Malam harinya, di rumah sakit tempat Vincen dirawat, keanehan mulai terjadi. Satu per satu, penjaga yang berjaga didepan pintu ruangan Vincen mulai terasa ngantuk yang tak tertahankan, hingga mereka terjatuh dalam tidur yang pulas tanpa bisa ditahan.
Sementara itu, di dalam kamar Vincen, Veronica yang tengah asyik mengobrol, mulai menguap berulang kali tanpa henti."Istirahatlah jika kamu merasa lelah," bisik Vincen dengan suara yang sudah terdengar normal.Veronica menggeleng tegas, matanya terpejam sejenak namun cepat membuka lagi. "Tidak, aku akan tetap di sini. Aku ingin menemanimu sampai Paman Sebastian dan Noel tiba," katanya dengan suara yang berat, penuh tekad.Namun, tak lama setelah ucapannya mengudara, Veronica tiba-tiba terhuyung dan ambruk ke samping ranjang Vincen dengan tubuh yang lemas.Vincen, yang kesehatannya baru membaik, langsung terkejut dan bergegas menegur Veronica yang tergeletak lemah. "Ve, kamu kenapa?" tanSaat merasakan ada hawa membunuh yang mendekat. Vincen mengerutkan keningnya, dia merasa ada perkembangan insting dalam dirinya yang begitu besar setelah mendapatkan pria sepuh misterius tersebut.Vincen melirik Veronica yang masih terlelap efek teknik pria sepuh yang menyembuhkannya, dia segera turun dari ranjang, mencabut semua peralatan rumah sakit yang menempel dalam tubuhnya, membaringkan Veronica di ranjang tersebut."Aku tinggal sebentar," ucap Vincen sembari menyelimuti Veronica, lalu keluar dari ruangan, dan menutup pintu dengan hati-hati.Terlihat para penjaga semuanya tertidur, ditambah hari sudah larut jadi tidak ada orang-orang yang berlalu lalang di koridor ruang VIP tersebut.Dia bergerak cepat menyusuri koridor rumah sakit yang hening dan hanya diterangi cahaya dari lampu. Saat melangkah, instingnya semakin kuat, mendeteksi bahaya yang semakin dekat.Vincen menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap setiap suara yang mungkin bisa memberinya petunjuk.Detak jantungnya
Vincen sudah kembali ke ruangannya bersama Sebastian, sementara dua orang yang menyerangnya sudah di rurus anak buah Sebastian."Tuan muda, apa Anda akin sudah tidak apa-apa?" tanya Sebastian khawatir yang melihat Vincen mengganti pakaian rumah sakit dengan pakaian biasa."Paman lihat sendiri aku sudah tidak apa-apa. Paman boleh pergi sekarang, caritahu siaoanyang mencoba menyerangku," perintah Vincen pelan namun tegas.Sebastian menghela napas. "Baiklah tuan muda, saya juga sudah menambah kemamanan di sekitar rumah sakit. Saya akan segera mengusut hal ini," jawab Sebastian sambil membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruangan.Vincen duduk disebelah Veronica, matanya menatap tajam ke luar jendela, memikirkan siapa yang berani mengancam keselamatannya.Wajah pria itu yang biasanya tenang, kini tegang penuh kekhawatiran. Dia menggenggam erat tangan Veronica menandakan betapa kuatnya emosi yang dia rasakan.Tiba-tiba ponselnya berdering. Tangannya segera meraihnya dan melihat nama yang
Tubuh Seva terpaku menatap sosok yang kini berdiri dihadapannya dalam ruang interogasi tersebut. "Kakek...." Bugh! Seva baru saja melontarkan satu kata, tongkat yang dipegang pria dihadapannya yang tidak lain pak Tua Clark menghantam wajahnya, membuat dia langsung terdiam dengan darah mengalir dari pelipisnya. "Selain Vincenzo, aku tidak akan mengijinkan siapa pun memanggilku dengan sebutan itu!" hardik Pak Tua Clark, sorot matanya penuh amarah. Seva menatap dengan mata yang terbelalak, wajahnya terasa panas dan nyeri dari pukulan yang baru saja dia terima. Napasnya tersengal, darah mengalir perlahan dari tepi pelipisnya, menodai lantai ruang interogasi yang dingin dan suram itu. Pak Tua Clark, dengan tubuhnya yang masih gagah meski telah lanjut usia, berdiri tegak menghadap Seva, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Kalian benar-benar tidak tahu malu!" bentak Pak Tua Clark, suaranya menggema di dinding-dinding beton ruang itu, meninggalkan getaran di
Ketika fajar menyingsing, Sebastian sudah berada di ruang perawatan Vincen, duduk di depan pemuda itu yang tampak sudah bugar."Jadi, kalian sudah menuntaskan masalah dengan Seva dan Ayahnya?" tanya Vincen, ingin memastikan semuanya."Memang benar, Tuan Muda. Kami telah mengeksekusi mereka, sehingga untuk saat ini, mereka takkan menganggu lagi," sahut Sebastian dengan nada tegas. Namun, raut wajah Vincen tampak tak puas. "Untuk saat ini? Bukankah kalian seharusnya sudah menyelesaikan masalah ini sepenuhnya?" Dengan napas berat, Sebastian menjelaskan. "Tuan Muda, keluarga Clarkson lebih besar dari yang Anda bayangkan. Tuan Lehman dan Seva hanyalah salah satu dari mereka yang mengincar kekayaan Kakek Anda."Menyenderkan tubuhnya di sofa dengan ekspresi serius, Vincen memijat pangkal hidungnya seolah meresapi informasi yang baru saja didengarnya. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya membuka suara. "Jadi bukan hanya mereka berdua saja yang mengincar kekayaan Kakek?"Sebastian menatap T
Vincen menghela napas panjang ketika ia memasuki apartemennya yang sepi setelah mengantarkan Veronica pulang ke rumahnya. Langkah kakinya terasa berat, dipenuhi dengan kelelahan yang menghantui tubuhnya. Dengan berat hati, ia menutup pintu apartemen dan memasuki kamar tidurnya, merasa begitu kesepian.Perlahan, Vincen melepas sepatunya dan menjatuhkan diri di atas ranjang, merasakan kenikmatan kasur yang empuk menopang tubuhnya yang letih. Namun, pikirannya terganggu oleh tulisan dikertas yang diberikan pria sepuh yang menyembuhkannya. Dia menatap langit-langit, seakan mencari jawaban di sana."Gunung Piek? Apa aku harus ke sana?" gumam Vincen dengan ragu. Dalam hatinya, ia bingung dan khawatir tentang apa yang mungkin menunggunya di sana. "Apa ini semua takdirku? Apakah aku harus percaya dengan pria sepuh itu?"Dalam kebingungan, Vincen menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dia menutupi matanya dengan siku, merasakan kelelahan yang semakin menumpuk, seolah menung
Dua pengintai itu menyadari bahwa peluang untuk melarikan diri dari kejaran pengawal bayangan keluarga Clark kian menipis."Jin, sepertinya kita benar-benar terjebak kali ini," ucap pengintai yang lebih tua dengan nada berat, sambil mengeluarkan sebuah belati dari lipatan jubahnya.Gagang belati itu berukiran Kalajengking hitam yang mengintimidasi, menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang tidak bisa dianggap remeh.Pria yang lebih muda, yang dipanggil Jin, tersenyum sinis sambil menghela napas. "Tidak ada pilihan lain, Kakak. Kita harus melawan mereka," katanya tegas, sambil mengeluarkan belati serupa dari balik jubahnya.Mereka berdiri berdampingan, memegang belati erat-erat, menghadapi para pengawal bayangan yang mendekat. Mulut mereka bergerak cepat, merapalkan mantra yang misterius. Tak lama, tanda kutukan hitam menjalar keluar dari tato di punggung tangan mereka, menyelimuti tubuh mereka hingga wajah mereka pun tertutupi oleh
Renz dan Nomi menatap Jin dengan tatapan tidak percaya, padahal pria itu telah terkena belasan kali tinju angin, tetapi dia masih bisa berdiri juga. "Nomi, biar aku yang menghadapinya," ucap Renz sembari berdiri didepan Nomi, tahu kalau rekannya itu sudah hampir kehabisan energi spiritual. "Hati-hati Renz, tubuhnya benar-benar sangat Kuat," ucap Nomi yang sedang memegangi dadanya. Renz mengangguk mengerti, dia menghunuskan pedangnya ke depan, walau tahu lawannya sangat kuat tak terlihat dia tak tampak gentar sedikit pun. Cahaya dari pedang Renz berkilau tajam, mencerminkan determinasi yang menggebu di matanya. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang kami lindungi!" teriak Renz dengan penuh semangat. Jin, dengan wajah yang sudah memar dan bercak darah di bibirnya, tersenyum sinis. "Kau pikir kau bisa menghentikanku dengan pedangmu itu?" ejeknya, suaranya serak karena pukulan yang telah diterimanya. Dengan langkah mantap, Renz memajukan diri, pedangnya siap menga
Di saat Rekan Jin tengah dilanda kebingungan akibat racunnya yang berhasil dikeluarkan oleh teknik ajaib Vincen, tiba-tiba saja sosok Vincen muncul di hadapannya dengan kecepatan luar biasa.Swut!Duak!Pukulan mematikan Vincen berhasil mendarat dengan sempurna di wajah Rekan Jin, yang seketika terhempas jauh ke belakang dengan kecepatan tinggi.Bruak!Tubuh pria itu dengan kerasnya menghantam sebuah tong sampah di pinggir trotoar jalan hingga tong tersebut hancur berantakan. Beberapa serpihan tong sampah melukai tubuhnya, meninggalkan bekas goresan di kulitnya.Rekan Jin yang mencoba bangkit dengan cepat. Namun, belum sempat berdiri, Vincen sudah melompat ke arahnya dan menekan dadanya dengan lutut yang kuat.Duak!"Hoek!" Pria itu terpaksa menyemburkan seteguk darah dari mulutnya, dia menatap Vincen dengan penuh penyesalan, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.Vincen perlahan beranjak dari tubuh Rekan Jin yang tak berdaya, dia menghirup napas dalam-dalam dan kemudian membuangnya p