Setelah mengantar Zayyan pergi meeting sampai di lobi, Dia memutar badan untuk kembali ke ruangannya. Namun, ia mengurungkan niat karena teringat ibunya yang sudah beberapa hari tak memberi kabar. Dia pun segera meraih kunci mobilnya di dalam tas lalu menyalakan smart lock. Ia masuk ke dalam lalu keluar dengan mobil itu menuju rumah Halimah yang kebetulan memang jaraknya tak begitu jauh. Selama mengemudi, Dia menatap sekeliling pinggiran jalan. Ia ingin membeli sesuatu untuk ibunya. Halimah sangat menyukai roti isi. Dia pun berhenti tepat di depan toko roti langgananya. Setelah keluar dari mobil, wanita itu langsung masuk ke dalam. Ia memilih beberapa bungkus roti untuknya dan juga untuk buah tangan nanti. Saat ingin membayar, Dia melihat wanita kasir itu tak lain adalah Dewi. Betapa terkejut keduanya. Dewi menunduk dan diam, tak berani menatap mantan madunya itu. "Berapa?" tanya Dia. "Tiga ratus ribu," balas Dewi dengan singkat. Lalu memberikan struk pembelian beserta kartu ATM
"Buk, makasih banyak. Kami jadi ngerepotin," ucap Zayyan dengan rasa sungkan. "Ibuk seneng kalian bisa ke sini. Syukur-syukur bisa nginep. Jadi rumah tambah rame. Lain ke sini lagi kalau ada waktu, ya!" Halima mengantar anaj dan menantunya ke luar rumah. "Kalian jangan lama-lama jengukin ibuk. Ibuk udah kangen banget kemarin, sampe suruh aku nelpon." Imran tertawa. Ia dan istrinya ikut mengantar Dia yang hendak pulang bersama Zayyan. "Makasih, Buk, Mas, Mbak Mega. Aku sama Abang bakal sering-sering ke sini, kok. Cuman karena kemarin sibuk di kantor, pulang-pulang langsung tidur. Weekend kemarin aja Abang ada urusan juga sama klien." Dia ikut menambahi. "Ya sudah, yang penting kalian baik-baik aja. Ibuk doakan kalian segera menyusul Imran dan Mega yang sebentar lagi punya momongan. Titip Dia ya, Nak Zayyan," lanjut Halimah. Lalu memeluk Dia sebagai tanda perpisahan. Mereka semua melepas Dia dan Zayyan dengan lambaian tangan. Keduanya langsung melesat membelah jalanan malam itu. Ge
"Ciee, dah mandi besar, ya?" Zayyan tiba-tiba masuk. Begitu baru mau memulai salat, Dia langsung lemas melihat suaminya menyindir. Ia tertawa ketika tubuh pria itu masuk sempurna ke dalam kamar. "Abang ....""Ya udah, lanjutin aja.""Abang udah sholat?""Belum, kan, nungguin kamu di kamar mandi. Aku turun ambil minum.""Ya udah, jamaah aja. Itupun, kalau Abang mau jadi imam saya." Dengan malu-malu, Dia berkata. "Nikahin kamu aja aku berani, masa jadi imam sholat enggak mau. Jadi imam rumah tangga aja aku siap, apalagi imam sholat." "Abaaaangg." Mereka berdua tertawa lepas. "Ya udah, Abang ke kamar mandi dulu! Biar saya siapkan baju gantinya."Zayyan senyam-senyum sendiri sambil melangkah. Gelagat pria itu membuat Dia merasa merinding setiap kali Zayyan mendekat. Tentu sudah sama-sama tahu apa yang ada di benak masing-masing. Hari masih petang, keduanya telah selesai menunaikan kewajiban Subuh berdua. Selesai salam, Zayyan menoleh ke belakang lalu bersalaman dengan istrinya. Tak
Dani duduk tanpa dipersilakan. Asisten Diandra yang paham betul dengan keadaan pun segera berdiri dan pindah tempat. Ia memberi ruang untuk mereka berdua bicara. "Dia, aku tau kalau kamu sebenarnya sangat membenciku. Tapi, aku sangat berterima kasih padamu. Meskipun aku sempat jahat, kamu tetap membawaku ke rumah sakit."Pria dengan setelan kantor itu menghela napas. Wajahnya memang terlihat sungguh-sungguh. Begitu juga dengan matanya yang tampak seperti masih sakit. Namun, tak ada yang tahu apa isi hati Dani yang sebenarnya kecuali pria itu dan Tuhan saja. "Sebenarnya aku tidak mau lagi bertemu denganmu, Mas. Aku sudah cukup menderita hidup sama kamu. Aqila jadi korbannya. Kita urus saja urusan masing-masing saja.""Aku tau, Dia. Aku paham. Tapi, aku tidak tenang saat keadaan kita seperti ini. Maafkan aku, Dia. Aku ingin hubungan kita baik-baik saja.""Aku sudah memaafkan kamu, Mas. Tapi tolong, jangan temui aku lagi! Aku sudah punya kehidupan sendiri. Andai aku tau siapa yang memi
"Jadi gini, Yan, aku sekarang lagi nyari kerjaan buat anaknya temen. Kali aja ada lowongan di kantormu," ucap Imran sambil meneguk teh hangat di rumah tamu. Zayyan yang baru saja ganti baju dengan kaus santai lalu duduk pun langsung menanggapi "Tergantung dia ahlinya apa, Mas. Soalnya, di kantor belum lama ini juga udah terisi sama karyawan baru," balas Zayyan lalu ikut menikmati martabak manis rasa coklat keju di atas piring. Tak lama Diandra muncul dari dalam kamar dan ikut duduk di sana. "Anak temennya Mas Imran laki apa perempuan? Masih muda apa udah tua?" timbrung Diandra. "Ya elah, Zayyan udah jadi milik kamu, Dia. Enggak usah khawatir bakal ada yang naksir. Dia juga enggak bakal main belakang." Imran sengaja menyindir. Lalu tertawa karena melihat Diandra yang sekarang lebih sensitif. "Mas Imran jangan nyindir gitu lah, Mas. Kan aku malu ada Bang Zayyan." Wanita muda itu melirik pria di sampingnya. Tampak Zayyan menahan senyuman, tetapi pandangannya ke bawah. "Biarin aja, l
"Dia, kasih saja! Berapa yang Bu Eni minta," sahut Zayyan tiba-tiba. Lelaki gagah itu datang lalu duduk di sebelah istrinya. "Abang ...." Diandra mendongak. Pria itu menatap mantan mertua istrinya. "Ibu butuh berapa?" Eni yang terlihat sedikit gengsi akhirnya mengatakan, "Sekitar 50 jutaan. Kalian tau sendiri, Dani sudah tidak memiliki pekerjaan lagi. Dia sekarang jadi beban kami.""Jangan bilang gitu, Ma. Mas Dani kan anak Mama. Kalau Mama anggap dia sebagai beban, kasian dia." Diandra mendadak iba. Ia menoleh sekilas pada Zayyan. "Benar, Bu. Lebih baik, fokus sama pengobatan Dani. Saya akan ambilkan cek dulu," lanjut Zayyan lalu membuka laci dekat tempatnya duduk dan menulis sejumlah uang yang dibutuhkan oleh wanita tua itu. Eni terlihat mencebik meskipun dua orang di hadapannya tidak melihatnya. "Dok perhatian segala, mereka kira saya bakal muji kebaikan mereka? Mimpi!" batin wanita tua itu. Ia kembali mengubah raut wajahnya saat Zayyan mendorong kertas bertuliskan nominal sej
"Abang, kita mau ke mana? Kenapa arahnya tidak ke rumah?" tanya Diandra pada pria di sampingnya yang tengah fokus pada kemudinya. "Dia, aku mau ngajak kamu jalan-jalan sebentar. Kita ke mol, ya. Seharian aku liat kamu sibuk terus. Sekalian makan malam, ya." Zayyan tersenyum manis menoleh ke samping. Lalu ia kembali memutar setir, menelan pedal gas menuju tempat yang ia ingin kunjungi. "Oh, ya udah." Diandra pun membalas dengan senyuman. Setelah keduanya sampai di dalam gedung parkiran dalam mall tersebut, Zayyan membuka pintu samping untuk istrinya. Kemudian, pria itu mengulurkan tangannya agar Diandra menggenggamnya. Mereka tersenyum, lalu berjalan ke dalam mall. Kedua sejoli terlihat bahagia, terlihat dari bibir mereka yang tak pernah padam dari senyuman. Zayyan menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah toko berlian, lalu ia menoleh ke samping. "Kita masuk, yuk!""Mau ngapain, Bang? Aku rasa kita enggak butuh apa-apa di sini." Dia menatap pintu luar toko tersebut. "Memang k
"Apa, Bang?" Diandra menahan senyuman. "Enggak." Zayyan tampak malu-malu. "Lanjut makan aja! Kita pulang habis ini."Diandra mengangguk. Lalu mereka berdua pun segera menuntaskan acara makan malam itu. Setelah beberapa menit berlalu, dan makanan pun sudah habis, mereka berdua berjalan ke luar mall. Masih dengan tangan yang saling bergandengan, keduanya menuju mobil. Zayyan membukakan pintu untuk istrinya. Lalu beralih pada pintu satunya lagi dan mereka meluncur ke tengah jalanan. Mobil melewati lampu-lampu yang menyala terang, sepanjang kota itu terlihat jelas dan menawan. Kota Jakarta memang tak pernah gagal mengukir nostalgial dari masa ke masa. Kenangan indah dan masa-masa itu membuat Diandra teringat kembali. "Sayang, ngantuk ya?" Zayyan tersenyum sambil mengemudikan mobilnya. "Eh ...." Diandra tersadar seraya menoleh. "Iya, Bang. Habisnya kekenyangan." Wanita muda itu tersenyum. Lalu tangannya Zayyan sentuh dengan lembut. "Tidurlah! Nanti kalau sudah sampai, aku bangunkan,"
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat