Abigail langsung menghilang dan kembli ke Lembah Roh Kultivator begitu dua kultivator kuno keluarga Bai ini dikalahkan, karena pertarungan in sangat menguras energinya.Belum sempat Rendy menarik napas lega, dua tekanan energi dahsyat tiba-tiba muncul dari reruntuhan tempat pertempuran berlangsung. Angin kencang berputar, menciptakan badai kecil yang mengguncang tanah, sementara kabut air mulai menyelimuti arena pertarungan dengan embun dingin yang menusuk tulang.Dua sosok muncul dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Salah satunya adalah pria bertubuh tinggi dengan rambut panjang keperakan yang berkibar di tengah pusaran angin. Matanya tajam bak elang, dan di sekeliling tubuhnya berputar bilah-bilah angin yang tampak seperti pisau tajam.Yang satunya lagi adalah seorang pria berperawakan lebih ramping, dengan jubah biru tua yang berkibar akibat tekanan energinya. Dari telapak tangannya, air mengalir seperti ular hidup, membentuk ombak kecil yang menggeliat liar."Kau telah membunuh
Kabut merah pekat menguar dari Pedang Kabut Darah di tangan Rendy, menyelimuti tubuhnya seperti tirai kematian. Energinya berdenyut liar, membuat tanah di bawah kakinya bergetar hebat, retakan-retakan kecil mulai menjalar di permukaan tanah. Aroma anyir darah menyebar di udara, membuat Bai Feng dan Bai Shui merasakan tekanan yang menyesakkan."Kekuatan Nascent Soul! Cih, bisa apa kau dengan kekuatan itu!" hina Bai Shui.Bai Feng menatap Bai Shui, saling bertukar pandang dalam diam. Mereka tahu bahwa lawan mereka bukan sekadar kultivator biasa. Tanpa ragu, mereka mengerahkan energi mereka hingga aura angin dan air bercampur dalam harmoni yang menakutkan. Hembusan angin liar mulai berputar di sekitar Bai Feng, sementara air yang dikendalikan Bai Shui membentuk pusaran deras yang siap menghancurkan segalanya."Kita akhiri ini sekarang!" teriak Bai Feng. Dalam sekejap, ia melesat bagai kilat, menghilang dalam desiran angin yang mematikan. Di belakangnya, Bai Shui mengendalikan gelombang r
Tubuh Rendy masih terasa nyeri akibat ledakan besar itu. Debu dan serpihan batu masih melayang di udara, menutupi penglihatannya. Namun, ia bisa merasakan tekanan luar biasa yang kini memenuhi medan pertempuran.Dari balik kepulan asap, sebuah sosok melangkah maju dengan tenang. Tubuhnya tinggi tegap, jubah hitamnya berkilauan dengan kilatan petir yang menari-nari di permukaannya. Mata tajamnya menatap Rendy dengan penuh kebencian."Siapa kau?" tanya Rendy."Aku, Bai Lei yang akan menjadi malaikat pencabut nyawa bagimu!"Kultivator Qi Petir terakhir dari Keluarga Bai."Kau sudah membantai keturunanku," suara Bai Lei dalam dan bergemuruh seperti guntur. "Tapi aku tidak seperti mereka. Aku adalah pewaris sejati Keluarga Bai! Aku adalah petir yang akan membakar takdirmu hingga menjadi abu!"Dalam sekejap, udara di sekitar Bai Lei berubah drastis. Percikan listrik mengalir di sekelilingnya, menyambar tanah dan meninggalkan bekas hangus. Dengan gerakan satu tangan, langit yang tadinya kela
Patriark Bai Longtian menatap reruntuhan Formasi Kurub Es Tujuh Langkah yang hancur, asap tipis masih mengepul dari pecahan es yang berserakan. Di tengah puing-puing itu, Naga Perang, Rendy Wang, berdiri dengan napas terengah, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.Kekuatan Naga Perang sepertinya sudah terkuras habis oleh pertarungan menghadapi Tujuh Kultivator Kuno Keluarga Bai, yang berhasil dikalahkannya."Menarik sekali pemuda ini!" seru Bai Longtian, matanya berkilat dengan ambisi. "Kalian tidak boleh membunuhnya sekarang! Aku harus mencuri ilmu rahasia kultivasi dan alkimia darinya!"Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi keserakahan, mengalahkan akal sehatnya. Ia begitu yakin bahwa kemampuannya saat ini akan mampu menundukkan Rendy yang telah menghancurkan formasinya. Apalagi ia melihat energi Qi Rendy sudah mulai terkuras habis."Ketua! Lebih baik kita lenyapkan pemuda ini. Kalau tidak, ia akan membahayakan keluarga besar kita ke depannya!" saran Bai Lingfeng, su
Suasana di dalam bangunan Keluarga Bai ini sangat mencekam.Tiga Sesepuh Keluarga Bai—Bai Zhongshan, Bai Xueming, dan Bai Lingfeng—berdiri dalam formasi segitiga, saling bertukar pandang dengan keraguan yang jelas terpancar di mata mereka. Meskipun hati mereka diliputi ketakutan, kesetiaan mereka kepada Patriark Bai Longtian mengalahkan segala keraguan."Kita tidak punya pilihan lain," gumam Bai Zhongshan sambil menggenggam erat pedang spiritualnya, suaranya bergetar namun tegas.Bai Xueming mengangguk, menambahkan dengan suara rendah, "Formasi Tiga Phoenix adalah kebanggaan keluarga kita. Dengan esensi darah, kekuatannya akan berlipat ganda."Bai Lingfeng, yang termuda di antara mereka, menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Mari kita akhiri ini dengan cepat."Dengan tekad bulat, ketiganya mengangkat pedang spiritual mereka, menggoreskan bilahnya ke telapak tangan masing-masing. Darah segar menetes, menyatu dengan senjata mereka, memancarkan cahaya merah menyala yang menandakan
Patriark Bai Longtian merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia melihat tiga Sesepuh Keluarga Bai yang telah terjatuh, terluka parah namun masih bertahan hidup, dan mendapati dirinya dalam posisi yang sangat sulit. Sebagai seorang ahli pedang terkuat di keluarga Bai, dia tahu bahwa Rendy adalah ancaman yang luar biasa. Kepercayaan diri yang dulu menggebu kini berubah menjadi kecemasan yang mencekam."Rendy..." suara Bai Longtian menggema rendah, penuh ancaman namun terbungkus ketakutan. "Kau benar-benar mengira aku akan menyerah begitu saja?"Rendy berhenti sejenak, jarak mereka hanya beberapa meter. Pedang Kabut Darah yang dipegangnya berpendar merah, seolah siap untuk membantai apapun yang menghalangi jalannya. "Jika kau tahu apa yang terbaik, kau akan menyerah sekarang juga," jawabnya dengan nada datar namun mematikan.Patriark Bai Longtian tertawa pelan, kemudian merapal sebuah mantra. Tubuhnya mulai bergetar, qi spiritualnya meluap, dan aura pedangnya berubah menjadi
Di ujung Negeri Langit, terdapat sebuah wilayah yang diselimuti kegelapan pekat, kontras dengan Qi hidup yang berwarna-warni dan teratur di sekitarnya. Tempat ini dikenal sebagai Kuburan Pedang Iblis, sebuah area yang dihindari oleh para kultivator karena reputasinya yang mematikan.Selama bertahun-tahun, para kultivator iblis dan kegelapan yang mendiami wilayah ini tidak pernah mencampuri urusan Negeri Langit. The Protector dan Guardian of Immortal, penjaga perbatasan, pun memilih untuk tidak mengusik mereka. Bahkan Tiga Keluarga Besar Negeri Langit enggan terlibat dalam urusan Kuburan Pedang Iblis, membiarkannya sebagai bagian terpisah dari wilayah mereka.Namun kini, suasana di Kuburan Pedang Iblis berubah drastis. Hiruk-pikuk aktivitas terlihat dengan sosok-sosok berpakaian hitam dan merah yang berlalu-lalang di perbatasan Negeri Langit. Para kultivator iblis dengan jubah merah dan kultivator kegelapan berbalut hitam tampak sibuk mengerjakan sesuatu yang misterius. Kecurigaan mula
Di bawah langit yang kelam, nasib Negeri Langit kini tersulam dalam anyaman takdir yang rumit dan mendebarkan. Di puncak Gunung Tian Zen, Zhang Wei yang tengah bersembunyi di dalam reruntuhan kuil kuno menemukan sebuah gulungan berisi ramalan tentang “Hati Bumi” – artefak sakti yang mampu menetralisir kekuatan Qi Iblis. Dengan tekad yang menggelora, ia sadar bahwa hanya dengan mendapatkan Hati Bumi keseimbangan antara cahaya dan kegelapan dapat dipulihkan, sekaligus membuka jalan untuk menumpas ambisi Zhang Wen dan menghentikan kekacauan yang disebabkan oleh sosok yang dikenal sebagai Naga Perang.“Zhang Wen, kekuasaanmu sebentar lagi akan berakhir!” serunya dengan tekad yang membaja. “Bagaimana dengan ramalan akan datangnya Naga Perang yang berasal dari Dunia Lain?”Namun, Naga Perang bukanlah seekor makhluk mitos yang buas ... julukan itu melekat pada Rendy Wang, seorang kultivator luar biasa dari Dunia Lain yang kini tengah mengacaukan tatanan Negeri Langit.Sementara itu, di dalam
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata