"Minum lagi?" Edward memicingkan matanya, pada Lean yang telah memberikan gelas kelima padanya. Bahkan, botol wine kedua juga telah terbuka. Dan Lean, wanita bodoh ini yang tampak sudah mabuk justru memaksanya untuk terus minum bersama ketika ia ingin membawa Lean ke dalam kamarnya. "Hei, Lean Marquise! Kau ... kau sudah mabuk!" ia lalu merampas gelas wine dari tangan Lean tepat sebelum wanita itu ingin menenggak habis wine yang berada di dalam gelasnya. Usai mengambil gelas dari tangan Lean, Edward segera menyembunyikan gelas miliknya dan juga gelas Lean ke dalam kulkas. Ia juga menyimpan sisa wine di tempat yang seharusnya setelah menutup botolnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke ruang tamu dan menemukan Lean tengah duduk bersandar di sofanya. Wajah Lean menengadah menatap langit-langit ruang tamu, tatapan wanita cantik itu bahkan terlihat sayu. Melihat hal itu, Edward memijat puncak hidungnya serta menghembuskan nafas gusar. Bukan ini yang ia rencanakan ketika ia meminta L
"Ukh! Kepalaku." Dini hari, Lean tiba-tiba terjaga dengan kepala yang berdenyut nyeri. Seakan aliran listrik sambar-menyambar menyerang otaknya.Demi meredakan rasa sakitnya, ia pun memijat pelipisnya. Tanpa memperhatikan di mana ia berada saat ini. Dan setelah beberapa saat, kala sakit pada kepalanya mulai berkurang, ia lalu mengerjapkan matanya, menajamkan penglihatannya. Sedikit terkejut saat menyadari bahwa ia tidak berada di dalam kamar apartemennya."Di mana ini?" Lean mengernyitkan keningnya, kemudian mengangkat tubuhnya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tempat ia berada.Hingga, ia menemukan sosok Edward yang tengah tertidur dalam posisi duduk bersandar di sofa. Kedua kaki Edward diluruskan dan diletakkan ke atas meja. Sementara pria itu tampak tenang dalam tidurnya.Lean memperhatikan Edward selama beberapa saat, kemudian tersenyum setelahnya. Namun, saat ia menyibak selimut yang tengah menutupi tubuhnya— pekik tertahan sontak lolos dari mulutnya."Apa yang terj
Brakk ...! Lean menutup pintu kamarnya dan langsung menguncinya sebelum Edward tiba di hadapannya. Apa yang Lean lakukan itu, membuat Edward menjadi sangat gemas. Dan dengan wajah merah padam, ia melemparkan pandangannya ke arah Anton yang sedang memperhatikan pintu kamar Lean yang tengah tertutup dengan wajah bingung. "Bagaimana jadwalku hari ini?" lontarnya pada Asistennya itu. Anton berpikir sejenak, mencoba mengingat jadwal yang telah ia susun untuk Edward sepanjang minggu ini. Jadwal yang telah ia tulis ke dalam agenda atasannya itu yang ia berikan pada Lean. "Sepertinya hari ini Tuan tidak ada jadwal keluar Gail Mart ataupun memimpin meeting, ada apa, Tuan?" Anton balik bertanya, sembari menatap Edward. "Kalau begitu, bisakah kau menangani Gail Mart untuk beberapa jam ke depan? Aku mungkin akan sedikit terlambat."Meski tidak mengerti apa yang ingin Edward lakukan, Anton tetap mengangguk patuh pada atasannya itu. "Baik, Tuan Edward. Aku akan segera ke Gail Mart sekarang,
"Bagaimana keadaannya?" lontar Edward, pada Dokter pria yang baru saja memeriksa Lean saat Dokter itu keluar dari kamar Lean."Saat ini dia sedang tidur, Tuan Edward. Dan tentang penyakitnya, Nona Lean hanya terlalu lelah dan sepertinya sedikit stres. Tadi aku telah memberinya suntikan agar Nona Lean bisa beristirahat hari ini. Tapi, sebaiknya makannya juga perlu dijaga. Jangan memberinya alkohol dalam waktu dekat ini, tubuhnya tidak memiliki ketahanan terhadap alkohol," terang sang Dokter, panjang lebar. "Jadi dia ... tidak bisa minum minuman beralkohol?" lontar Edward, menatap Dokter yang tengah berbicara padanya dengan mata membola. "Jika melihat reaksi tubuhnya, seharusnya seperti itu." Dokter pria itu menganggukkan kepalanya. Mendengar penjelasan dari Dokter itu, Edward hanya tersenyum kaku sambil mengumpat dalam hati. 'Mengapa dia tidak mengatakan apapun padaku semalam?' batinnya. "Oh ya, apakah Anda akan pergi bekerja, Tuan Edward?" Dokter pria itu tiba-tiba balik bertanya
"Tolong pikirkan ucapanku tadi!" pesan Oliver, sambil melambaikan tangannya pada adiknya. Saat ia dan Edward berpisah di depan resto Les Jardins. Edward membalas lambaian tangan saudara lelakinya itu dengan wajah acuh tak acuh. Tanpa ingin menanggapinya sama sekali. Usai melakukan hal itu, ia pun mengajak Anton untuk kembali ke Gail Mart. Dalam perjalanan pulang, ia terus menutup rapat mulutnya di kursi penumpang sambil memikirkan pembicaraannya bersama Oliver satu jam yang lalu. "Sebaiknya jangan menggodanya jika kau tidak menyukainya, Ed. Dan jangan juga memperlakukannya dengan kasar, cukup jaga jarak saja darinya kalau kau benar-benar tidak ingin menikah dengannya. Biarkan kelak dia yang memilih pergi meninggalkanmu, dengan begitu— Kakek tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk memaksamu menikahi Lean Marquise!"Ucapan Oliver itu terus terngiang di telinga Edward. Dan tanpa sepengetahuan saudara lelakinya itu, sebenarnya Edward sudah memutuskan untuk tidak terlalu sering berint
"Dia ... baru pulang?' dari ruang tamu unitnya, samar-samar Lean mendengar suara pintu unit Edward yang ditutup dengan sedikit keras. Seolah Edward hanya membuka pintu unitnya, masuk ke dalam apartemennya lalu membiarkan pintu itu bergerak menutup sendiri. 'Apa yang terjadi? Mengapa dia ... tidak lagi ke sini seperti tadi pagi?' Lean ingat, pagi ini Edward sangat bersikeras ingin masuk ke dalam apartemennya untuk menemui dirinya. Pria itu bahkan menggendongnya dan meletakkannya ke atas ranjangnya saat rasa pusing menyerang titik syarafnya dan ia jatuh menubruk tubuh Edward. Alih-alih marah padanya saat hal itu terjadi, Edward justru terdengar sangat mencemaskan keadaannya. Edward juga memanggil seorang Dokter untuk memeriksa dirinya. Dan, ketika ia bangun siang tadi, tiba-tiba ia menemukan dua orang pelayan wanita ada di dalam apartemennya. Kedua pelayan itu membantunya, memasak untuknya, dan memberikan obat padanya. Salah seorang dari kedua pelayan itu bahkan berkata ... "Ob
"Apakah agenda Tuan Edward masih ada padamu?" lontar Lean pada Anton, setibanya ia dan rekannya itu di parkiran Gail Mart. "Ada, di ruanganku, kenapa?" Anton balik bertanya, menoleh pada Lean yang tengah melangkah bersamanya di sisinya menuju lobby Gail Mart. "Oh, kalau begitu aku akan mampir ke ruanganmu dan mengambilnya terlebih dahulu sebelum aku menemui Tuan Edward."Mendengar ucapan Lean, Anton sontak menghentikan langkahnya. "Ehem, Lean!" panggilnya, membuat Lean yang baru menyadari bahwa dirinya saat ini tengah melangkah sendiri— reflek berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wanita itu menatap Anton dengan kening berkernyit, seolah bingung mengapa ia tiba-tiba berhenti dan justru hanya menatap lurus pada Lean. "Ada apa?" tanya Lean penasaran, kala melihat raut serius yang Anton tampilkan di wajahnya. Anton hanya diam selama beberapa saat, tak mengerti bagaimana harus menyampaikan pada Lean bahwa hari ini Edward, sang Bos. Tidak ingin Lean datang ke ruangannya. "Karena kau mas
"James, ada apa? Tumben kau menghubungiku?" lontar Anton pada seorang pria yang sedang berbicara dengannya melalui sambungan ponsel.Sambil menjepit ponselnya dengan pundaknya, ia yang tengah memeriksa beberapa berkas yang telah ia bawa dari ruangan Edward, hanya diam mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya."Tuan Besar telah mendengar kabar bahwa hari ini Tuan Edward akan pergi ke bandara untuk menjemput Tuan Ernest dan Nyonya Rosi, apa itu benar?" tanya suara di seberang sana. "Benar, tapi bukankah Tuan Oliver juga akan pergi?" celetuk Anton, sembari mengangkat salah satu alisnya, bingung mengapa James terlalu mencemaskan Bosnya."Itu berbeda, Anton. Kau tahu itu. Tuan Oliver harus pergi karena Tuan Oliver harus menyambut Tuan Ernest. Dan juga, Tuan Oliver sudah menikah. Kau pasti mengerti, 'kan maksud Tuan Besar?""Ya," sahut Anton singkat, dan langsung memutar kedua bola matanya setelahnya. Sebenarnya, ia mengerti apa yang ingin James katakan padanya, bahwa pria itu dan juga T
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara