"Zain, kamu ... ada perasaan sama si Aruna?" Alya bertanya dengan pelan. "Kenapa Mama tanya gitu?" Zain berusaha menghindar. "Tanya aja. Kalau kamu suka, kan, tinggal nikahin aja kalau udah lahiran." Alya tersenyum lagi. "Doakan yang terbaik aja, Mah. Aruna enggak suka sama Zain. Cintanya cuman buat Mas Aksa.""Tapi, Mama rasa Aksa sama kamu cuman beda dikit. Wajah kalian mirip, cuman beda profesi aja.""Ya enggak lah, Ma. Aku sama siapa pun, beda. Aku ya aku. Selera Aruna bulan laki-laki seperti Zain, Mah. Percuma aja kalau Mama mencoba mendekatkan kami.""Tapi, Zain ... dia butuh kamu. Sosok pemimpin.""Tanyain aja dianya, Mah. Kalau Zain, terserah Mama aja."Alya semakin mengembang bibirnya. Ia sangat bahagia memiliki putra seperti Zain. Selalu menurut apa kata orang tua. Setelah mamanya keluar dari sana, Zain kembali membayangkan. Namun, ia sadar, perasaan yang tumbuh di hatinya, tak halal. Ia tak boleh membayangkan wajah Aruna terlalu lama. Dia bukan istrinya. Apalagi masih
Akhirnya, Zain tak jadi memindahkan gadis itu ke kamar. Hanya membenahi kaki Aruna yang turun satu lalu menyelimutinya dengan selimut yang baru saja ia ambil di kamar. Pagi itu, Aruna yang bangun mendengar azan langsung masuk ke kamar. Ia tak keluar lagi sampai matahari setengah tombak. Alya yang selalu perhatian pun langsung curiga. "Pah, Aruna tumben enggak keluar kamar.""Mama liat aja! Siapa tau dia tidur lagi. Atau ...." Imran yang sedang membaca koran pun terdiam sesaat. Mereka saling melempar pandangan. Lalu pria tua itu meminta istrinya saja dulu yang memeriksa Aruna. Khawatir terjadi apa-apa. Alya pun lantas membawa nampan berisi makanan dan membawanya ke kamar Aruna. Setelah diketuk beberapa kali, tak ada sahutan dari dalam. Dipanggil pun tak ada jawaban. "Aruna sayang. Mama bawakan makan ini," teriak Alya lagi. Imran yang awalnya masih duduk pun kini mengerutkan dahi karena istrinya dadi tadi tak juga masuk ke kamar itu. "Gimana, Mah?" tanya Imran setelah mendekat.
Zain mencoba masuk tanpa mengetuk pintu. Mendengar suara derit pintu yang terbuka, gadis itu menoleh. Kedua matanya langsung tertuju pada Zain yang tampak mendekat. "Mas ...." Aruna berdiri. Ia menunduk karena sadar, Zain pasti sudah mendengar keluh kesahnya tadi. "Run ... aku ke sini untuk memberitahu kamu." Zain menatapnya. "Memberitahu apa, Mas?" tanya Aruna balik. "Besok aku akan pergi ke Jerman. Untuk mengambil studi lagi. Dan, aku enggak tau kapan balik ke sini lagi. Aku hanya pamit aja sama kamu."Aruna semakin mendekat. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria itu. "Apa, Mas? Mau pergi?""Iya. Udah, gitu aja, Run. Selamat istirahat, aku ... mau siap-siap. Biar besok tinggal berangkat," kata Zain lagi. Aruna semakin ingin mendekat, ingin bicara lebih banyak lagi dengan pria itu. Namun, Zain terlanjur menjauh. Ia tak memberikan Aruna kesempatan bicara. "Kenapa kamu tiba-tiba begini, Mas? Apa aku ada salah? Kenapa kamu enggak bilang?"Aruna kembali terduduk
Genap sudah 9 bulan usia kandungan Aruna. Ia sudah mulai susah untuk berdiri tanpa bantuan dan tak kuat lama-lama berjalan. Seperti hari ini, ia diajak oleh Zain jalan kaki daerah kompleks mereka tinggal. "Udah, Mas. Engap banget aku. Enggak kuat jalan lagi. Capek." Gadis itu duduk di bangku taman sambil mengusap-usap perutnya yang sudah membesar. "Udah istirahat aja dulu! Perkiraan dokter, bulan ini kamu lahirannya. Memang harus banyak jalan biar bayinya lekas turun.""Iya, tapi aku capek. Belum keluar aja ini bayi, tapi udah capek banget. Mana kalo udah kenceng nih perut, enggak bisa buat gerak. Lier." Zain tertawa melihat ekspresi wajah gadis itu. Aruna masih muda, lucu, menggemaskannya. Andai gadis itu sudah menjadi istrinya, mungkin sudah akan ia kecup pipinya. "Pulang atau lanjut?" tanya Zain sambil menghirup udara segar di sana. "Mau makan ketoprak. Laper. Atau lontong sayur." Aruna menatap Zain sambil meringis. "Oke, kita jalan lagi ke depan, ya!" Calon ibu muda itu men
"Aduh, sakitnya." Aruna merintih pagi itu. Ia bangun dalam keadaan tubuhnya sakit semua. "Run, sarapan, yuk!" Zain yang baru saja datang pun langsung mendekat. "Kenapa?" "Badanku sakit semua, Mas. Pengen banget lepas grita, tapi ....""Sabar, ya! Enggak akan lama, kok. Kamu hanya butuh menyesuaikan." Zain meletakkan sarapan Aruna di atas meja. Lalu pria itu menggendong bayi kecil itu dan mengajaknya berdiri. "Oh ya, kalau badan sakit semu, minum kunyit asam aja. Sama nanti biar mama panggil tukang pijat. Biar asi lancar juga.""Lancar gimana? Ini udah tumpah-ruah. Yang paling sakit juga bagian itu. Kayak mau meledak. Sakiiitt." "Itu namanya ASI-nya penuh. Terus kamu pake gritanya kekencengan. Coba longgarij, terus ASI-nya dipompa. Nanti masukin frezer. Tuh, alat pompa sama botolnya sudah aku siapkan. Kamu urus itu, aku bawa Al keluar." Setelan Zain keluar, Aruna melakukan apa yang pria itu katakan. Benar saja, ibu muda itu merasa lega. Bagian dadanya tak lagi sakit, ASI-nya juga
"Kenapa cemberut gitu, hah? Ye, ditanyain diam aja." Zain mengulang kalimatnya lagi. "Lagi bete," balas Aruna. Ia tak mau menatap Zain sama sekali. Mereka duduk sambil menikmati sejuknya pagi. Mereka sama-sama diam. Suasana mendadak hening, tak ada suara kecuali angin. Aruna mulai bosan dan menghela napas panjang, terdengar seperti sendirian halus. Namun, Zain tetaplah Zain yang memiliki sifat mutlak seorang pria. Yaitu tidak begitu peka dengan kode yang Aruna berikan. "Hah ...." Ibu muda itu membuang napas lagi lalu berdiri dan pergi dari sana membawa baby Al. Zain bingung dengan sikap Aruna. Ia sampai tak percaya dengan ibu muda itu. Padahal, mereka sama-sama berkomitmen bakal menikah selepas masa nifas nanti. Zain kembali masuk ke dalam rumah. Ia berpapasan dengan mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Bersama Imran juga yang terlihat mengenakan syal di lehernya. "Mah, si Aruna kenapa sih?" tanya dokter muda itu. "Kenapa memangnya?" balas Alya dengan pertanya
Paginya, Aruna terbangun dan membersihkan diri seperti biasa. Ia langsung merawat anaknya, memandikan dan mengajaknya menghirup udara segar lewat jendela. Ia juga mengemas barang-barang yang berantakan di kamar itu. Setelah selesai dan lelah, sesaat ia menatap baby Al yang terlelap lagi di atas ayunan. Ponsel di atas meja ia raih, lalu menyalakannya. Ada pesan dari nomor semalam, Aruna pun mulai membacanya dari awal. "Run, ini aku Zain. Kenapa enggak diangkat, sih?""Lah, beneran enggak diangkat. Emang ya, kalau enggak kangen kek gini.""Run.""Run.""Arunaaaa.""Hemm."Wanita muda yang tengah melipat rambutnya dengan jepit itu tertawa. Ia langsung membalas dengan ketikan juga. "Siapa suruh ganggu malam-malam sama nomor baru. Sekarang lagi di mana? Kapan pulang?" Karena tak ada balasan, Aruna lelah menunggu. Ia beralih pada putranya yang mulai menangis lagi. Ia membawanya keluar kamar, lalu mengajaknya ke ruang tengah, dan duduk di sebelah Alya. "Eh, cucu. Sini, biar Mama aja y
Malam itu, Aruna baru saja keluar dari kamar mandi. wajahnya basah, masih mengenakan jilbab dan pakaian panjang. Ia melihat Zain tengah menepuk-nepuk punggung baby Al. Dalam hati Aruna tersenyum bahagia. Namun, teringat lagi dengan Aksa. Wanita muda itu terduduk di kursi dalam ruangan itu, sambil menatap darah daging Aksa. Tak terasa air mata mengalir. Memenuhi kelopak mata. Ada yang sakit di dalam sana. Dadanya berdebar kuat, ingin sekali berjumpa sosok yang mendahuluinya. Ia belum bisa melupakan sepenuhnya. "Run," panggil Zain. "Kenapa melamun di situ? Sini!""Iya, Mas." Aruna tidak menolak. Tatapannya kosong, tetapi langkahnya tetap maju. Ia duduk di bibir ranjang dengan pelan. Lalu Zain mendekat dan bertanya, "Kamu kenapa? Sedih gitu mukanya. Apa kamu enggak bahagia nikah sama aku?""Bukan itu, Mas.""Lalu?" Zain menunduk, memerhatikan wajah ayu Aruna. "Aku ... aku hanya teringat Mas Aksa. Aku mau minta maaf sama dia besok. Kita ziarah mau enggak, Mas?" Zain menghela napas p
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat