"Sesuai keinginanmu, sayang." Ryan tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa melepaskan kepenatan dengan bercinta.Erika tersenyum lembut, dan sepertinya, Erika juga menyadari jika kebutuhan biologis suaminya belakangan ini tidak tersalurkan dengan baik. Apalagi insiden kecelakaan yang dialaminya, membuat dirinya harus beristirahat total di rumah sakit.Malam ini, di dalam kamar yang hanya diterangi oleh lampu remang-remang, suasana terasa hangat dan penuh dengan perasaan mendalam di antara mereka berdua. Ryan memeluk Erika dengan lembut, menariknya semakin dekat dalam pelukannya. Rasa rindunya yang terpendam selama beberapa waktu belakangan ini mulai terasa memenuhi pikirannya, namun dia juga sangat berhati-hati, menyadari kondisi istrinya yang masih dalam pemulihan.Perlahan, Ryan menatap wajah istrinya, melihat ke dalam matanya yang penuh dengan kehangatan dan cinta. Dia menundukkan kepalanya, mendekatkan bibirnya ke telinga Erika dan berbisik dengan lembut."Aku merinduk
"Sialan! Brengsek si Tanu bodoh itu!" Julian mengumpat kesel sambil melangkah pergi.Setelah meninggalkan gedung Tanu dengan amarah yang mendidih, Julian langsung meluncur menuju kantornya - kantor pusat, tempat di mana atasannya, Tuan Haris, biasa menerima laporan dari para eksekutifnya. Rasa kecewa dan sakit hati yang dialaminya saat bertemu penolakan dari Tanu segera ia gantikan dengan fokus untuk urusan yang lebih besar. Dia tahu bahwa Tuan Haris sangat menghargai kinerjanya, dan ini akan menjadi kesempatan bagi Julian untuk mendapatkan dukungan penuh dari sang atasan.Sesampainya di kantor, Julian disambut oleh asisten pribadi Tuan Haris yang segera mengarahkan dirinya ke ruang rapat. Di sana, Tuan Haris tengah duduk dengan raut wajah tenang, menatap Julian seolah sudah menunggu kabar baik darinya."Selamat pagi, Tuan Haris." Julian mengucapkan salam sekaligus sapaan hormat untuk sang atasan."Julian, duduklah," kata Tuan Haris, menatapnya tajam namun penuh rasa penasaran - atas
Beberapa hari kemudian, Julian akhirnya mendapatkan kesempatan yang dinantinya - bertemu dengan Tanu. Dan saat itu, Tanu yang selama ini menghindar, tidak punya pilihan selain menemui Julian di sebuah acara bisnis yang mempertemukan para eksekutif papan atas. Di sana, Julian sudah menyiapkan rencana untuk membuat Tanu tunduk padanya - seperti dulu.Acara digelar di sebuah hotel mewah, di mana para tamu yang datang adalah pemimpin-pemimpin perusahaan besar. Julian tiba lebih awal, dengan penampilan yang elegan dan karisma yang memikat. Ia berdiri di tengah ruangan, berbaur dengan eksekutif lain sambil sesekali melempar senyum ke arah rekan bisnis-bisnis yang sudah dikenalnya lama. Matanya terus mencari sosok Tanu, pria yang beberapa waktu lalu menolak secara mentah-mentah untuk bertemu dengannya.Tak lama kemudian, Tanu benar-benar muncul. Pria itu tampak tenang dan percaya diri, seolah penolakan sebelumnya hanyalah angin lalu. Apalagi Tanu juga tidak menyangka jika
"Cih, minggir! Aku tidak ada urusan denganmu lagi," ujar Tanu meminta jalan dan menyingkirkan tubuh Julian yang menghalangi dirinya."Eh, hai..." Julian tidak melanjutkan kalimatnya karena Tanu telah bergegas pergi meninggalkan tempat berada.Tidak mau berdebat dengan Julian di tempat yang penting seperti ini, Tanu akhirnya meninggalkan mantan sahabatnya itu untuk menemui adik iparnya - Ryan. Dia ingin mengingatkan adik iparnya itu supaya berhati-hati, sebab ada Julian di sini.Sementara itu, Julian melangkah ke sisi ruangan, matanya menangkap sosok Rangga yang berdiri tidak jauh dari bar. Mereka pernah berpapasan saat kuliah, meskipun tidak satu angkatan. Julian tahu sedikit tentang Rangga, tetapi hubungan mereka tidak pernah benar-benar dekat. Namun, malam ini, Rangga tampak akrab dengan beberapa eksekutif di acara tersebut, seolah-olah ia sudah lama menjadi bagian dari lingkaran ini."Rangga," sapa Julian saat mendekatinya.Rangga meno
Di rumah, Erika duduk di sofa, merasakan keheningan malam yang biasanya memberi rasa tenang meski terasa sepi, tapi kali ini berbeda. Setelah kecelakaan yang dialaminya, kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ryan memintanya untuk banyak istirahat, namun rasa penasaran dan kegelisahannya tidak bisa begitu saja diabaikan. Terlebih setelah ancaman-ancaman misterius yang ia terima beberapa waktu belakangan."Huhfff, sepi juga di rumah sendirian."Iseng, Erika membuka ponselnya dan memutuskan untuk mengecek media sosialnya. Sudah lama dia tidak aktif, terutama sejak kecelakaan itu. Ketika akhirnya membuka akunnya, dia dikejutkan oleh banyaknya pesan langsung (DM) yang masuk. Beberapa dari mereka tampak normal, pesan dari teman-teman lama yang menanyakan kabarnya, tetapi yang membuat bulu kuduknya meremang adalah pesan-pesan dari akun anonim.Pesan-pesan itu bernada ancaman. Erika menatap layar dengan tegang saat membaca satu per satu pesan tersebut."Kamu tidak akan selamat kali ini," t
Setelah percakapan dengan Tanu - berbalas pesan, Erika mencoba menenangkan diri, tapi perasaan cemas tak kunjung hilang. Dia memutuskan untuk memeriksa sekali lagi kunci semua pintu dan jendela rumah sebelum akhirnya duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus dihantui oleh pesan-pesan ancaman itu. Semakin dia mengingatnya, semakin gelisah lagi dia.Saat dia mencoba untuk menonton TV agar teralihkan, tiba-tiba listrik padam. Ruangan yang sebelumnya terasa tenang kini dipenuhi kegelapan yang mencekam. Erika merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Kenapa mati lampu?" gumamnya, mencoba untuk tidak panik.Erika berdiri dan meraih ponselnya, berharap baterainya masih cukup untuk menyalakan senter. Saat ponsel menyala, notifikasi baru muncul—sebuah pesan lain dari akun anonim yang belum dia baca sebelumnya. Dengan tangan gemetar, dia membuka pesan itu."Kami sudah di sini. Ini peringatan terakhirmu. Jangan coba-coba melapor atau melibatkan orang lain, atau kamu da
Erika terdiam, tak percaya ketika melihat nama Ryan muncul di layar ponselnya. Tangannya yang gemetaran segera mengangkat telepon itu, suaranya parau karena sedang ketakutan."Mas...mas Ryan?" Suaranya hampir berbisik."Sayang, Erika, aku sudah di jalan pulang. Jangan buka pintu untuk siapa pun, kamu dengar? Apa pun yang terjadi, tetaplah di dalam, kunci semua pintu dan jendela. Aku akan segera sampai," kata Ryan dengan nada tegas, namun terdengar jelas kegelisahan di balik suaranya.Erika merasakan sedikit kelegaan, tapi ketakutan yang menyelimuti masih terlalu kuat. Dia yang belum sehat betul tentunya akan mudah terserang panik dalam keadaan seperti ini."Mereka... mereka bilang, mereka akan masuk kalau aku nggak buka pintu, mas. A-pa, apa yang harus a-ku... lakukan?"Ryan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya yang panik, padahal dia juga sangat mengkhawatirkan istrinya saat ini. Tapi dia tidak mau jika sang istri jadi ketakutan, saat mengetahui dia juga t
Erika menatap layar ponselnya yang kembali bergetar, kali ini dari nomor yang tidak dikenal. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi dia tahu dia harus menghadapi situasi ini. Dengan tangan yang gemetar, dia mengangkat telepon itu.“Halo?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Tak ada jawaban untuk beberapa detik, hanya suara napas di ujung sana. Erika nyaris menutup telepon, namun tiba-tiba terdengar suara berat yang membuat bulu kuduknya merinding.“Kau pikir kau bisa melarikan diri? Ini baru permulaan. Kami tahu segalanya tentangmu dan suamimu. Cepat atau lambat, kalian akan membayar semuanya!"Telepon itu langsung terputus, meninggalkan Erika dalam keheningan yang mencekam. Ia segera mematikan ponselnya, menahan diri agar tidak panik. Dia merasa seperti ditelanjangi di rumahnya sendiri, seolah-olah ada mata yang selalu mengawasi. Ancaman itu semakin nyata, dan dia tahu ini bukan hanya ancaman kosong. Tapi siapa yang menginginkannya terluka? Dan kenapa?Saat Erika berusaha
Tomi menggenggam alat rekam kecil yang ditemukan di saku pria tersebut. Matanya menyipit, menyadari bahwa ini lebih dari sekadar serangan fisik. Mereka sedang dipantau—kemungkinan, setiap langkah mereka dicatat dan mungkin juga dikirimkan ke seseorang yang lebih tinggi, dalang dari semua kejadian ini."Fer, tunggu!" seru Tomi, mengejar Fery dan Elsa yang baru saja mencapai tangga darurat.Fery menoleh, sedikit kebingungan melihat Tomi berlari dengan membawa alat kecil itu."Apa itu?" tanya Fery sambil mengerutkan kening.Tomi mengangkat alat itu di depan wajah mereka, memperlihatkan sesuatu yang ditemukannya tadi."Ini alat rekam, you now? Mereka bukan cuma datang untuk menyerang. Mereka memata-matai kita. Siapa pun yang menyerang pak Ryan semalam, mereka pasti ingin lebih dari sekadar peringatan. Mereka sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar," jelas Tomi mengangguk.Elsa menatap alat rekam itu dengan ngeri, paham dengan maksud perkataan Tomi. "Mereka tahu semua yang kita bicara
Keesokan paginya, suasana apartemen Dedi dipenuhi ketegangan yang tak terlihat namun terasa kuat. Ryan, yang tiba pagi-pagi setelah melewati malam yang sulit, duduk di ruang tamu bersama Dedi, Tomi, dan Fery. Wajahnya masih menunjukkan bekas-bekas serangan semalam, dengan beberapa luka di sudut bibir dan memar di pipi. Meski begitu, sorot matanya tajam, penuh tekad untuk menemukan siapa yang berada di balik semua ini."Pak Ryan, kita perlu tahu detail serangan semalam. Siapa yang nyerang Anda? Atau, apa ada mereka bilang sesuatu?" tanyaDedi mulai bicara, suaranya tenang tapi serius.Ryan menggeleng pelan sambil mengingat-ingat kejadian semalam, sebab dua pria yang menyerangnya juga tidak menyebutkan nama seseorang. Mereka hanya memberikan peringatan supaya dirinya tidak ikut campur urusan orang lain, padahal Ryan tidak tahu urusan siapa yang dimaksud."Mereka nggak bilang apa-apa. Dua orang, besar dan pastinya mereka terlatih. Mereka tahu apa yang mereka lakukan, nggak asal nyerang.
Beberapa saat sebelum Elsa keluar kamar.Setelah telepon dari Ryan berakhir, suasana di apartemen Dedi kembali tegang. Mereka bertiga tahu ini bukan sekadar kebetulan. Serangan terhadap Ryan menunjukkan bahwa ada seseorang di luar sana yang tidak main-main. Dedi, Tomi, dan Fery segera memutuskan untuk mempercepat langkah mereka dalam mengamankan Elsa dan mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini.Tomi berdiri dari sofa, memasukkan ponselnya ke saku. "Kita harus buat rencana yang jelas. Mereka sudah menargetkan pak Ryan hari ini, dan Elsa mungkin target berikutnya."Fery mengangguk setuju dengan analisa rekannya itu. "Aku akan segera hubungi beberapa orang. Kita butuh pengawasan di sini, mungkin pasang CCTV tambahan, atau lebih baik lagi, kita datangkan tim yang bisa jaga secara fisik. Apartemen ini cukup tinggi, tapi tetap saja, kita nggak bisa ambil risiko."Dedi yang duduk diam sambil berpikir akhirnya angkat bicara. "Setuju. Kita nggak boleh remehkan ancaman ini. Selain itu, k
Malam itu, di apartemen Dedi, suasana mulai tenang setelah Elsa masuk ke kamarnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika ponsel Tomi tiba-tiba berdering. Nama Ryan muncul di layar, membuat Tomi segera mengangkatnya, dengan ekspresi yang mendadak serius."Pak Ryan, ada apa?" tanya Tomi cepat, merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres karena syara Ryan yang terdengar tidak biasa..Dari seberang, suara Ryan memang terdengar berat namun tetap berusaha untuk tenang. Dia sudah keluar dari medan bahaya yang tadi sempat didapatkan.“Aku baru saja dihadang di jalan. Dua pria dengan mobil hitam mencoba memaksaku keluar dari mobil. Mereka nggak main-main. Aku harus melawan mereka, tapi berhasil keluar dari situ setelah sedikit adu fisik.” Ryan menjelaskan.Mata Tomi langsung menyipit, rasa khawatir merambat di pikirannya. “Apa Anda, baik-baik saja? Di mana Anda sekarang, pak Ryan?”“Ah, tenang, Tomi. Aku berhasil lolos. Sedikit babak b
Di tempat lain, Elsa baru saja tiba di apartemen Dedi. Perasaannya campur aduk, karena dia tidak pulang ke rumahnya - tempat tinggalnya selama beberapa waktu terakhir ini setelah menjadi asistennya Ryan. Meski merasa sedikit lebih baik setelah beberapa hari di rumah sakit, dia masih belum sepenuhnya pulih, baik fisik maupun mental.Dedi sendiri yang mengantarnya kali ini, karena Ryan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, mengingat ada urusan yang harus dia selesaikan di sana.Apartemen Dedi terletak di lantai yang cukup tinggi, menawarkan pemandangan indah kota saat malam hari. Begitu pintu lift terbuka, mereka berjalan menuju pintu apartemen yang tak jauh dari situ. Dedi menekan kode pengaman pintu, dan suara klik terdengar, menandakan pintu terbuka.Elsa sempat terkejut ketika melihat dua sosok yang sudah menunggu di dalam. Tomi dan Fery, dua sahabat dekat Dedi - yang juga rekan kerjanya, berdiri di ruang tamu, tampak sudah siap menyambut mereka. Wajah mereka cerah, menunjukkan
Di saat Ryan sedang dalam perjalanan pulang, tiba-tiba dua mobil hitam muncul di belakangnya. Kecepatan mereka meningkat dengan cepat, dan dalam sekejap, mereka sudah menempel di belakang mobilnya. Ryan bisa merasakan firasat buruk, tapi tetap mencoba tetap tenang sambil fokus menyetir.Tapi pada kenyataannya, dua mobil itu tidak memberikan kesempatan Rian untuk kabur. Mereka terus mepet dan itu membuat Ryan tidak bisa bergerak dengan bebas sehingga harus berhati-hati dengan kemudinya."Ini tidak beres," gumamnya sambil melirik ke kaca spion. Mobil-mobil itu seperti sengaja mengikuti setiap gerakannya.Ryan mencoba meningkatkan kecepatan, namun salah satu mobil dengan cepat berpindah ke jalur sebelah kiri, sejajar dengan mobilnya. Sementara itu, mobil lain tetap berada di belakangnya, seolah-olah memaksanya masuk ke dalam jebakan. Dengan keadaan seperti ini, dia sedikit kesulitan menghindar, apalagi Fery, supir pribadinya, tidak bersamanya. Fery sedang berada di apartemen Dedi, menyam
Kondisi Elsa berangsur membaik setelah perawatan intensif di rumah sakit. Luka-luka fisiknya mulai pulih, dan senyumnya yang lama hilang kini perlahan kembali menghiasi wajahnya. Dokter telah memberikan izin untuknya pulang, namun di balik kabar baik itu, ada kekhawatiran yang menggelayuti pikiran semua orang, terutama Dedi. Rekan kerja yang paling dekat dengannya, sejak mereka menjadi asisten Ryan.Dedi, yang selama ini selalu berada di samping Elsa - bekerja sama untuk kesuksesan perusahaan Ryan, tentu tahu bahwa membiarkannya pulang ke rumah bisa menjadi risiko besar. Meski tidak ada ancaman nyata yang terungkap, kejadian kecelakaan yang dialami Elsa tidak bisa dianggap sebagai kebetulan - apalagi Elsa tinggal seorang diri di rumahnya, sebab Elsa adalah yatim yang diusir oleh keluarga ibunya dan ditolong Ryan saat itu. Perasaan tidak nyaman semakin menghantui Dedi seandainya Elsa di rumah sendirian. Apalagi dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini, Dedi tidak bisa menyingkirkan pi
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu. "Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir. Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan. “Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Bi