Rendy melangkah memasuki Formasi Kutub Es Keenam dengan napas masih terengah-engah. Udara di sekelilingnya semakin mencekam, lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Hmbusan angin yang menyayat kulit membawa suara-suara aneh, seolah bisikan dari makhluk tak kasat mata.Tiba-tiba, kabut tebal menyelimuti area tersebut, dan dari dalam kabut itu, sosok-sosok transparan mulai bermunculan. Hantu-hantu es dengan mata kosong berpendar kebiruan melayang di udara, mengelilingi Rendy dengan gerakan mengerikan. Sosok-sosok itu mengeluarkan jeritan melengking yang menusuk telinga, membuat udara sekitarnya bergetar hebat.Rendy segera menghunus Pedang Kabut Darah dan menebas ke arah salah satu hantu es yang mendekat. Namun, bilah pedangnya hanya menembus angin kosong tanpa menyentuh apapun."Mereka tak bisa disentuh?!" Rendy menggertakkan giginya.Saat ia mencari cara lain untuk menyerang, salah satu hantu es melesat ke arahnya dengan kecepatan yang mustahil dihindari. Tubuhnya langsung kaku begitu m
Rendy melangkah maju menuju Formasi Kutub Es Ketujuh. Begitu ia memasuki wilayah tersebut, udara di sekelilingnya berubah drastis. Suhu yang sebelumnya menusuk dingin kini terasa bergolak, menciptakan perpaduan aneh antara panas membara dan tekanan dahsyat dari tanah yang bergetar.Dari kejauhan, dua sosok mulai menampakkan diri. Mereka bukan manusia biasa, melainkan dua Roh Kultivator Kuno yang menjaga titik penyangga formasi ini. Yang pertama, sosok berjubah merah dengan rambut menyala seperti api, mata berpendar oranye seperti bara yang menyala-nyala. Ia adalah Bai Huoyan, penjaga elemen Qi Api. Di sebelahnya berdiri sosok dengan kulit sekeras batu, tubuh besar seperti gunung, dan aura yang memancarkan kekokohan tak tergoyahkan. Dialah Bai Yantu, pemegang elemen Qi Tanah."Kau telah melewati enam formasi, tapi di sinilah perjalananmu berakhir!" Bai Huoyan mengangkat tangannya, menciptakan pilar api yang langsung melesat ke arah Rendy.Rendy segera mengayunkan Pedang Kabut Darah, me
Darah berdesir di nadi Rendy saat hawa dingin merayapi tubuhnya. Napasnya memburu, keringat mengalir di pelipis, tetapi bukan hanya kelelahan yang kini membebani raganya. Ada sesuatu—sebuah energi asing yang meresap, menjalari setiap serat otot dan tulangnya. Getaran itu makin kuat, bagaikan ombak yang siap menghantam daratan. Suara berat bergema dalam benaknya. "Rendy... izinkan aku membantumu." Kesadarannya berkabut, namun ia mengenali suara itu—Roh Kultivator Guang Yu dari Lembah Roh Kultivator telah terbangun. Dengan sisa kekuatannya, Rendy mengangguk dalam hati, membiarkan roh itu mengambil alih tubuhnya. Seketika, matanya yang semula bersinar merah kini berubah menjadi biru terang, pancarannya tajam dan menggetarkan. Punggungnya yang sebelumnya sedikit membungkuk karena kelelahan kini tegak lurus, auranya berubah—bukan lagi seperti Rendy yang kelelahan, tetapi seperti seorang pendekar yang telah mencapai puncak kesempurnaan. Udara di sekitarnya bergetar, seolah menyesuaikan d
Rendy menghela napas dalam-dalam, tubuhnya masih bergetar akibat pertempuran sengit melawan Bai Huoyan dan Bai Yantu. Namun, sebelum ia bisa menarik napas lega, dua sosok baru muncul dari balik formasi yang kini bergetar hebat. Aura mereka begitu menekan, bahkan lebih kuat dari dua roh sebelumnya.Yang pertama adalah Bai Hanshuang, seorang kultivator dengan Qi Es murni. Ia mengenakan jubah putih berhiaskan pola salju yang terus berubah, dan rambutnya yang panjang berwarna biru pucat. Uap dingin mengalir dari tubuhnya, membuat udara di sekitar membeku seketika.Di sampingnya berdiri Bai Duyi, seorang kultivator yang menguasai Qi Racun. Tubuhnya diselimuti kabut ungu pekat, dan matanya yang kelam menyiratkan kengerian. Setiap langkahnya meninggalkan jejak hitam di tanah, menandakan betapa beracunnya keberadaannya."Kau telah melangkah terlalu jauh, manusia," Bai Hanshuang berkata dengan suara yang sedingin es abadi."Dan sekarang, kau akan membayar harga yang sangat mahal!" Bai Duyi men
Dalam sekejap, tubuh Bai Duyi bergetar hebat, dan luka-luka yang sempat terbuka di tubuhnya menutup dengan cepat. Racun yang tadinya melemahkannya kini justru membuatnya semakin kuat. Bai Hanshuang pun tak kalah cepat, ia mengibaskan lengan jubahnya dan menghapus sisa luka di tubuhnya."Regenerasi? Tidak, ini lebih dari itu!" pikir Rendy dengan mata terbelalak.Mengetahui situasi semakin sulit, Rendy menggertakkan giginya dan segera mengambil keputusan. Ia merogoh saku dalam jubahnya dan mengeluarkan Jade Dragon."Abigail, aku butuh bantuanmu sekarang!" ucapnya cepat.Di kejauhan, langit tiba-tiba bergetar, dan suara ledakan kecil terdengar. Dari balik kabut pertempuran, seorang wanita berambut merah dengan jubah merah melayang di udara. Di tangannya, sebuah botol berisi cairan berpendar hijau terang bersinar dengan kuat."Kau akhirnya memanggilku juga, Rendy," Abigail Jones berkata sambil menyeringai. "Aku sudah lama ingin mencoba ramuan anti-racun ini pada sesuatu yang benar-benar b
Abigail langsung menghilang dan kembli ke Lembah Roh Kultivator begitu dua kultivator kuno keluarga Bai ini dikalahkan, karena pertarungan in sangat menguras energinya.Belum sempat Rendy menarik napas lega, dua tekanan energi dahsyat tiba-tiba muncul dari reruntuhan tempat pertempuran berlangsung. Angin kencang berputar, menciptakan badai kecil yang mengguncang tanah, sementara kabut air mulai menyelimuti arena pertarungan dengan embun dingin yang menusuk tulang.Dua sosok muncul dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Salah satunya adalah pria bertubuh tinggi dengan rambut panjang keperakan yang berkibar di tengah pusaran angin. Matanya tajam bak elang, dan di sekeliling tubuhnya berputar bilah-bilah angin yang tampak seperti pisau tajam.Yang satunya lagi adalah seorang pria berperawakan lebih ramping, dengan jubah biru tua yang berkibar akibat tekanan energinya. Dari telapak tangannya, air mengalir seperti ular hidup, membentuk ombak kecil yang menggeliat liar."Kau telah membunuh
Kabut merah pekat menguar dari Pedang Kabut Darah di tangan Rendy, menyelimuti tubuhnya seperti tirai kematian. Energinya berdenyut liar, membuat tanah di bawah kakinya bergetar hebat, retakan-retakan kecil mulai menjalar di permukaan tanah. Aroma anyir darah menyebar di udara, membuat Bai Feng dan Bai Shui merasakan tekanan yang menyesakkan."Kekuatan Nascent Soul! Cih, bisa apa kau dengan kekuatan itu!" hina Bai Shui.Bai Feng menatap Bai Shui, saling bertukar pandang dalam diam. Mereka tahu bahwa lawan mereka bukan sekadar kultivator biasa. Tanpa ragu, mereka mengerahkan energi mereka hingga aura angin dan air bercampur dalam harmoni yang menakutkan. Hembusan angin liar mulai berputar di sekitar Bai Feng, sementara air yang dikendalikan Bai Shui membentuk pusaran deras yang siap menghancurkan segalanya."Kita akhiri ini sekarang!" teriak Bai Feng. Dalam sekejap, ia melesat bagai kilat, menghilang dalam desiran angin yang mematikan. Di belakangnya, Bai Shui mengendalikan gelombang r
Tubuh Rendy masih terasa nyeri akibat ledakan besar itu. Debu dan serpihan batu masih melayang di udara, menutupi penglihatannya. Namun, ia bisa merasakan tekanan luar biasa yang kini memenuhi medan pertempuran.Dari balik kepulan asap, sebuah sosok melangkah maju dengan tenang. Tubuhnya tinggi tegap, jubah hitamnya berkilauan dengan kilatan petir yang menari-nari di permukaannya. Mata tajamnya menatap Rendy dengan penuh kebencian."Siapa kau?" tanya Rendy."Aku, Bai Lei yang akan menjadi malaikat pencabut nyawa bagimu!"Kultivator Qi Petir terakhir dari Keluarga Bai."Kau sudah membantai keturunanku," suara Bai Lei dalam dan bergemuruh seperti guntur. "Tapi aku tidak seperti mereka. Aku adalah pewaris sejati Keluarga Bai! Aku adalah petir yang akan membakar takdirmu hingga menjadi abu!"Dalam sekejap, udara di sekitar Bai Lei berubah drastis. Percikan listrik mengalir di sekelilingnya, menyambar tanah dan meninggalkan bekas hangus. Dengan gerakan satu tangan, langit yang tadinya kela
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi