mart untuk fokus hanya pa
Sore itu, suasana di halaman belakang vila sangat tenang, namun hati Lean tiba-tiba berdegup kencang. "Jadi, Paman Ernest akan pergi selama satu minggu? Apakah ini artinya kau tidak bisa bersamaku?" tanya Lean, hatinya bergemuruh. Takut jika Edward kembali dekat dengan Rosalia. Sebagai seorang istri, meski ia jarang menunjukkannya di hadapan orang lain, bukan berarti ia tidak merasa cemburu terhadap Rosalia. Edward meraih tangan Lean dan menggenggamnya dengan erat. "Sayang, aku akan selalu bersamamu setiap hari. Aku hanya perlu pergi ketika Rosi mengalami kontraksi dan akan segera melahirkan bayinya. Untuk memeriksa keadaannya setiap hari, Anton bisa menggantikan ku untuk melakukannya." Lean mendongak menatap Edward, memperhatikan apakah suaminya itu benar-benar serius dengan ucapannya. "Paman sudah membantuku dalam menyelesaikan kasus Bart. Sekarang, Paman hanya meminta agar aku menemani Rosi di saat dia benar-benar membutuhkannya." "Tapi aku juga membutuhkanmu." Lean teta
Pria itu adalah Brad, dari jendela mobil yang terbuka sedikit— ia terus menatap ke arah distro yang dimasuki oleh Lean dan Edward. Jiwanya seakan terperangkap dalam ketidakberdayaan dan kemarahan hanya karena melihat mantan tunangannya tampak tersenyum senang bersama Edward. Hati Brad berdesir tatkala ia melihat raut bahagia yang terukir di wajah Lean saat wanita itu memasuki toko. Tidak bisa ia pungkiri jika ia ... merasa sangat cemburu terhadap Edward. 'Jangan lakukan, Brad. Jangan lupa jika Ernest Gail sudah memperingatkanmu,' nasehat hatinya. Brad menggelengkan kepalanya demi mengenyahkan kalimat itu dari dalam benaknya. Hari ini, seharusnya ia sudah kembali ke Zurich. Namun, pikirannya yang kerap tertuju pada Lean membuatnya ragu untuk pergi. 'Kini dia sudah bahagia. Kenapa kau masih di sini?' kali ini otak Brad ikut angkat bicara. Brad sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya dari toko tersebut, terus mengawasi Lean yang tengah bergelayut manja di lengan Edward. Pr
Sejak saat itu, hidup Brad terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Setiap langkah yang diambilnya harus ia pikirkan dengan matang, dan semua rencana yang ia susun akan melibatkan dua orang, Lean dan juga Edward. Rasa cemburu itu terus mengganggu pikirannya, dan perlahan-lahan, tekadnya untuk mendapatkan Lean kembali semakin menguat.Keesokan harinya, setelah pertemuannya dengan Oliver, Brad memutuskan, ia tidak ingin hanya menjadi sosok yang menunggu, tetapi seorang pejuang yang siap merebut kembali hati Lean dengan memantapkan posisinya di kancah bisnis Internasional. Brad membawa pemikiran ini saat ia kembali ke Zurich. Hari berganti, beberapa hari setelah kepergian Brad, Wilhelm yang baru saja pulang dari luar negeri tampak masih belum bisa menata hatinya. Di resto miliknya ia duduk termangu sambil memikirkan apa yang ia rasakan terhadap Lean. Di sisi lain, Edward berusaha keras untuk selalu meluangkan waktunya untuk sang istri di sela-sela kesibukannya. Akhirnya, hari
Ketika Wilhelm dan Lean masih berbincang di ruang tamu, tawaran Wilhelm untuk bersantai sejenak menyelamatkan suasana tegang di antara mereka. Namun, saat perbincangan mulai melambat, Lean tiba-tiba merasakan nyeri tajam di perutnya. "Wil-helm!" panggilnya terbata, sambil memegang perutnya. Wilhelm mengerutkan kening saat menemukan pelipis Lean dipenuhi butiran keringat sebesar biji jagung juga wajah wanita itu yang mendadak menjadi pucat. "Ada apa?" tanyanya, dengan cepat beranjak dari sofa dan melangkah menghampiri Lean. Raut panik tergambar di wajahnya yang tampan. "Perutku ... tiba-tiba merasa sakit," jawab Lean sambil berusaha menarik napas panjang, tetapi rasa sakit yang semakin meningkat membuatnya menjadi cemas. "Di mana rasa sakitnya? Apakah itu berhubungan dengan kehamilanmu?" Wilhelm membungkuk di hadapan Lean dan memperhatikan wanita itu dengan wajah bingung. Please, ini pertama kalinya ia berhadapan dengan seorang wanita yang sedang hamil. Hingga ia tidak tahu apa yan
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara