Perjalanan menuju Kepulauan Tropis membawa Rendy, Selina, dan Lucinda melewati lautan berwarna biru kehijauan dan pulau-pulau kecil yang tampak seperti surga tropis. Namun, keindahan ini hanya menjadi latar belakang bagi ketegangan yang terus membangun di antara mereka.Kepulauan Tropis terkenal dengan keindahannya, tetapi juga dengan rahasia gelap yang tersembunyi di dalam hutan lebat dan gua-gua terjal. Di salah satu pulau terpencil, mereka akhirnya menemukan jejak Sekte Bayangan Jiwa.Rendy sempat berpikir untuk minta bantuan Kristin tapi akhirnya diurungkan niatnya karena ia tahu Kristin di masa ini sebenarnya berada di pihak yang mana di masa ini.“Ini bukan markas biasa,” gumam Selina sambil memandang sebuah gua besar yang dihiasi dengan ukiran mistis. Aura gelap memancar dari dalam, membuat udara di sekitarnya terasa berat.“Master Qian sudah menunggumu,” kata Lucinda, menatap Rendy. “Dia pasti tahu kita akan datang.”Rendy mengangguk, menggenggam erat Pedang Elixirnya. “Semaki
Di bawah langit senja yang menyala jingga, Rendy duduk di tepi infinity pool Resort Matahari Senja, menatap Giok Naga Merah di tangannya. Permata itu berkilauan dengan cahaya merah pekat yang tampak hidup, seolah ada sesuatu yang menatap balik dari dalam."Giok ini seperti makhluk hidup," gumam Rendy pada dirinya sendiri, menggenggamnya dengan hati-hati. Aura hangat dan penuh kekuatan mengalir melalui tubuhnya, membawa sensasi yang sulit dijelaskan—kekuatan, tetapi juga ancaman.Lucinda sudah kembali ke istananya, mengemban tugas sebagai Presiden Negara Cakrawala. Selina, seperti biasa, sibuk dengan bisnisnya yang berkembang pesat. Namun, Rendy tahu perjalanan ini adalah miliknya sendiri.Keputusan Rendy sudah bulat. Untuk memahami rahasia Giok Naga Merah, ia harus pergi ke Lembah Roh Kultivator, tempat yang dikatakan memiliki kekuatan spiritual yang tak tertandingi. Lembah ini berada jauh di pegunungan terpencil, sebuah tempat di mana energi Qi murni melimpah, tetapi juga penuh denga
Sosok di balik kabut melangkah maju, perlahan, hingga wajahnya mulai terlihat. Itu adalah seorang pria tua berjubah putih dengan rambut dan janggut panjang berwarna perak. Matanya bercahaya, seperti memandang jauh ke dalam jiwa Rendy. Di tangan kirinya tergenggam tongkat kayu yang dipenuhi ukiran kuno, sedangkan tangan kanannya mengeluarkan energi Qi yang menggetarkan udara di sekitarnya. “Siapa kau?” tanya Rendy, suaranya penuh kehati-hatian namun tetap tegas. Pedang Elixir di tangannya bersinar lembut, bersiap untuk segala kemungkinan. Pria tua itu tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak menghilangkan aura misterius yang mengelilinginya. “Aku hanyalah seorang penjaga. Kau bisa memanggilku Penatua Langit.” “Penjaga apa?” Rendy mengerutkan kening, mencoba membaca gerakan lawannya. "Setahuku sebelumnya tidak ada penjaga di Lembah Roh Kultivator ini." “Penjaga keseimbangan,” jawab Penatua Langit. “Kekuatan yang baru saja kau bangkitkan, Nisan Pedang Spiritual, dan juga Giok Naga Mer
Begitu Rendy kembali dari dimensi Giok Naga Merah, atmosfer di sekitar Lembah Roh Kultivator berubah secara drastis. Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba diselimuti oleh energi Qi yang mendalam dan menggetarkan, seolah alam semesta merespons sesuatu yang monumental. Rendy memegang Giok Naga Merah yang kini berpendar lembut di tangannya. Namun, sebelum ia sempat merenung lebih jauh, Pedang Elixir di punggungnya mulai bergetar hebat, memancarkan cahaya biru cemerlang. Dalam sekejap, dua pancaran cahaya muncul dari horizon yang berbeda, melesat dengan kecepatan luar biasa ke arah Rendy. Pancaran pertama datang dari arah timur. Cahaya keemasan yang memancar membawa aura kuno, penuh dengan simbol dan rune yang berkilauan di udara. Cahaya itu berhenti beberapa meter di depan Rendy, dan dari sana muncul seorang pria muda dengan jubah panjang berwarna biru gelap yang dihiasi dengan simbol rune talisman. “Aku merasa ada panggilan mendalam,” ucap pria itu sambil menatap Rendy dengan mata t
Setelah pelatihan intens bersama Aiden Lee dan Abigail Jones, Rendy terus merenungkan pertanyaan besar yang menggantung di benaknya: jika Aiden dan Abigail adalah Nisan Pedang Spiritual keenam dan ketujuh, lalu siapa pemilik Nisan Pedang Spiritual kelima?Saat malam menjelang di Lembah Roh Kultivator, Rendy duduk termenung di bawah sinar bulan. Energi kuno yang ia rasakan saat menghadapi Duke Alastair kembali terlintas di pikirannya. Itu adalah momen ketika Pedang Elixir tampak lebih hidup, lebih kuat dari sebelumnya. Tetapi tidak ada sosok roh kultivator yang muncul seperti Aiden dan Abigail.“Aiden, Abigail,” panggilnya, memecah kesunyian. “Aku merasa sesuatu yang aneh. Nisan Pedang Spiritual kelima… aku tidak pernah benar-benar melihat siapa pemiliknya. Apa kalian tahu sesuatu tentang ini?”Abigail dan Aiden saling pandang sebelum akhirnya Aiden menjawab dengan hati-hati. “Nisan Pedang Spiritual kelima tidak seperti kami, Rendy. Tidak semua Nisan berbentuk roh kultivator yang terwu
Malam itu, di bawah langit pekat yang berhiaskan taburan bintang, Rendy berdiri di tengah lingkaran energi yang berdenyut halus di sekelilingnya. Udara malam terasa hangat bercampur aroma tanah basah, seolah semesta ikut menyaksikan perjuangannya. Cahaya redup dari Giok Naga Merah di tangannya memancarkan kilauan merah yang memantul pada permukaan Pedang Elixir yang ramping dan tajam."Fokus, Rendy," suara Aiden terdengar tegas namun tenang. Ia melangkah mendekat, posturnya tegap dengan mata yang memancarkan kebijaksanaan seorang pelatih berpengalaman. "Biarkan energimu menyatu dengan Giok Naga Merah. Jangan melawan, tetapi selaraslah dengannya."Di sisi lain, Abigail berdiri dengan anggun, tangannya bersilang di dada. "Ingat, Rendy. Pedang Elixir bukan hanya senjata. Ia hidup. Rasakan setiap getaran, setiap napasnya. Jika kau tidak bisa mendengarnya, kau tidak akan pernah mampu mengendalikannya."Rendy menarik napas dalam, membiarkan udara dingin malam memenuhi paru-parunya. Tubuhnya
Di tempat terpencil, jauh dari jangkauan peradaban, Zhang Wei sedang memulihkan diri setelah kekalahannya di Benteng Langit Kegelapan. Namun, ia tidak hanya menyembuhkan luka-lukanya—ia memperkuat dirinya dengan energi dari Kuburan Pedang Spiritual, menggabungkan kekuatan pedang-pedang legendaris dengan Qi miliknya.Di hadapannya, bayangan dari roh-roh kultivator masa lalu berbaris, memberikan kekuatan mereka dengan rela. Zhang Wei menyerap semuanya, tubuhnya memancarkan aura kegelapan yang semakin kuat.“Rendy Wang...” gumamnya dengan suara penuh kebencian. “Kali ini, kau tidak akan selamat.”Kembali ke Dragon Sky Tower, Rendy bertemu dengan Katrin Chang yang sudah menunggunya di ruang rapat utama. Katrin, dengan gaya anggun dan tajamnya, langsung memberi laporan terbaru tentang pergerakan Zhang Wei.“Tuan Muda, kami telah melacak energi Zhang Wei. Dia berada di wilayah Utara, dekat Pegunungan Kabut Abadi. Sepertinya dia sedang mempersiapkan sesuatu yang besar.”Rendy mengangguk, mat
Langit Pegunungan Kabut Abadi tampak muram, seolah menyaksikan duel para pendekar yang akan menentukan nasib dunia. Udara dipenuhi aroma besi dan energi murni yang menggema hingga ke dasar lembah. Rendy Wang berdiri dengan kokoh di atas tanah yang bergetar, tubuhnya berselimut cahaya keemasan dari Pil Qi Nirvana yang diberikan Renata Zhang. Energinya berkobar, bagaikan naga yang baru bangkit dari kedalaman samudra.Di tangannya, Pedang Naga Elixir berpendar, memancarkan aura suci yang membelah angin dengan setiap gerakan kecil. Pandangannya tajam, menatap Zhang Wei yang berdiri di seberang, dikelilingi kabut gelap yang mengalir dari Pedang Darah Kehancuran. Aura dingin dan menyeramkan menyelimuti Zhang Wei, membuatnya tampak seperti dewa kematian.“Kali ini kau tidak akan lolos, Zhang Wei,” suara Rendy menggema tegas. Pedang di tangannya bersinar terang, dan ia melancarkan serangan pembuka, Kebangkitan Naga Nirvana. Pedangnya melesat dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai berc
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi