"Sialan! Brengsek si Tanu bodoh itu!" Julian mengumpat kesel sambil melangkah pergi.Setelah meninggalkan gedung Tanu dengan amarah yang mendidih, Julian langsung meluncur menuju kantornya - kantor pusat, tempat di mana atasannya, Tuan Haris, biasa menerima laporan dari para eksekutifnya. Rasa kecewa dan sakit hati yang dialaminya saat bertemu penolakan dari Tanu segera ia gantikan dengan fokus untuk urusan yang lebih besar. Dia tahu bahwa Tuan Haris sangat menghargai kinerjanya, dan ini akan menjadi kesempatan bagi Julian untuk mendapatkan dukungan penuh dari sang atasan.Sesampainya di kantor, Julian disambut oleh asisten pribadi Tuan Haris yang segera mengarahkan dirinya ke ruang rapat. Di sana, Tuan Haris tengah duduk dengan raut wajah tenang, menatap Julian seolah sudah menunggu kabar baik darinya."Selamat pagi, Tuan Haris." Julian mengucapkan salam sekaligus sapaan hormat untuk sang atasan."Julian, duduklah," kata Tuan Haris, menatapnya tajam namun penuh rasa penasaran - atas
Beberapa hari kemudian, Julian akhirnya mendapatkan kesempatan yang dinantinya - bertemu dengan Tanu. Dan saat itu, Tanu yang selama ini menghindar, tidak punya pilihan selain menemui Julian di sebuah acara bisnis yang mempertemukan para eksekutif papan atas. Di sana, Julian sudah menyiapkan rencana untuk membuat Tanu tunduk padanya - seperti dulu.Acara digelar di sebuah hotel mewah, di mana para tamu yang datang adalah pemimpin-pemimpin perusahaan besar. Julian tiba lebih awal, dengan penampilan yang elegan dan karisma yang memikat. Ia berdiri di tengah ruangan, berbaur dengan eksekutif lain sambil sesekali melempar senyum ke arah rekan bisnis-bisnis yang sudah dikenalnya lama. Matanya terus mencari sosok Tanu, pria yang beberapa waktu lalu menolak secara mentah-mentah untuk bertemu dengannya.Tak lama kemudian, Tanu benar-benar muncul. Pria itu tampak tenang dan percaya diri, seolah penolakan sebelumnya hanyalah angin lalu. Apalagi Tanu juga tidak menyangka jika
"Cih, minggir! Aku tidak ada urusan denganmu lagi," ujar Tanu meminta jalan dan menyingkirkan tubuh Julian yang menghalangi dirinya."Eh, hai..." Julian tidak melanjutkan kalimatnya karena Tanu telah bergegas pergi meninggalkan tempat berada.Tidak mau berdebat dengan Julian di tempat yang penting seperti ini, Tanu akhirnya meninggalkan mantan sahabatnya itu untuk menemui adik iparnya - Ryan. Dia ingin mengingatkan adik iparnya itu supaya berhati-hati, sebab ada Julian di sini.Sementara itu, Julian melangkah ke sisi ruangan, matanya menangkap sosok Rangga yang berdiri tidak jauh dari bar. Mereka pernah berpapasan saat kuliah, meskipun tidak satu angkatan. Julian tahu sedikit tentang Rangga, tetapi hubungan mereka tidak pernah benar-benar dekat. Namun, malam ini, Rangga tampak akrab dengan beberapa eksekutif di acara tersebut, seolah-olah ia sudah lama menjadi bagian dari lingkaran ini."Rangga," sapa Julian saat mendekatinya.Rangga meno
Di rumah, Erika duduk di sofa, merasakan keheningan malam yang biasanya memberi rasa tenang meski terasa sepi, tapi kali ini berbeda. Setelah kecelakaan yang dialaminya, kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ryan memintanya untuk banyak istirahat, namun rasa penasaran dan kegelisahannya tidak bisa begitu saja diabaikan. Terlebih setelah ancaman-ancaman misterius yang ia terima beberapa waktu belakangan."Huhfff, sepi juga di rumah sendirian."Iseng, Erika membuka ponselnya dan memutuskan untuk mengecek media sosialnya. Sudah lama dia tidak aktif, terutama sejak kecelakaan itu. Ketika akhirnya membuka akunnya, dia dikejutkan oleh banyaknya pesan langsung (DM) yang masuk. Beberapa dari mereka tampak normal, pesan dari teman-teman lama yang menanyakan kabarnya, tetapi yang membuat bulu kuduknya meremang adalah pesan-pesan dari akun anonim.Pesan-pesan itu bernada ancaman. Erika menatap layar dengan tegang saat membaca satu per satu pesan tersebut."Kamu tidak akan selamat kali ini," t
Setelah percakapan dengan Tanu - berbalas pesan, Erika mencoba menenangkan diri, tapi perasaan cemas tak kunjung hilang. Dia memutuskan untuk memeriksa sekali lagi kunci semua pintu dan jendela rumah sebelum akhirnya duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus dihantui oleh pesan-pesan ancaman itu. Semakin dia mengingatnya, semakin gelisah lagi dia.Saat dia mencoba untuk menonton TV agar teralihkan, tiba-tiba listrik padam. Ruangan yang sebelumnya terasa tenang kini dipenuhi kegelapan yang mencekam. Erika merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Kenapa mati lampu?" gumamnya, mencoba untuk tidak panik.Erika berdiri dan meraih ponselnya, berharap baterainya masih cukup untuk menyalakan senter. Saat ponsel menyala, notifikasi baru muncul—sebuah pesan lain dari akun anonim yang belum dia baca sebelumnya. Dengan tangan gemetar, dia membuka pesan itu."Kami sudah di sini. Ini peringatan terakhirmu. Jangan coba-coba melapor atau melibatkan orang lain, atau kamu da
Erika terdiam, tak percaya ketika melihat nama Ryan muncul di layar ponselnya. Tangannya yang gemetaran segera mengangkat telepon itu, suaranya parau karena sedang ketakutan."Mas...mas Ryan?" Suaranya hampir berbisik."Sayang, Erika, aku sudah di jalan pulang. Jangan buka pintu untuk siapa pun, kamu dengar? Apa pun yang terjadi, tetaplah di dalam, kunci semua pintu dan jendela. Aku akan segera sampai," kata Ryan dengan nada tegas, namun terdengar jelas kegelisahan di balik suaranya.Erika merasakan sedikit kelegaan, tapi ketakutan yang menyelimuti masih terlalu kuat. Dia yang belum sehat betul tentunya akan mudah terserang panik dalam keadaan seperti ini."Mereka... mereka bilang, mereka akan masuk kalau aku nggak buka pintu, mas. A-pa, apa yang harus a-ku... lakukan?"Ryan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya yang panik, padahal dia juga sangat mengkhawatirkan istrinya saat ini. Tapi dia tidak mau jika sang istri jadi ketakutan, saat mengetahui dia juga t
Erika menatap layar ponselnya yang kembali bergetar, kali ini dari nomor yang tidak dikenal. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi dia tahu dia harus menghadapi situasi ini. Dengan tangan yang gemetar, dia mengangkat telepon itu.“Halo?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Tak ada jawaban untuk beberapa detik, hanya suara napas di ujung sana. Erika nyaris menutup telepon, namun tiba-tiba terdengar suara berat yang membuat bulu kuduknya merinding.“Kau pikir kau bisa melarikan diri? Ini baru permulaan. Kami tahu segalanya tentangmu dan suamimu. Cepat atau lambat, kalian akan membayar semuanya!"Telepon itu langsung terputus, meninggalkan Erika dalam keheningan yang mencekam. Ia segera mematikan ponselnya, menahan diri agar tidak panik. Dia merasa seperti ditelanjangi di rumahnya sendiri, seolah-olah ada mata yang selalu mengawasi. Ancaman itu semakin nyata, dan dia tahu ini bukan hanya ancaman kosong. Tapi siapa yang menginginkannya terluka? Dan kenapa?Saat Erika berusaha
"Bu Erika?" Elsa panik begitu membaca pesan istri bosnya.Elsa cepat menghubungi Erika, tapi ternyata saat ini Erika sudah dalam keadaan baik-baik saja bersama Ryan. Elsa pun tenang dan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, tapi tak lama kemudian mengambilnya kembali karena ada sesuatu yang baru diingatnya.Beberapa saat kemudian, Elsa terdiam sejenak setelah meletakkan kembali ponselnya, menatap langit-langit kamar rumah sakit sambil berusaha mengabaikan rasa nyeri di kepalanya. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggunya, sebuah detail penting yang baru saja melintas di pikirannya. Ia langsung meraih ponsel kembali dengan tangan gemetar."Ada yang tidak beres," gumamnya pelan, mencoba mengingat sesuatu yang terlewat.Pikirannya kembali pada beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi, saat dia sedang menyelidiki penyebab kecelakaan Erika, juga pesan-pesan ancaman yang diterima istri bos-nya itu. Ada satu alamat IP yang berhasil ia lacak, tetapi saat itu ia pikir tidak terl
"Apa maksudmu, Bang Ded?" tanya Elsa dengan nada heran, menatap Dedi dengan bingung - tidak mengerti arah pembicaraannya tadi.Dedi menghela napas panjang, berhenti sejenak di depan lift yang belum terbuka. Ia memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka sebelum melanjutkan pembicaraannya."Aku tahu kamu dekat dengan Pak Ryan. Kita semua dekat dengannya, tapi aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kamu dan dia," ujar Dedi dengan serius, menatap langsung ke mata Elsa.Elsa mengerutkan kening. "Maksudmu, aku dan Pak Ryan...?" Ia tertawa kecil, merasa absurd dengan apa yang dipikirkan Dedi. "Bang Ded, kamu salah paham. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Ryan. Dia bosku, dan kita hanya bekerja sama. Hubungan kita sebatas profesional, tidak lebih."Namun, Dedi tampak tidak terpengaruh oleh penjelasan Elsa. "El, aku tahu kamu orang yang baik. Tapi terkadang, kedekatan bisa menimbulkan persepsi yang salah, apalagi ketika orang lain melihatny
Beberapa hari setelah perbincangan Ryan dan Rangga, suasana di sekitarnya semakin stabil. Hubungan Ryan dengan orang-orang di sekitarnya mulai membaik, terutama dengan istrinya - Erika, yang sempat syok berat karena mengetahui papanya ikut terlibat dalam konspirasi yang ingin menjatuhkan suaminya. Sementara Nyonya Lee juga ikut syok dan akhirnya harus mengungsi ke luar negeri demi kesehatan mentalnya.Tanu yang sempat khawatir dengan kehadiran Rangga, akhirnya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Rangga tidak lagi memiliki ambisi untuk mengambil alih perusahaan. Tindakan Ryan yang memperbaiki hubungan dengan Rangga menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih jauh, dan itu membuatnya semakin dihargai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya.Sementara itu, di rumah, hubungan Ryan dan Erika semakin hangat. Meskipun sibuk dengan urusan perusahaan dan masalah-masalah yang baru saja berlalu, Ryan selalu meluangkan waktu untuk istrinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama d
Beberapa hari setelah Tuan Lee, Tuan Haris, dan Nadia diproses hukum, suasana di perusahaan Ryan mulai stabil. Tidak ada yang bisa lepas begitu saja dari jerat hukum, jika memang mereka bersalah. Dan Ryan, tidak memiliki toleransi bagi mereka yang berkhianat.Berbeda dengan keadaan Ryan, Tanu justru sedang resah. Keberadaan Rangga yang masih berkeliaran di sekitar perusahaan Lee membuatnya merasa terganggu. Meski Rangga tidak lagi membuat keributan atau mencoba mengambil alih perusahaan, kehadirannya tetap memicu ketegangan yang membuat suasana tidak nyaman. Tanu tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya, sering kali mengeluh pada Ryan atau Erika tentang hal tersebut.Melihat ketidaknyamanan Tanu dan menyadari bahwa permasalahan di antara mereka bisa saja merusak hubungan keluarga yang tersisa, Ryan memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia merasa sudah waktunya berbicara dengan Rangga, bukan sebagai rival bisnis, tetapi sebagai saudara yang masih memiliki ikatan darah dengan istrinya
Ryan berhenti melangkah dan menoleh kembali ke arah Tanu, matanya tampak serius. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Tanu membuat suasana yang semula mulai mereda kembali terasa tegang. Erika, yang berdiri di samping suaminya, menatap Tanu dengan cemas, seakan tahu bahwa pembahasan ini akan membawa kembali ingatan-ingatan buruk yang tentu saja masih membekas dengan jelas.Ryan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kak Tanu, aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita semua. Apalagi, bagimu dan Erika, dia tetaplah papa kalian." Ryan berbicara dengan hati-hati, tak ingin memancing lebih banyak perasaan keduanya terluka."Tapi, Papa..." Suara Tanu tercekat, menelan ludahnya susah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jika dia—""Kita harus menyerahkan semuanya pada hukum, Kak Tanu." Ryan memotong dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "Semua bukti sudah jelas mengarah ke Papa. Dia terlibat dalam rencana bersama Tuan Haris dan melibatkan Nadia juga untuk mencelakak
Erika berjalan anggun memasuki ruang meeting, di sampingnya ada Ryan yang selalu tampak tenang namun penuh wibawa. Suara langkah kaki mereka berdua yang berirama membuat suasana di ruangan itu terasa semakin menegangkan. Tanu yang masih berdiri di depan meja konferensi menatap ke arah keduanya, sementara Rangga yang semula tampak percaya diri, kini mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.Ryan, yang memegang saham terbesar di perusahaan ini setelah penyuntikan dana besar-besaran saat perusahaan Lee hampir bangkrut, hanya memberikan anggukan kecil kepada Tanu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi di ujung meja, posisi yang biasanya diisi oleh pemegang keputusan tertinggi dalam pertemuan semacam ini.Erika, yang selama ini menjadi sosok penting di balik layar - sebab dirinya juga memiliki beberapa persen saham di perusahaan keluarganya ini, tidak banyak bicara. Namun kehadirannya kali ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan sekadar anak perempuan dari Tuan Lee, tetapi juga seora
Tanu berdiri tegak di ruang pertemuan yang luas, matanya menatap dengan tajam ke arah sepupunya - Rangga, yang memaksa ikut dalam pertemuan ini. Rangga duduk di hadapannya dengan sikap percaya diri, merasa menjadi bagian dari perusahaan yang saat ini dipimpin Tanu.Rangga, sepupu Tanu yang juga sekaligus keponakan Tuan Lee, kini berani menunjukkan ketertarikannya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan yang selama ini dijalankan oleh Tuan Lee. Sementara itu, Tuan Lee, ayah Tanu dan Erika, kini tengah mendekam di penjara, jelas telah membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak hal - termasuk merosotnya harga saham perusahaan. Namun, meskipun hubungan keluarga ini mengikat mereka dalam ikatan darah, Tanu tahu bahwa tidak ada tempat bagi Rangga di dalam dunia bisnisnya ini —terutama dengan segala yang telah terjadi.Tangga sendiri - bersama dengan keluarganya yang lain, sudah mendapatkan bagiannya di luar kota - perusahaan cabang yang selama ini ditangani mendiang ayahnya R
Malam itu, Ryan duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi Erika yang duduk masih betah terpaku di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Udara malam yang sejuk tampaknya tidak bisa menenangkan kekacauan yang bergejolak di dalam diri Erika.Ryan bisa melihatnya, bagaimana istrinya itu memendam sesuatu yang besar, sebuah kepedihan yang lebih dalam dari sekadar banyak peristiwa - termasuk kecelakaan yang pernah dia alami beberapa waktu lalu."Aku nggak tahu harus bagaimana, mas Ryan," ujar Erika pelan, suaranya serak."Kenapa, hm?" Ryan bertanya maksud perkataan istrinya."Papa... dia... dia..." Erika terhenti, suaranya hampir hilang ditelan perasaan yang mendalam."Selama ini aku merasa terjebak dalam permainan yang tak aku pahami. Semua ini ternyata sudah direncanakan sejak lama, dan aku... aku tidak pernah tahu apa-apa tentang rencana papa." Akhirnya, Erika bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu menyesakkan dadanya.Ryan menghembuskan napas panjang, berjalan mendekat dan du
Setelah peristiwa yang mengguncang mereka semua, hari-hari selanjutnya penuh dengan ketegangan meskipun situasi sudah mulai mereda. Ryan masih berusaha menenangkan Erika dan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, sementara Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi berusaha memberikan dukungan moral pada mereka berdua. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang ketahui, bahkan Elsa sendiri belum menyadarinya.Dedi selalu memperhatikan Elsa dari kejauhan, bahkan sudah sejak lama. Di tengah segala kecemasan dan ketegangan yang mereka alami, Dedi merasa cemas dengan keberadaan Elsa yang selalu berada di dekat Ryan. Entah mengapa, setiap kali melihat Elsa tertawa atau berbicara dengan Ryan, hatinya terasa teriris. Dedi tahu perasaan ini bukan hal yang bisa ia tunjukkan, apalagi di tengah kesibukan mereka yang terus bergulir. Namun, perasaan itu semakin tak bisa ia bendung."Elsa, bisa bantu aku sebentar?" Dedi memanggil, berusaha tidak terlalu terlihat gelisah.Elsa yang sedang berdiri bersama Fery d
Ketika suasana semakin tegang dan tak terkontrol di ruangan gelap itu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dari kejauhan, semakin dan mendekat ke lokasi. Ryan, Julian, dan Tuan Lee sama-sama tersentak, menyadari bahwa keadaan akan segera berubah drastis.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Dedi, Fery, dan Tomi masuk berbarengan, wajah mereka tegang namun sedikit lega melihat Ryan masih berdiri meskipun dengan wajah yang tampak lelah dan tubuh penuh luka."Kalian?!" seru Ryan, terkejut melihat asistennya. "Bagaimana kalian bisa tahu kami di sini?" tanyanya kemudian.Dedi mendekat cepat, matanya melirik sejenak ke arah Tuan Lee yang masih tersandar di dinding dan Tuan Haris yang tergeletak di lantai, juga Julian yang diam saja seperti tidak melakukan apapun dalam keadaan ini."Kami dapat info dari Elsa, Pak Ryan. Kami segera ke sini begitu tahu kau dalam bahaya," terang Dedi."Kau tamat, selesai sekarang ini, Tuan Haris. Polisi juga sudah di sini," ujar Fery dingi