"Lean, bisakah kau membantuku?" Anton keluar dari kamar Edward dengan jasnya yang sedikit tertekuk. Gurat-gurat lelah terukir di wajahnya, sebab sejak berhasil mengeluarkan Edward dari Klub Bill, ia sesekali masih harus memperhatikan tingkah Edward yang duduk di kursi penumpang bersama Lean dari kaca spion mobil. Takut jika Bosnya itu akan menyakiti Lean. Tapi, yang ia takutkan itu sama sekali tidak terjadi. Meski Edward tampak menatap tajam ke arah wanita itu selama hampir 30 menit, setelahnya— Bosnya itu langsung menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan tidur begitu saja hingga tiba di apartemennya. Kondisi Edward terlalu mabuk saat turun dari mobilnya, jadi ia terpaksa memapah Bosnya itu sampai ke unitnya bahkan hingga ke dalam kamarnya. "Membantu? Membantu apa?" Lean menatap Anton sambil mengerutkan keningnya. Saat ini ia berada di ruang tamu apartemen Edward, dan seperti ucapan Anton saat di Klub— apartemen Edward memang berada persis di sebelah apartemen yang ia tempati.
"Maaf, Tuan Edward. Aku Sekretaris Anda, bukan Istri Anda!" tegas Lean. "Hmm." Edward mengangkat bahunya, "Kupikir itu yang kau inginkan hingga kau bersedia untuk tinggal menemaniku," tambahnya acuh tak acuh. Namun di dalam hati, Edward justru tersenyum. Ia, mengagumi ketegasan yang Lean tampilkan di wajahnya. Ia kini bahkan mengerti mengapa ia bisa menghabiskan malam dengan wanita ini di Swiss. Semua yang terjadi di malam itu, sebenarnya ada sedikit ingatan yang masih tertinggal di dalam benak Edward. Ia ingat saat itu ia ingin pergi ke taman yang berada di samping ruangan pesta. Lalu, ia menemukan Rosi, bukan! Itu Lean, karena Lean lah yang telah menghabiskan malam bersamanya. Saat itu, ia melihat wanita ini sedang diganggu oleh dua orang pria. Hanya saja, pandangannya terlalu samar. Hingga ia justru menganggap Lean sebagai Rosi. Sepertinya, Lean telah dijebak oleh seseorang hingga bersikap agresif. Karena dari informasi yang ia dapatkan, seharusnya adik Eve ini adalah wanita
Keesokan paginya ... "Pukul 6.30? Gawat, aku sudah terlambat." Usai mematut dirinya di depan kaca, Lean menyambar tas kerjanya. Dan sambil merogoh ke dalam tas, mencari ponselnya untuk menghubungi supir Gail Mart, Lean yang telah tiba di depan pintu apartemennya membuka pintu tersebut dengan tangan yang telah menemukan ponselnya. "Tu-Tuan Edward? Asisten Anton?" Lean sontak dikejutkan oleh kehadiran Edward dan Anton saat pintu apartemennya telah terbuka. Entah sejak kapan rekan dan atasannya itu berada di depan pintu apartemennya. Namun saat ini, ia melihat salah satu tangan Anton tengah terangkat ke arah pintu seolah rekannya itu ingin mengetuk pintunya. "Ada apa ini?" selidik Lean sambil menyipitkan matanya pada Edward. Alih-alih menjawab, Edward justru melengos dan pergi begitu saja, "Baru kali ini aku menemukan seorang Sekretaris yang bangun lebih siang dari orang yang harus dilayaninya," sindirnya, seraya melangkahkan kakinya menuju lift. Di belakang Edward, Anton segera m
"Bagaimana ini?" di dalam ruangannya, sambil duduk di kursi kerjanya, Lean menggigit kukunya mengingat percakapannya dengan Edward beberapa saat yang lalu. Saat itu, Lean sempat memprotes permintaan Edward yang menginginkan dirinya. "Tuan Edward yang terhormat, aku hanya Sekretaris Anda. Dan jika Anda memang membutuhkan seorang wanita untuk melayani Anda, bukankah dengan tubuh dan wajah itu juga status keluarga Anda— maka tidak akan sulit bagi Anda untuk menemukan wanita itu?""Dengan tubuh dan wajahku?! Apa maksudmu, Lean Marquise?!""M-maksudku, tubuh Anda sangat sempurna, dan wajah itu ....""Benarkah? Lalu, jika aku menginginkan mu, apa kau juga tidak akan menolak tubuh dan wajah ini?""T-Tuan ....""Aku bertanya padamu, Lean Marquise!""Huft." Lean menghembuskan nafas kasar kala mengingat setiap kata yang dilontarkan oleh Edward dengan wajahnya yang arogan. Wajah angkuh yang rasanya ingin ia pukul dengan tinjunya. Namun, hal itu tentu saja hanya berani ia pikirkan di dalam ben
"Hari ini kerjamu cukup baik," puji Edward pada Lean di dalam sedan yang membawanya kembali ke Gail Mart. Sambil menyetir dengan hati-hati, Lean hanya tersenyum kaku mendengar pujian itu. Baiklah, ini hari kedua ia bekerja pada Edward Gail. Secara keseluruhan, ia sudah mulai memahami hampir sebagian besar tugas yang diberikan padanya. Mengurus laporan, merapikan agenda Edward, juga menambah beberapa janji baru ke dalam agenda atasannya itu. Di antara semua tugas itu, tugas membuat atau memeriksa laporan adalah yang paling ia minati. Dan tugas memenuhi permintaan Edward merupakan tugas yang paling ia benci. Contohnya, jadwal baru yang Edward ingin Lean tuliskan ke dalam agendanya hari ini. Oh, please! Jadwal itu benar-benar membuat ia pusing tujuh keliling. Memikirkan apa yang Edward inginkan dari dirinya. "Oh ya, untuk nanti malam, jangan lupa untuk membawa satu botol wine terbaik ke apartemenku. Dan satu lagi, jangan terlambat! Karena aku benci menunggu!" Lean mencebikkan bibir
"Aku ... aku tidak mengerti apa maksud Anda, Tuan Edward." Lean memalingkan wajahnya ke kiri, karena posisi wajah Edward kini berada di atas pundak kanannya. Hanya beberapa senti dari telinganya.Dalam keadaan terkurung, ia diam-diam melirik kedua lengan Edward yang berada di atas meja. Menyadari bahwa tubuh Edward saat ini sangat dekat dengannya, detak jantung Lean sontak bertabuh kencang. Terlalu cepat hingga Lean merasa sesak dan kesulitan untuk bernafas dengan baik.Selain itu, wangi krim cukur Edward terasa segar menyapa indera penciumannya. Dan parfum atasannya itu ... oh, Tuhan. Mengapa wangi parfum itu selalu berhasil membuatnya tergoda? Rasanya ia ingin ... ingin membalikkan tubuhnya. Ingin menyembunyikan wajahnya di dada Edward yang bidang.Apalagi, ia pernah melihat dada itu tanpa tertutup sehelai kain pun sebelumnya. Dada Edward sangat indah, pundak atasannya itu lebar seolah memiliki sayap. Dan bagian di bawah dada Edward memiliki beberapa pack otot di sana.Edward Gail,
"Minum lagi?" Edward memicingkan matanya, pada Lean yang telah memberikan gelas kelima padanya. Bahkan, botol wine kedua juga telah terbuka. Dan Lean, wanita bodoh ini yang tampak sudah mabuk justru memaksanya untuk terus minum bersama ketika ia ingin membawa Lean ke dalam kamarnya. "Hei, Lean Marquise! Kau ... kau sudah mabuk!" ia lalu merampas gelas wine dari tangan Lean tepat sebelum wanita itu ingin menenggak habis wine yang berada di dalam gelasnya. Usai mengambil gelas dari tangan Lean, Edward segera menyembunyikan gelas miliknya dan juga gelas Lean ke dalam kulkas. Ia juga menyimpan sisa wine di tempat yang seharusnya setelah menutup botolnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke ruang tamu dan menemukan Lean tengah duduk bersandar di sofanya. Wajah Lean menengadah menatap langit-langit ruang tamu, tatapan wanita cantik itu bahkan terlihat sayu. Melihat hal itu, Edward memijat puncak hidungnya serta menghembuskan nafas gusar. Bukan ini yang ia rencanakan ketika ia meminta L
"Ukh! Kepalaku." Dini hari, Lean tiba-tiba terjaga dengan kepala yang berdenyut nyeri. Seakan aliran listrik sambar-menyambar menyerang otaknya.Demi meredakan rasa sakitnya, ia pun memijat pelipisnya. Tanpa memperhatikan di mana ia berada saat ini. Dan setelah beberapa saat, kala sakit pada kepalanya mulai berkurang, ia lalu mengerjapkan matanya, menajamkan penglihatannya. Sedikit terkejut saat menyadari bahwa ia tidak berada di dalam kamar apartemennya."Di mana ini?" Lean mengernyitkan keningnya, kemudian mengangkat tubuhnya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tempat ia berada.Hingga, ia menemukan sosok Edward yang tengah tertidur dalam posisi duduk bersandar di sofa. Kedua kaki Edward diluruskan dan diletakkan ke atas meja. Sementara pria itu tampak tenang dalam tidurnya.Lean memperhatikan Edward selama beberapa saat, kemudian tersenyum setelahnya. Namun, saat ia menyibak selimut yang tengah menutupi tubuhnya— pekik tertahan sontak lolos dari mulutnya."Apa yang terj
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara