"Heh, dalam waktu dekat kamu akan dikeluarkan dari kantor!" kata wanita itu. "Saya memang mau resign dari sini!" Aruna hendak pergi dari hadapan wanita itu, ia ingin segera keluar dari ruangan itu. Akan tetapi, Lina kembali mencegah dengan mencekal tangan Aruna. Lalu tiba-tiba wanita itu menampar pipi sang gadis. Plak!Suara keras itu menunjukkan betapa keras tamparan. Sampai membuat sudut bibir Aruna terluka. Gadis itu memekik, sampai mengalirkan air matanya. Ia memegangi pipinya sambil menahan sakit. Detik berikutnya, seorang pria masuk ruangan Lina tanpa mengetuk pintu. "Aruna!" Aksa langsung menerobos masuk, merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Pria gagah itu beralih pandang pada Lina yang tengah menahan degup jantungnya yang tak beraturan. "Lina! Kamu apakan Aruna! "Aku ... aku tidak ngapa-ngapain dia," balas Lina dengan wajah pucat karena gugup. "Kamu menamparnya? Aku pastikan kamu akan dikeluarkan dari sini!" Aksa mengajak Aruna keluar dari sana. Namun, Lina menceg
"Mas, bangun!" "Mas!""Mas, kamu udah janji. Enggak akan ninggalin aku!" Suara tangisan itu menggema di dalam ambulans. Aruna terisak hebat sampai lemas tubuhnya. Di dalam mobil itu, ia bersama petugas rumah sakit yang memberikan nasihat agar bersabar. Sesampainya di rumah sakit, Aksa yang berlumuran darah itu segera didorong ke atas ranjang. Menuju ruangan gawat darurat karena ia terlalu banyak mengeluarkan darah. Kepalanya terlihat bersimbah darah, lengan bajunya robek, tampak baret luka-luka terkena aspal. "Maaf, Buk. Silakan tunggu di luar saja, ya," pinta seorang suster yang langsung menutup pintu ruangan yang dimasuki Aksa dan para dokter. Aruna lemas. Tubuhnya luruh di lantai dengan derai air mata yang tak pernah surut. Gadis itu meraih ponsel dalam tasnya. Lalu mulai mengabari keluarga di Jakarta. Musibah itu membuatnya terguncang hebat. Sampai-sampai perut terasa kram dan kepala berdenyut nyeri. Ia juga merasa bersalah karena dirinya lah yang telah menyebabkan Aksa kec
"Innalillahi wa innailaihi rooji'un," ucap dokter dan juga Zain yang menyaksikan raga terlepas dari badan. "Maaaaasssss!" Aruna pingsan setelah itu. Ia tak kuasa melihat suaminya pergi meninggalkannya. Zain langsung mengangkat tubuh gadis itu. Lalu membawanya ke kamar yang sebelumnya dipakai olehnya. Dokter dan perawat mulai melepas satu persatu alat bantu kesehatan di ruangan itu dari tubuh Aksa yang gagah. Pria itu sudah tak lagi ada di dunia. Aruna tak sadarkan diri selama beberapa menit. Setelah Zain selesai menelpon kedua orang tuanya, memberi kabar duka itu. Dari balik panggilan terdengar suara tangisan dua orang tua itu. Zain meminta maaf karena tidak bisa menolong Aksa. Setelah itu ia mendengar rintihan Aruna yang baru saja membuka mata. Gadis itu menangis lagi. Ia hendak turun, tetapi tubuhnya lemas. "Run, kamu mau ke mana?" tanya Zain. "Aku mau menemui Mas Aksa. Jangan halangi aku, Mas.""Tapi, Run. Aksa sedang dimandikan. Jenazahnya akan dikirim ke Jakarta bersama
"Maaf sekali ya, Mbak. Saya hanya kasih saran saja. Kalau tidak berkenan, tidak apa-apa. Saran saya juga, jaga kondisi badannya. Mbaknya pucat sekali, tambahin juga minum air putihnya," ujar dokter panjang lebar. Aruna tampak bingung. Namun, setelah didesak oleh Alya, akhirnya ia mau melakukan tes kehamilan. Perutnya akhirnya diperiksa dengan alat USG, setelah melakukan tes dengan urin juga. Tampak di sana janin itu berkembang. "Selamat ya, Mbak. Mbak positif hamil." Dokter tersenyum pada dua wanita itu. "Apa, Dok? Saya hamil?" Aruna terkejut sekali. Ia teringat Aksa. Kejutan itu membuatnya seperti hidup kembali. Ada buliran beling yang merembes pada matanya. Aruna memeluk sang mertua karena saking bahagianya. Ada darah daging Aksa yang akan menemani sepanjang hari-harinya. Aruna dan mertuanya keluar dari ruangan itu. Ia melihat Imran dan Zain yang langsung berdiri menghampiri. Ada raut tua itu yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan. "Gimana keadaan Aruna, Mah?" tanya Imran.
"Zain, kamu ... ada perasaan sama si Aruna?" Alya bertanya dengan pelan. "Kenapa Mama tanya gitu?" Zain berusaha menghindar. "Tanya aja. Kalau kamu suka, kan, tinggal nikahin aja kalau udah lahiran." Alya tersenyum lagi. "Doakan yang terbaik aja, Mah. Aruna enggak suka sama Zain. Cintanya cuman buat Mas Aksa.""Tapi, Mama rasa Aksa sama kamu cuman beda dikit. Wajah kalian mirip, cuman beda profesi aja.""Ya enggak lah, Ma. Aku sama siapa pun, beda. Aku ya aku. Selera Aruna bulan laki-laki seperti Zain, Mah. Percuma aja kalau Mama mencoba mendekatkan kami.""Tapi, Zain ... dia butuh kamu. Sosok pemimpin.""Tanyain aja dianya, Mah. Kalau Zain, terserah Mama aja."Alya semakin mengembang bibirnya. Ia sangat bahagia memiliki putra seperti Zain. Selalu menurut apa kata orang tua. Setelah mamanya keluar dari sana, Zain kembali membayangkan. Namun, ia sadar, perasaan yang tumbuh di hatinya, tak halal. Ia tak boleh membayangkan wajah Aruna terlalu lama. Dia bukan istrinya. Apalagi masih
Akhirnya, Zain tak jadi memindahkan gadis itu ke kamar. Hanya membenahi kaki Aruna yang turun satu lalu menyelimutinya dengan selimut yang baru saja ia ambil di kamar. Pagi itu, Aruna yang bangun mendengar azan langsung masuk ke kamar. Ia tak keluar lagi sampai matahari setengah tombak. Alya yang selalu perhatian pun langsung curiga. "Pah, Aruna tumben enggak keluar kamar.""Mama liat aja! Siapa tau dia tidur lagi. Atau ...." Imran yang sedang membaca koran pun terdiam sesaat. Mereka saling melempar pandangan. Lalu pria tua itu meminta istrinya saja dulu yang memeriksa Aruna. Khawatir terjadi apa-apa. Alya pun lantas membawa nampan berisi makanan dan membawanya ke kamar Aruna. Setelah diketuk beberapa kali, tak ada sahutan dari dalam. Dipanggil pun tak ada jawaban. "Aruna sayang. Mama bawakan makan ini," teriak Alya lagi. Imran yang awalnya masih duduk pun kini mengerutkan dahi karena istrinya dadi tadi tak juga masuk ke kamar itu. "Gimana, Mah?" tanya Imran setelah mendekat.
Zain mencoba masuk tanpa mengetuk pintu. Mendengar suara derit pintu yang terbuka, gadis itu menoleh. Kedua matanya langsung tertuju pada Zain yang tampak mendekat. "Mas ...." Aruna berdiri. Ia menunduk karena sadar, Zain pasti sudah mendengar keluh kesahnya tadi. "Run ... aku ke sini untuk memberitahu kamu." Zain menatapnya. "Memberitahu apa, Mas?" tanya Aruna balik. "Besok aku akan pergi ke Jerman. Untuk mengambil studi lagi. Dan, aku enggak tau kapan balik ke sini lagi. Aku hanya pamit aja sama kamu."Aruna semakin mendekat. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria itu. "Apa, Mas? Mau pergi?""Iya. Udah, gitu aja, Run. Selamat istirahat, aku ... mau siap-siap. Biar besok tinggal berangkat," kata Zain lagi. Aruna semakin ingin mendekat, ingin bicara lebih banyak lagi dengan pria itu. Namun, Zain terlanjur menjauh. Ia tak memberikan Aruna kesempatan bicara. "Kenapa kamu tiba-tiba begini, Mas? Apa aku ada salah? Kenapa kamu enggak bilang?"Aruna kembali terduduk
Genap sudah 9 bulan usia kandungan Aruna. Ia sudah mulai susah untuk berdiri tanpa bantuan dan tak kuat lama-lama berjalan. Seperti hari ini, ia diajak oleh Zain jalan kaki daerah kompleks mereka tinggal. "Udah, Mas. Engap banget aku. Enggak kuat jalan lagi. Capek." Gadis itu duduk di bangku taman sambil mengusap-usap perutnya yang sudah membesar. "Udah istirahat aja dulu! Perkiraan dokter, bulan ini kamu lahirannya. Memang harus banyak jalan biar bayinya lekas turun.""Iya, tapi aku capek. Belum keluar aja ini bayi, tapi udah capek banget. Mana kalo udah kenceng nih perut, enggak bisa buat gerak. Lier." Zain tertawa melihat ekspresi wajah gadis itu. Aruna masih muda, lucu, menggemaskannya. Andai gadis itu sudah menjadi istrinya, mungkin sudah akan ia kecup pipinya. "Pulang atau lanjut?" tanya Zain sambil menghirup udara segar di sana. "Mau makan ketoprak. Laper. Atau lontong sayur." Aruna menatap Zain sambil meringis. "Oke, kita jalan lagi ke depan, ya!" Calon ibu muda itu men
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat