"Kenapa diliatin terus sih! Masih nyimpen perasaan?" sindir Dewi ketika Dani sering melamun setelah pulang dari jalan tadi, karena mereka berpapasan dengan Diandra. Dani menghela napas panjang. Ia tak menjawab sepatah kata pun. "Mas!" sentak Dewi lagi. Sambil menepuk lengan kekar Dani ketika pria itu duduk sambil termenung di dalam kamarnya. "Wi! Bisa enggak sih sehari aja enggak bikin telingaku panas? Kamu ini bisa enggak bicara pelan-pelan, lemah lembut kayak Diandra?""Dia lagi Dia lagi. Dia aja terus. Sejak kalian bercerai, aku yang jadi korban. Mas lebih sering melamun terus. Pengeluaran membengkak, aku juga yang harus bantu nutupi kebutuhan." "Ya Allah, Wi. Kalau bukan kamu siapa lagi? Jangan cuman bisanya ngabisin duit laki aja! Aku berumah tangga sama Diandra itu enggak pernah begini. Selalu dia cukup-cukupin pemberian dariku. Padahal, yang uang aku kasih ke Dia lebih sedikit dari yang aku kasih ke kamu. Bahkan dia bisa buka bisnis sendiri tanpa bantuanku.""Semua ini kan
"Bang, kita mau ke mana?" Diandra terus mengikuti pria itu masuk ke dalam. Mereka langsung disambut hangat oleh pemilik toko berlian itu. Jejeran perhiasan dengan permata mengkilau itu terpajang pada patung-patung leher di atas etalase. Juga beragam cincin dan kalung mewah di sana. "Mbak, tolong yang itu!" tunjuk Zayyan pada salah satu benda di dalam etalase.Seorang wanita berseragam keabuan dengan sanggul rambut di bawah langsung mengambilkannya untuk pria itu. Zayyan langsung memperhatikan benda mengkilau itu dengan cermat. Tanpa menunggu kata lagi, ia meraih tangan Diandra lalu memasangkan cincin berlian itu di jari manisnya. Dia sendiri pun terperanjat sampai tak bisa berkata-kata. Ia tak mendapat izin mengutarakan pertanyaannya pada pria itu. "Suka enggak?" tanya Zayyan seraya menatap Dia yang masih bingung. "Ini buat saya?" "Bukan." Zayyan mencebik. "Ya masa buat saya. Tangan aku gede, Dia. Enggak bakal muat segini.""Terus buat siapa? Kenapa saya yang disuruh nyobain, Ba
Setelah malam itu, Zayyan lebih sering mengantar dan menjemput Dia ketika ke kantor mau pun saat waktu pulang tiba. Banyak yang membicarakan mereka karena tampak lebih dekat sering bersama. Sama seperti saat ini, ketika mereka baru saja datang dan keluar dari mobil yang sama."Keren mereka. Udah Pak Zayyan-nya ganteng, dapet Bu Dia yang juga cantik," celetuk salah satu karyawati. "Tapi, aku dengar Bu Dia itu janda. Bener kan?" Karyawati yang lain ikut nimbrung. Mereka berdiri di balik dinding dengan tatapan terus mengikuti langkah Dia dan Zayyan."Memang janda. Dan kudengar beritanya itu kalau Bu Dia cerai karena suaminya selingkuh. Ada juga yang bilang kalau mereka cerai karena anaknya mati.""Astaga, mati? Kenapa matinya? Aku enggak pernah denger kalo Bu Dia punya anak. Apa Pak Zayyan tau? Jangan-jangan pake guna-guna. Mana ada jaman sekarang laki-laki yang mau sama janda beranak.""Huust, jangan kenceng-kenceng! Nanti ada yang dengar. Banyak yang mau sekarang sama janda. Karena si
Setelah beberapakali sering telat, kini Dani tak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Lelaki itu datang pagi-pagi sekali. Selain itu, yang ia lakukan adalah demi mendapatkan simpati dari Diandra, mantan istrinya yang sudah ia siapkan bekal sarapan pagi. "Pagi, Pak." Satpam jaga menyapanya. Dani pun membalas dengan hal yang sama. Pria itu tersenyum lalu kembali melangkah ke dalam. Suasana kantor masih sedikit sepi karena baru jam enam pagi. Meskipun begitu, Dani masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan Diandra. Ia meletakkan kotak makan berisi sandwich di atas meja. Setelah itu ia keluar lagi dan pergi ke kursi tempatnya bekerja. Dani tak sabar Diandra datang lalu melihat hadiah kecil yang baru sekali itu ia berikan padanya. Dari tangannya sendiri ia membuat. "Hari ini Pak Zayyan enggak masuk kantor. Mungkin juga kita pulangnya agak siangan."Dani menajamkan telinganya ketika mendengar salah seorang karyawati lewat sambil mengobrol. "Kamu diundang?" tanya seorang wanita yang dud
"Aku rasa semalam Abang kurang tidur."Zayyan tersenyum seraya memotong roti panggangnya. Ia dan Diandra pagi itu tengah menikmati sarapan pagi di hotel tempat mereka menikah kemarin. "Ternyata semalam kamu hanya pura-pura tidur saja?" tanya Zayyan balik bertanya sembari menahan senyuman dari bibirnya yang manis itu. "Enggak kok, aku tidur. Tapi Abang sudah bangun duluan. Apa Abang semalam enggak tidur?" Dia meletakkan sendok dan pisaunya. "Aku bangun lebih awal bukan berarti tidak tidur, Sayang. Aku hanya ingin lebih lama memandangimu." "Baru kali ini aku mendapati pria yang begitu pandai membuat perempuan meleleh.""Ini belum seberapa. Masih ada kejutan lagi, yang akan aku berikan padamu. Semoga kamu tidak menyesal menikah denganku yang banyak kekurangan ini.""Ini sudah jalan yang kuambil. Aku harus siap dengan segala apa pun yang akan terjadi nanti."Zayyan tersenyum seraya menggenggam tangan istrinya di atas meja. Lekas menyelesaikan sarapan pagi itu, sepasang pengantin baru
"Siapa?""Kenapa suaranya perempuan?""Mantan, Abang?""Atau ....""Mending aku pulang aja deh." Zayyan langsung ternganga dengan wajah terkejutnya. "Loh, kenapa mau pulang? Di sini kan rumah kita, Sayang.""Abang telponan sama perempuan. Suaranya mendayu begitu. Memangnya aku tidak dengar?" sungut Diandra. Rasa kesal telah menguasai dirinya. Zayyan mengulas senyuman manisnya. Ingin tertawa tapi khawatir nanti Dia semakin tersinggung. "Bukan siapa-siapa. Dia cuman ...." Belum sempat Zayyan menjelaskan, Dia sengaja menjauh. Ia tak mau didekati oleh pria itu. Mendadak pikiran buruk memenuhi ruang kepalanya. "Sayang, Abang mau jelasin dulu. Jangan marah." Zayyan menyentuh pundak Dia. Namun, wanita dengan rambut tergerai panjang itu menolak. "Dia itu adik sepupu, Dia. Bukan wanita selingkuhan." Zayyan menahan tawanya. "Aku bukan seperti mantan suami kamu. Aku dan Sinta memang dekat sejak kecil. Usianya di atasku malah. Jadi, kamu enggak perlu khawatir."Rona wajah murung Dia berubah
"Di, kamu kenapa?" Zayyan langsung berdiri dan menerima pelukan itu. Diandra menghela napas panjang. "Aku mau ngechas." Diandra berusaha menyembunyikan kenyataan. Zayyan menatap ke bawah lalu mencoba merasakan gemetar tangan istrinya itu. Tubuh Dia juga terasa bergetar. "Sayang, kamu ... habis ketemu sama Dani?""Abang kok tau?" Mereka melepas pelukan itu. Lalu Zayyan mengajaknya duduk di sofa dalam ruangan. Pria itu menatapnya dengan lekat seraya mengusap wajah panas Diandra. "Apa yang dia lakukan padamu? Apakah dia berani macam-macam?"Dia menunduk. "Katakan, Sayang! Aku tidak mau istriku disentuh oleh pria lain. Jika dia nekat, maka aku sendiri yang akan memberikan peringatan. Sudah, tidak usah menangis. Kamu diapain sama dia? Bilang sama Abang."Dia kembali memeluk. "Ya sudah kalau kamu belum bisa bilang. Seharian ini, kamu di sini saja. Semua kerjaan kamu aku serahkan Hendra saja. Aku tidak ingin istriku kerja sebenarnya. Karena aku yang harusnya kasih nafkah dari kerja.""
"Kayaknya memang harus ditegasin si Dani." Zayyan menekan pedal gas sambil bicara. Dia yang mendengarnya pun lantas menghela napas berat. Persiapan berat tengah ia hadapi. Tak mudah memberi pengertian pada pria itu. "Abang, maaf ya. Jadi ngerepotin Abang. Abang jangan tersinggung kalau dia ngomong yang ngaco." Zayyan tersenyum tipis. "Aku sudah paham orang seperti Dani itu. Dia terlena dengan godaan wanita. Setelah merasakan kepahitan, dia memintamu lagi." Zayyan menggeleng kepala. "Dia harus disadarkan. Biar enggak ngejar kamu terus.""Iya, Bang. Cuman gimana ngasih tau dia? Dia itu laki-laki. Susah dikasih tau. Apalagi kalau aku yang bicara. Dia sudah pasti ngeyel.""Enggak usah mikirin dia lagi deh, Di. Kita pikirin yang lain aja. Kita mampir makan aja. Biar kamu enggak perlu masak buat nanti malam.""Abang mau ngajak makan ke mana?" "Bagaimana kalau kita makan seafood? Aku lagi pengen makan kerang. Kamu apa?""Boleh juga." Keduanya lantas berhenti di depan restoran Padang. Me
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat