Banyak orang berbisik sambil melirik Aksa yang tengah membawa beberapa bungkusan pembalut dengan beraneka merek. Ia membawanya ke tempat kasir. Tak tahan lagu dengan mereka, para wanita-wanita yang meliriknya, Aksa meminta penjaga kasir agar buru-buru menghitung total belanjaannya. Pria itu segera mengeluarkan kartu ATM untuk membayar. Setelah selesai, ia segera keluar dari tempat itu. "Nasib-nasib," gumamnya lalu melangkah membeli bubur ayam di dekat sana. Aksa berdiri sambil menyandar tiang di dekat penjual bubur. Ia membuka ponselnya sambil menunggu pesanannya jadi. "Pak Aksa, kita ada meeting pagi ini."Aksa mengerutkan dahinya. Kemudian, pria itu membalas, "Aku sudah izin sama atasan. Pagi ini aku tidak masuk dan bakal digantikan oleh Hasan.""Kalau boleh tau, Bapak kenapa tidak bisa datang? Bapak sakit?" Aksa membalas dengan asal. "Iya."Pria itu membayar sejumlah uang pada abang-abang penjual bubur, lalu menerima pesanannya. Aksa bergegas kembali ke dalam apartemen. Saat
"Ayo!" ajak Aksa saat mereka sudah siap untuk berangkat ke kantor. Aruna yang tampak masih ragu-ragu pun terpaksa menerimanya. Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, gadis itu meminta satu hal. "Pak, saya mau turunnya di dekat terminal busway aja, ya." Sambil bicara, gadis itu memilin ujung jilbabnya. "Kenapa? Kamu malu turun dari mobil saya di kawasan kantor?" jawab Aksa dengan sebuah pertanyaan. "Kan kita udah sepakat, Pak. Kalau kita mau diam-diam dulu. Saya belum siap, soalnya.""Aku bisa mengerti keinginan kamu. Cuman yang saya enggak ngerti itu, kenapa harus belum siap? Kamu aman setelah semua tahu kalau kita suami istri.""Justru itu, Pak. Saya enggak mau Bapak malu nanti.""Saya enggak malu. Siapa bilang saya malu?" "Bapak enggak ngerti. Pokoknya saya minta turunnya di dekat terminal busway aja nanti. Tolonglah, Pak.""Iya-iya, ck, ribet kamu." Aksa pun segera menyalakan mesin mobilnya. Lalu memacu dan membelah jalanan yang sudah tampak padat. Tepat saat mereka berhenti
"Kamu enggak apa-apa?" tanya Aksa saat mereka berada di dalam mobil. "Enggak, Pak. Cuman dikit sakitnya," jawab Aruna. Tangannya menggosok-gosok bagian sakitnya. "Mana mungkin kalau sakitnya dikit, kamu sampai meringis dan enggak bisa jalan tegak gitu. Oh ya, sebenarnya kenapa itu tadi? Perasaan pagi tadi baik-baik aja.""Cuman jatuh." Aruna menyembunyikan wajah bohongnya. Ia tak ingin terlibat perseteruan dengan wanita bernama Lina itu. "Jatuh? Kok bisa sampai begini? Kamu enggak liat-liat jalan? Kita ke rumah sakit, ya?""Enggak-enggak! Begini doang, kok, Pak. Saya udah biasa terluka atau jatuh begini. Saya bukan wanita lemah." "Tetap saja, kamu itu seorang wanita. Harus dilindungi, salah sendiri enggak mau ngaku kalau saya suami kamu. Saya yakin, itu luka enggak karena jatuh.""Dih, kenapa dia bisa tau gitu?" batin Aruna. Aksa menekan pedal gasnya, lalu mobil melaju ke arah jalan pulang. Perjalanan yang cukup singkat itu akhirnya sampai juga. Aksa kembali menggendong Aruna. Me
Aruna masih tampak malu-malu. Gadis berambut panjang itu kembali menutup dirinya dengan selimut. Aksa tersenyum lagi. Ia mendekat, lalu merengkuh, mendekap Aruna dengan sepenuh hati. "Apakah aku kasar padamu?" tanya pria itu. Aruna menggeleng kepalanya. Ia malu. Sangat malu. Tak ada kata yang bisa ia ungkapkan selain daripada debaran jantung yang tak terkira. "Mandilah! Kita berangkat sebentar lagi," bisik Aksa di dekat telinga gadis itu. "Atau mau barengan?" "Ish, malu saya. Kenapa Pak Aksa bilang gitu, sih." Untuk saat ini, gadis itu mendongak. Ia melihat kerlingan mata elang Aksa menatap dengan penuh cinta. Bibirnya yang semu merah itu membuatnya terpesona. "Kenapa? Kamu kan sudah jadi istri saya. Makasih untuk kesediaan kamu melayani suami dengan baik." Aksa kembali tersenyum. Ia melayangkan kecupan pada kening Aruna. "Bisa enggak sih, Pak. Jangan bahas itu lagi, saya malu.""Yang penting kamu mau." Aksa tertawa. "Jadi enggak ini ke kantor?""Mandi dulu," bisik Aksa lagi.
Aruna sengaja pulang telat, ia bersembunyi di balik dinding saat Aksa mencarinya. Ponsel sengaja ia matikan agar pria itu tak bisa menghubunginya. "Ke mana sih kamu, Run?" Pria berjas hitam itu tampak gelisah sambil sesekali menatap ponselnya. Terus menghubungi Aruna. Namun, sepertinya mustahil diangkat. Aksa menghela napas panjang. Ia sempat terduduk di lobi sambil meremas kepalanya sendiri. "Maafkan aku, Pak. Aku enggak bermaksud membuat Bapak bingung begitu. Tapi, aku sadar diri. Aku takut kecewa," gumam Aruna dengan lirih. Gadis itu terus menunggu Aksa pergi. Akan tetapi, tampaknya pria itu sengaja memasok menunggu di sofa merah dalam lobi. Akhirnya, gadis itu kembali ke ruangan OB. Ia duduk sambil meletakkan kepalanya pada meja. Fitri sudah pulang karena tak berhasil mengajaknya barengan, terpaksa Aruna di dalam ruangan itu sendiri. Mata terkantuk-kantuk, tak lama gadis itu merasakan sentuhan dingin pada tangannya. Ia sudah tak bisa membuka matanya dan tak sadar dengan apa
"Kenapa harus dengan dia, Mas?"Gadis itu tampak sedih. Wajahnya mendadak mendung dan terlihat tidak rela suaminya pergi dengan wanita bernama Lina. "Tenang saja, percaya sama aku. Jangan pernah meragukan aku. Aku akan selalu menghubungi kamu setelah rapat atau pertemuan nanti. Semua ini kan juga atas kemauan kamu sendiri, enggak mau ngaku dulu di kantor kalau kamu sebenarnya adalah istriku.""Iya." Aruna menjawab dengan lemas. Andai Aksa tahu betapa sedih perasa gadis itu. Akan tetapi, Aruna terlalu malu dan tak enak hati mengungkapkannya. Keesokan harinya, Aksa benar-benar akan berangkat. Di depan cermin, ia dibantu Aruna memakaikan dasinya. "Sudah, Mas." Gadis itu turun dari kursi kecil karena tingginya tak sampai. Aksa tersenyum. Ia merasa sangat cocok dengan dasi pilihan gadis itu. Tangannya segera menarik pinggang Aruna lalu membisikkan kalimat indah. "Makasih, Run." Satu kecupan mendarat tepat di pipi gadis itu. "Mas, jaga diri di sana. Mas kan mau kerja sama Bu Lina."Ak
"Dia begitu baik. Setara sepertiku yang notabenenya orang biasa. Di saat-saat seperti ini, aku masih diberi pertolongan," bantin Aruna. Lalu menertawakan dirinya sendiri. Aruna menunduk, duduk di sebelah pria itu. Mereka sama-sama menunggu hujan reda. Sampai waktu menunjukkan pukul sebelas malam, mereka masih di sana. Aruna berkali-kali menatap jam pada ponselnya. Tak ada satu pun pesan atau panggilan dari Aksa. Pikirannya mulai tak karuan. Hari sudah malam, sedang apa kah pria itu. Sampai-sampai tak sempat memberi kabar. Padahal, janjinya pagi tadi bakal mengabari setiap kali istirahat. Aruna menekan kontak Aksa. Namun, tak dapat tersambung. Panggilan kedua 20 kali itu tak ada satu pun yang diangkat, bahkan selalu tertolak. Hatinya gelisah, teringat foto yang sempat ia dapatkan tadi. "Ya Allah."Fahmi menoleh, merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Ia pun lekas bertanya, "Ada apa, Run? Kamu kenapa? Kedinginan?""Enggak, Bang. Aku cuman ... pengen cepet-cepet pulang.""Masih hujan
Malam itu, Aksa datang ke dapur. Ia datang tanoa suara, dan langsung memeluk dari belakang. Tubuh ramping itu kini menjadi miliknya. Gadis itu tak bisa dan tak boleh menolak. "Kamu kenapa, sih? Marah terus? Mau datang bulan apa?" bisiknya di dekat telinga. "Banyak yang tidak bisa saya ceritakan, Pak. Saya enggak mau membuat siapa pun terluka. Ada seseorang yang suka juga sama Bapak.""Aruna ...." Aksa memutar tubuh gadis itu agar menghadap padanya. "Aku sudah menjadi milikmu. Begitu juga dengan hatiku. Aku bukan tipe lelaki yang mudah jatuh cinta. Yang mudah suka dengan wanita lain. Sekarang bilang padaku, siapa orang yang kamu maksud itu!" Aruna masih diam. Ia terlalu lama menimbang. Sampai Aksa pun tak sabar. Gadis itu mendorong tubuh Aksa yang semakin mendekat, kemudian beralih ke kursi makan. Aksa yang menatapnya pun mendadak tak bisa tenang. Pria berkaus putih itu ikut duduk di sana. "Apa orang itu Lina?"Aruna langsung menoleh. "Hem ...." Aruna menghela napas panjang. Aksa
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat