"Ma-maksud kamu apa, Nis?" tanyaku dengan suara yang bergetar. Sungguh aku tak kuat lagi jika harus terkejut untuk kesekian kalinya.
"Loh! Kok kamu malah bingung. Ini sengaja acara untuk kamu loh. Kamu ngga suka aku buatkan pesta atas pernikahan keduamu. Harusnya kamu bangga, ngga ada istri seikhlas aku. Yang rela merogoh tabungan hanya untuk mengadakan pesta pernikahan suaminya yang kedua." Nisa berkata penuh penekanan. Tak dapat di sangkal apa yang ia katakan. Benar, baru kali ini mungkin, ada perempuan yang mau membuatkan pesta pernikahan untuk madunya.
"Ta-tapi?" Aku masih saja tergagap, namun sedetik kemudian Nisa sudah berhasil membuatku berdiri walau dengkulku terasa linu.
"Mbak, ini pesta pernikahanku, kenapa kamu yang dandan?" Kali ini Syasya terlihat protes. Benar juga? Aku malah jadi makin bingung.
"Oh, kamu mau dandan juga?" tanya Nisa dengan nada pelan.
"Iya!" Dia tersenyum sumringah.
"Baik, Mbak!" Panggil Nisa pada perias.
"Iya, Mbak."
"Berapa duit untuk merias dia?" tanya Nisa.
"Untuk Mbak ini aku kasih harga tujuh juta saja, Mbak. Ini diskon 30 persen."
Terlihat Syasya kegirangan. Mengira jika Nisa akan membayarkannya.
"Mana duitmu!" Nisa mendekat pada Syasya.
"Loh, kok tanya uang, Mbak? Kan aku mau di rias!"
"Iya! Kalau mau di rias ya bayar sendiri!" Nisa menyentak. Namun, kemudian dia seperti berubah pikiran.
"Kamu mau yang gratis?" tanya Nisa kembali.
Syasya mengangguk.
"Baik, Mbak, rias dia!" Nisa memerintah pada perias itu dengan memberi kode. Entah kode apa, aku sempat melihat mereka saling kedip. Mungkin Nisa memilih untuk berhutang. Ah! Bodo amat, yang penting aku senang melihat Nisa berbaik hati. Coba kalau tadi kekeh suruh bayar sendiri? Yang ada Syasya mendorongku untuk membayarnya.
Tak lama setelah Syasya dibawa kekamar, kini aku tengah menikmati wajah ayu Nisa. Sungguh dia anggun sekali, serasa sangat berkelas ketika dia bermake-up. Sayang dia tak melakukannya setiap hari. Andai ....
Dia selalu mengunakan baju daster yang sudah sobek ketiaknya. Kalau di suruh berdandan selalu alasan jika dia repot mengurus Al dan El. Padahal apa susahnya sih, lima menit saja siap. Bukan sampai situ, setiap pulang selalu saja keluh kesahnya. Tentang diapers habis, susu habis, minyak telon dan lain-lainnya. Membuat aku yang lelah bekerja bukan senang melihat bini cantik justru makin stres.
Ting ... Tong!
"Mas, ayo bersiap. Mereka sudah datang!" Nisa menarik tanganku, sungguh aku tak tahu siapa yang dia maksud. Kuharap semua tak membuat spot jantung ku makin cepat.
Nisa dengan sigap memegang handle pintu dan menariknya. Aku terpana pada semua orang yang sudah berkumpul di depan pintu.
Pak Rangga-- seorang direktur-- Bu Maria--Direktur utama dan satu lagi Pak Denis--direksi di perusahaanku. Aku sungguh tak menyangka jika Nisa berbuat negat menggundang mereka. Bisa langsung di pecat nanti.
"Silahkan masuk!" Perintah Nisa dengan senyum mengembang. Ternyata selain mereka juga ada beberapa temanku yang profesinya sederajat. Manager.
"Selamat ya, Man!" Mereka mengucapkannya.
"Pak! Se-semua tak seperti yang bapak kira!" Aku mengikuti Pak Denis dan Pak Rangga. Aku tak ingin jabatanku sebagai meneger di cabut. Aku harus memohon pada mereka jika semua ini kesalah pahaman.
"Kamu kenapa?" tanya Pak Rangga yang berjalan di depanku kemudian berhenti mendadak, membuat aku menabrak tubuh kekarnya.
"I-ini semua tak seperti yang Bapak pikir. Ibu Direktur, Maaf untuk masalah ini!" Aku menangkupkan kedua tanganku. Memohon ampunan atas pernikahanku yang mungkin akan mencoreng nama baik perusahaan.
"Saya mengerti, tenang saja. Istrimu sudah menjelaskan semua kenapa kamu memilih menikah lagi!" Pak Rangga menepuk pundakku, menenangkanku yang tengah panik atau kocar kacir.
Benarkah demikian? Bagaimana mungkin Nisa mampu meyakinkan mereka jika alasan aku menikah hanya karena dia tak sempat bisa berdandan.
"Aku salut dengan keluargamu. Istrimu yang ikhlas di poligami dan juga madunya yang ikhlas mengabdi untuk membantu mengasuh kedua putra kembarmu. Hingga istrimu yang cantik itu bisa datang saat acara kantor." Kali ini mataku membulat, mendengar penuturan dari Pak Denis yang jelas-jelas tak aku mengerti.
Syasya akan menjadi pengasuh anakku? Dan Nisa akan datang pada acara kantor? Ah! Kok kepalaku rasanya makin tak karuan. Ya Tuhan! Sampai kapan semua permainan ini berakhir.
"Loh! Masih disini. Ayo ... Masuk kedalam!" Perintah Nisa pada para tamu yang hadir. Mereka yang profesinya sama denganku ikut mengucapkan selamat walau dengan nada mengejek. Sial sekali nasibku ini!
Aku berjalan gontai menuju meja makan. Para tamu tengah menikmati hidangan yang memang alakadarnya. Aku masih bingung dengan semua ini. Nisa benar-benar berbuat dengan kendali penuh, sedikit salut namun kesal karena membuat jantung ku seperti akan terkena stroke.
Mereka asik berbincang dan kali ini para mantan Syasya juga sudah bergabung dengan para tamu kantor. Duh! Malunya jika mereka tahu yang datang itu semua mantan istri mudaku. Mau kubanggakan didepan semua orang ternyata justru memalukan. Kalau bisa ingin aku umpetkan saja si Syasya kekantong.
"Mana pengantin wanitanya?" tanya Bu Maria, wanita berbobot lebih namun ketus saat berbicara.
"Eee, An-u, Bu. Sedang berias." Aku tergagap.
"Nah itu dia, Bu!" Nisa langsung menyahut dan kami semua fokus tertuju pada seorang wanita yang baru keluar dari kamar.
"Astaghfirullahaladzim!" Serasa duniaku gelap dan aku tak melihat apapun sekarang.
===??!!!===
"Ha ... Haa ... Haa ...!" Tawa riuh para tamu yang hadir, membuat aku yang hampir kehilangan kesadaran langsung pulih. Mataku kembali terang. Aku harus menyelamatkan Syasya dari ejekan para tamu yang hadir. Apalagi ada petinggi di perusahaan ku. Pak Denis, selaku direksinya. Bisa malu tujuh turunan aku.Segera aku menuju dimana Syasya berdiri. Ia terlihat heran dengan semua orang yang tertawa melihatnya. Tak sadarkah dia? Jika riasnya menyerupai Kuntil beranak atau badut ulang tahun?"Sini, Sya!" Aku menarik tangannya dan membawanya masuk kekamar. Terlihat perias itu tengah tertawa terbahak sendiri di dalam kamar."Kamu!" Hardikku padanya yang langsung direspon dengan dia beranjak berdiri."Apa yang kamu lakukan pada istriku!" Aku mulai memarahinya, tak peduli lagi suaraku terdengar sampai kedepan."Aku hanya mendandaninya saja, Pak! Bukankah dia minta gratis," ucapnya tanpa rasa berdosa."Arrggghhh ...!" Tiba-tiba Syasya berteriak."Sya!" Aku langsung berusaha menenangkannya. Bahkan
Apa-apaan! Dia pikir karena aku sudah punya Syasya, dia jadi bebas dengan lelaki lain? Enak saja! Murahan sekali dia, tak jauh beda kalau begini dengan Syasya.Kutarik tangan Nisa untuk segera menjauh dari laki-laki kegatelan itu. Tanpa permisi ataupun berbasa-basi. Kalau seperti ini keadaannya, lebih baik dia aku kurung saja!Laki-laki itu mengejar, dia membuka topengnya yang ternyata adalah Hari manager juga di perusahaan ku bekerja. Manager personal tepatnya."Apa kamu? Jangan mentang-mentang aku punya istri lagi kamu bebas gangguin istriku, RI!" Aku mendorong tubuhnya yang berusaha melepaskan tanganku dari Nisa.Hari tak mau kalah, dia tetap berusaha untuk melepaskan tanganku. Semua orang sudah berkumpul melihatku. Aku masa bodoh. Pokoknya tak ikhlas jika Nisa dengan laki-laki lain selama masih menjadi istriku."Lepaskan, Ar! Dia ...!" Hari terus saja ngeyel."Mas." Dari belakang ada yang mencoba menepuk pundakku. Aku tak peduli, aku harus jauhkan Nisa dulu. Kudorong kembali tubuh
"Maaf, Pak! Jangan campuri urusan keluargaku. Aku hanya mendidik istriku agar tak kur*Ng ajar!" Aku sudah betul-betul emosi, lelah! Padahal belum ada sehari aku membawa Syasya satu rumah dengan Nisa."Ini menjadi urusanku ketika kamu sudah mulai ringan tangan kepada perempuan! Kamu sudah keterlaluan memperlakukan dia, Man. Dia sudah berbesar hati menerima poligami tapi kamu justru makin semena-mena!" Lagi, Pak Denis seperti membela penuh pada Nisa. Aku makin curiga mereka memiliki hubungan."Tapi yang ia lakukan sudah salah! Dia membawa barang haram kerumah!" Aku tak mau disalahkan."Kamu yang harusnya mikir, tanyakan apa benar dia yang membawa minuman itu kesini dan memberikan pada Syasya?!""Tak perlu, aku sudah tahu semuanya, dia biang kerok dari semua masalah, bahkan Tek segan mempermalukan Syasya didepan semua orang." Aku kembali menarik tangan Nisa. Nisa tak melawan tapi tatapan matanya sudah menyiratkan kemarahan besar. Bodo amat!"Kamu!" Pak Denis maju, mencekal kerah bajuku d
PoV Nisa."Nis! Aku pulang ...." Suara Mas Arman dari arah pintu langsung membuat aku yang tengah sibuk mengasuh putra kembarmu bergegas menyambutnya.Kucium tangannya dengan takzim walau penuh perjuangan, karena kedua tanganku mengendong Al dan El."Anak papa udah mandi?" tanya Mas Arman mencoel pipi Al dan El. "Udah dong, Pah." Aku yang menjawab, kini El berusaha berontak meminta turun dari gendongan.Mas Arman tak membantu, dia malah memberikan tas yang ia bawa. Aku makin kesusahan."Anaknya udah mandi, ibunya masih kumel. Suami kerja disambut sama daster bolong. Emang ngga ada baju lain?" Mas Arman ngedumel sambil berlalu tanpa menatapku.Aku menghela nafas berat. Andai kamu tahu, Mas. Menjaga anak kembar yang sedang aktif-aktifnya itu menguras tenaga. Jangankan untuk mandi, boker aja mesti di tahan sampai mereka atau salah satunya tertidur. Hufh ... Tentu semua hanya aku ucapkan dalam hati."Nis! Buatkan aku kopi!" teriaknya dari depan TV. Aku yang tengah menyuapi Al dan El di d
PoV NisaAku bingung harus mulai mencari dari mana jati diri Syasya. Aku tak terlalu lihai dalam menggunakan medsos. Semua karena aku sibuk mengurus anakku. Tapi, setidaknya aku tahu dan faham.Aku berfikir sejenak. Aplikasi biru!Segera saja aku scroll aplikasi pemilik sejuta umat itu. Tak menunggu lama, aku dapat beberapa nama akun yang sama, tapi aku sudah sangat hafal wajah si Syasya itu.Ketemu! Aku mulai meng-Add ternyata cukup aktif, tak menunggu lama ia meng konfirmasi pertemanan. Mungkin karena aku menggunakan akun Laki-laki hingga responya sangat cepat.Kuscoll statusnya, yang isinya hanya tentang liburan, makan enak dan jalan-jalan. Lebih kebawah, aku menemukan foto dia berjalan dengan laki-laki gagah yang tentunya bukan suamiku. Beruntung dia juga men-tag akun lelakinya. Aku harus cari tau lewat dia. Dari laki-laki bernama Samsul itu, aku tahu banyak tentang Syasya. Ternyata dia adalah korban kesekian kalinya dan semua yang pernah dengan Syasya bukan orang sembarangan tap
Aku mencoba menyusul Nisa kekamar, mungkin aku masih bisa merayu. Tak susah menenangkan wanita yang marah. Cukup peluk dan kecup pucuk keningnya.Klek!Terkunci, Nisa tak ingin aku masuk. Ada rasa sesak didada sini. Biasanya Nisa marah tak pernah mengunci pintu. Apa aku telah membuat ia sangat kesakitan? Bukankah dia bilang sudah ikhlas menerima poligami ini.Aku duduk bersender pada pintu. Masih ada ganjalan hati. Aku menyakiti Nisa dengan menyetarakan derajatnya dengan Syasya yang ternyata hanya wanita bekas jamahan para buaya.Mataku panas tapi tak ingin menangis. Aku laki-laki, masa cengeng begini. Aku beranjak tapi rasanya sama sekali tak ingin pergi kekamar Syasya. Aku rindu Nisa bukan Syasya.Kujatuhkan bobot di sofa, tak peduli dengan keadaanya yang isinya sampah berserakan. Gelas dan piring kotor menumpuk pada sofa yang aku tiduri. Lelah! Bukan hanya raga tapi juga hati."Arman! Kamu baru satu minggu menikah dengan Syasya dan baru beberapa jam membawa Syasya kerumah ini. Sud
Benar saja, sampai sore belum ada tanda-tanda kepulangan Nisa, mana Al dan El rewel. Dikit-dikit minta minum dikit-dikit minta makan, sekarang ngga tahu minta apa karena semua nangis kejer."Mas, bagaimana si ini? Mereka nangis Mulu!" Protes Syasya sambil mendengus."Ngga tahu nih! Kamu perempuan kan harusnya lebih tahu," jawabku. Aku aja jarang melihat mereka begini, biasanya kalau libur aku lebih suka menghabiskan waktu bermain game."Coba telfon ibunya, Mas. Kita ini pengantin baru. Bukannya kelonan malah di suruh jaga anak. Padahal Mas sudah bolos kerja hari ini. Aku sudah senang kita bisa main kuda-kudaan lagi!"Benar yang di katakan Syasya. Harusnya kan begitu. Hari ini aku sebenarnya harus masuk kerja tapi membolos karena tadi bangun kesiangan juga masih tak enak dengan kejadian semalam."Hallo, Nis! Kamu di mana?" tanyaku saat telfon Nisa di angkat."Iya, Mas. Aku sedang belanja nih. Masih banyak yang harus kubeli." Dari sebrang sana Nisa menjawab."Tapi ini Al dan El nangis!"
"Bagaimana bisa? Coba kamu ingat-ingat, Mas. Sini dompetnya biar aku cari. Siapa tahu terselip saat kemarin kita membayar sesuatu." Syasya mengoceh, aku pusing dibuatnya. Pikiran stres. Bagaimana bisa? Seingatku aku kemarin menaruh ditempat biasa dan belum aku keluarkan kecuali ....Ya! Malam tadi aku mengeluarkan dompet dan menaruhnya di meja. Apa mungkin terjatuh?"Bagaimana, Mas? Mau selesaikan pembayarannya?" Kali ini kasir berkata, mungkin karena dibelakang sudah banyak yang mengantri.Bagaimana ini?"Gini aja, Mba. Saya ATM-nya ketinggalan, bisa tidak kalau sistem tranfer. Kebetulan saya ada M-banking-nya." Sedikit Mbak kasir berfikir."Kalau menurut prosedur si ngga bisa, Mas. Harus di gesek disini sebagai tanda bukti juga.""Pliss deh, Mba!" Aku memohon dan memasang wajah memelas."Bagaimana ya? Paling bisanya Mas tranfer ke saya lalu membayar dengan menggesek ATM saya. Tapi ....""Ya sudah gitu saja ngga papa, Mbak. Nanti aku lebihin." Aku sedikit senang karena punya harapan
5 Bulan kemudian.Acara resepsi pernikahanku di gelar di sebuah gedung bertingkat. Aku bangga, sekaligus bahagia dapat menambatkan hati kembali pada sosok keren dan setia seperti Mas Denis."Gimana pengantinnya? Apa sudah siap! Sebentar lagi akan nikah akan di lakukan." Seorang wanita yang kutahu karyawan kepercayaan Mas Denis memberitahu.Aku makin deg-degan di buatnya. Walau ini hal yang kedua kali aku lalui tapi nyatanya tak menyurutkan rasa nervous yang kualami."Sudah siap, Mbak?"Aku memandangi diri pada cermin. Riasan yang natural namun elegant, bahkan aku sampai tak mengenali diriku. Sungguh MUA yang profesional."Makasih ya, Mbak," ucapku tulus.Dua orang telah menungguku untuk menuju ruang akad nikah. Satu menggandengku dan satunya lagi memegangi bajuku yang terjuntai kelantai beberapa meter.Sungguh aku merasa bak Cinderella yang sedang menunggu singgasana. Derap langkah kaki berpacu dengan jantung yang makin tak menentu."Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan untuk tak s
PoV Nisa.Aku fokus pada tangan Pak Denis. Botol itu? Bukankah itu botol obatku. Ya Allah! Kali ini aku kecolongan. Aku lalai dan berakibat orang lain tahu bahwa aku mengkonsumsi obat penenang. Memang sekarang itu aku mudah sekali lupa, bahkan kadang juga linglung. Apa ini efek samping dari obat itu!Saat aku hentikan mereka yang akan berkelahi, kepalaku sudah mulai berdenyut. Sakit sekali. Jangan sampai aku kambuh, aku tak ingin semua ini terbongkar. Aku kuat, aku tegar!Kusupport diriku, namun tekanan batin makin menjadi. Terus menuju kepala, makin pusing. Rasa ingin berontak dan puncaknya benar. Aku berteriak bak orang gila. Pasti mereka kaget, karena tahu bahwa aku sebenarnya gila. Ya aku yakin setelah ini pasti aku di masukan ke RSJ.Kepala serasa di putar-putar. Makin pusing tak karuan. Melihat Pak Denis dan Mas Arman sudah tak jelas hingga semuanya gelap, pekat. Apakah aku meninggal?Tut ... Tut ... Tut ... Aku membuka mata, namun kepalaku terasa berat. Kulihat sekeliling tapi
Allah!Beberapa kali aku menyebut asma Allah, sungguh hati ini perih melihat kenyataan ini. Apa aku sangat kejam? "Ya Allah! Hukumlah aku! Jangan hukum Nisa, semua masalah berawal dariku!" Aku terduduk lemas di lantai rumah sakit. Tak peduli jika ada orang yang memperhatikanku dalam.Pak Denis mendekat. Ia memegang kerahku. Aku pasrah saja. Memang aku pantas jika harus di pukul sekalipun."Apa ini yang kamu mau dari Nisa? Apa ini yang kamu inginkan, hah! Lihatlah, dia itu ibu dari anak-anakmu! Tak sedikitlah kamu iba?!" Pak Denis melepaskanmu hingga aku terjengkang kebelakang.Dia seperti sangat geram, bahkan tak kalah frustasinya. Dari itu aku sadar jika Pak Denis mencintai Nisa.Aku masih merundungi nasib di depan ruang ICCU. Nisa belum sadarkan diri. Kata dokter ada pembekuan otak akibat terlalu sering mengkonsumsi obat penenang dengan dosis tinggi. "Nisa sadarlah, aku janji akan melakukan apapun asal kamu sembuh. Aku ingin melihat kamu kembali bersama anak-anak. Aku akan pergi m
PoV Denis."Denis, kapan kamu nikah?" tanya Om Beni saat tengah kumpul keluarga."Nanti, Om. Belum ada yang cocok!" jawabku jengah, karena selalu hal itu yang di tanyakan saat bertemu. Seperti ngga ada pertanyaan lain saja!"Sampai kapan, Den! Usia kamu sudah tak muda lagi loh!" sambung Om Beni. Malas sekali meladeninya, ini yang membuat aku malas saat berkumpul dengan keluarga. Papa hanya diam, hanya dia orang yang tak pernah menuntut ku tentang pernikahan. Sedangkan Mama! ia sebenarnya lebih cerewet dari Om Beni."Den, Mama kenalin sama anak temen mama ya, Mama kenalin sama si A, Mama kenalin sama si B!" Sampai pusing aku dengarnya. Sekali dua kali aku ikuti kemauan mama.Sesi perkenalan lancar, sesi pendekatan? Rata-rata gagal total karena mereka menganggap aku aneh, mencintai mahluk berbulu. Kucing!Kadang ada yang juga masih mau menerima tapi aku tahu dia hanya pura-pura. Aku yakin orang tuanya memaksa untuk tetap bersabar sampai menikah denganku. Aku dengar saat mereka tengah m
"I-itu hanya masalah kecil saja, Man. Tak perlu di ungkit lagi!" jawab Ibu makin membuat penasaran. Apa mereka punya hubungan atau mereka mantan kekasih."Bu, menceritakan masa lalu pada anaknya itu ngga salah. Anggap saja sejarah!" Aku masih coba membujuk.Ibu mengeleng kepala dan melanjutkan menyiram tanaman."Kamu itu! Udahlah, sana pergi makan!" Ibu mencoba mengalihkan perhatianku. Aku tak peduli, aku harus tahu masa lalu mereka."Jangan-jangan Ibu dan Bapak Nisa pernah ...." Aku tak melanjutkan kata-kataku, tapi dua jariku kusatukan menandakan bahwa mereka pernah berdekatan."Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu sama Mertuamu itu pernah pacaran begitu?" Aku mengangguk.Ibu menonyol kepalaku, "kamu itu pikirannya negatif Mulu!"Aku terkekeh, "abis Ibu tak mau cerita!""Baik, biar ibu ceritakan. Tadinya ibu sudah berusaha memaafkan karena melihat besarnya cintamu pada Nisa. Tapi, karena kamu memaksa ....""Udah ayo cerita, Bu! Jangan kepanjangan ceramahnya!" Kupotong ucapan Ibu yang bel
PoV NisaAku harus mencari pengganti Ningsih, dia bilang kemarin sempat cek pakai testpack di kamar mandiku dan terlihat dua garis walau agak buram. Saat aku mencarinya, ketika dia menyuruhku untuk mamastikan. Nyatanya sudah tak ada.Beruntung dia, setelah lama mengidamkan anak dalam pernikahannya akhirnya ia dapatkan juga. Penuh syukur.Namun, tetap berimbas padaku, aku harus mencari baby sitter baru untuk anakku. Karena Ningsih ingin benar-benar bed rest.Kesal dengan semua ulah Mas Arman! Dia itu makin menyebalkan. Beruntung aku punya teman macam Pak Denis, kita itu satu alur. Sama-sama pecinta kucing."Kamu suka kucing dari dulu, kenapa tak memelihara?" tanya Pak Denis waktu kami tengah bermain dengan ratusan ekor kucing yang super gembul.Aku menggaruk kepala, seketika ada kutu hinggap."Anu, Pak! Suamiku tak suka, bahkan dia jijik katanya." Kukatakan saja sejujurnya. "Benarkah?" Pak Denis terlihat tak yakin, sesaat sepertinya ia tengah berfikir."Bagaimana kalau kamu bawa aja b
"Ti-ti-tidakkkk! Aku tak mungkin bisa! Ti-ti-tidakkkk, Nisa!"Brughh!Aku terperanjat kaget saat meja kerjaku di gedor. Aku yang tengah bermimpi indah kembali dengan Nisa menjadi bubar.Sorot mata Bu Maria yang notaben-nya sueeper galak di tambah tak suka dengan sikapku menunjukan ekstensinya."Mau kerja apa mau tidur! Ngigau lagi, mau saya pecat?!"Duh kan keluar semua tanduknya, ibu gembrot yang memang tidak mempunyai anak. Mungkin karena judes jadi anakpun enggan singgah! Eh, ngga boleh suuzon."Maaf, Bu. Saya ketiduran karena semalam begadang. Mohon maaf, ngga akan saya ulangi." Aku memohon walau semua kulakukan karena terpaksa. Terpaksa karena masih butuh pekerjaan ini dan juga ingin dekat dengan Nisa."Bu!" Panggil seseorang yang sudah sangat aku hafal suaranya. Siapa lagi kalau bukan istriku Nisa."Iya sebentar. Saya ingin kasih peringatan pada karyawan satu ini! Dia itu suka molor di jam kantor!"Nah dia mau memperpanjang. Gaya banget, jabatan kita cuma beda satu level, sok-so
"Masya Allah, Astaghfirullah, Nisa ... Ini apa-apaan?!" Teriakku di depan pintu. Bergidik ngeri saat mahluk berbulu mendekat kearahku dan mengendus kakiku dan ini bukan cuma satu!Ngeong!Ngeong!Suara khasnya membuat aku pusing, terlebih mereka mendekat kearahku dan bermain di kakiku. Seolah aku orang tua mereka."Nisa! Singkirkan mereka dariku!" Kembali aku teriak karena si pemilik nama belum juga menunjukan batang hidungnya.Terlihat Nisa mendekat, dia juga tengah mengendong satu kucing gemuk."Apa si, Mas? Teriak-teriak begitu!" dia menjawab tanpa dosa dan mulai berjalan menjauh."Nisa! Jangan kurang ajar! Bukankah aku sudah melarang kamu membawa binatang menjijikan ini? Kenapa justru kamu bawa pasukannya? Kamu mau jadi pembangkang!" Seruku tak terkendali. Aku benar-benar geram akan ulahnya."Memangnya sekarang kamu siapa, Mas? Melarang aku membawa mahluk terimut yang Allah ciptakan," ucapnya sambil mencium kucingnya. Aku bergidik ngeri.Ihhh!"Tapi aku kan masih tinggal di sini d
Syasya masih memegangi perutnya dengan kedua tangan. Aku mengambil motor dengan tergesa, membuat kakiku menabrak motor lain. Ngilu! Tapi aku juga khawatir dengan kondisi Syasya. Bagaimana kalau dia sampai pendarahan dan meninggal? Apa itu artinya aku melakukan pembunuhan?"Ayo, Sya, buruan!" Ajakku menghentikan motor tepat di depannya."Aduh! Mas ini udah di ubun-ubun aku ketoilet dulu ya!" Syasya hampir saja melangkah pergi ketika aku langsung mencekalnya."Kenapa ketoilet lagi, nanti kamu justru kehabisan tenaga. Ayo! Kita langsung ke klinik biar di tangani!"Segera Syasya tak dapat menghindar karena tangannya aku pegangi dengan erat. Segera membawa menuju jok belakang motor. Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aku merasakan pegangan erat Syasya. Bahkan sesekali ia meremas pingangku, mungkin dia merasakan sakit yang teramat. Maafkan aku, Sya! Runtukku dalam hati.Perjalanan yang aku tempuh memakan waktu setengah jam. Membuat terasa begitu lama. Terlebih Syasya yang terus merau