"Man, cepat lah!" perintah Tuan Lee pada supir. Dia sangat cemas dengan keselamatan putranya.
"I-ya, iya Tuan." Pak Maman - supir, mengganguk mengiyakan saja.Meskipun beberapa waktu terakhir ini Tanu begitu menyebalkan karena sering membangkang, bagaimanapun juga Tanu tetap putranya. Anak laki-laki yang tidak hanya menggantikan dirinya sebagai pemimpin perusahaan, tetapi juga marga keluarga Lee.Dalam kegelapan malam yang semakin pekat, Tuan Lee akhirnya tiba di lokasi setelah perjalanan yang terasa lebih panjang dari biasanya. Mobilnya berhenti tepat di tepi kerumunan, dan Tuan Lee keluar dengan langkah terburu-buru. Matanya langsung menyapu tempat itu, mencari-cari keberadaan putranya, Tanu. Suasana yang kacau dan suara sirene polisi yang semakin mendekat membuatnya semakin cemas.Di tengah keributan, ia melihat sesosok tubuh yang tergeletak di tanah - dipangkuan menantunya. Sejenak, pandangannya terfokus pada Dika yang terluka parah, dan kemudDi rumah sakit.Setibanya di rumah sakit, suasana di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) begitu sibuk. Tuan Lee, Ryan, dan dua anggota polisi mengikuti dengan cemas di belakang petugas medis yang membawa Tanu dan Dika melalui lorong-lorong sempit menuju ruang perawatan. Ketegangan begitu terasa, berlomba dengan rasa khawatir dan degup jantung dengan setiap detik yang berlalu membawa harapan sekaligus ketakutan yang lebih besar.Di ruang IGD, sejumlah tenaga medis bergerak cepat, membagi tugas mereka dengan profesionalisme yang tinggi. Seorang dokter yang memimpin tim, Dr. Natan, mengenakan jas putih dengan masker bedah yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya yang tajam memandang dengan serius ke arah Tanu yang terluka parah, tubuhnya penuh dengan luka-luka dan darah yang terus mengalir.Sedangkan Dika ditangani oleh tim dokter yang lain, yang tidak kalah terus menangani luka-luka di tubuhnya Dika."Tolong, bantu saya!" teriak Dr. Natan kepada asistennya saat mereka mulai menangani Ta
Setelah beberapa jam berlalu, suasana di ruang IGD masih penuh dengan ketegangan. Tuan Lee, Ryan, dan Erika berdiri di luar ruang perawatan, mereka tak mampu berbuat banyak selain menunggu kabar dari dokter. Keadaan Tanu dan Dika masih sangat kritis, dan meskipun dokter telah berusaha sebaik mungkin, mereka belum bisa memberikan kepastian dengan hasilnya.Namun, ketika pintu IGD terbuka lagi dan Dr. Natan keluar dengan ekspresi yang serius, semua mata langsung tertuju padanya. Ryan mendekat dengan langkah tergesa-gesa, berharap mendapatkan kabar baik, meskipun rasa cemas menggerogoti setiap syaraf dalam tubuhnya."Dokter... bagaimana kondisi kakak saya? Bagaimana Tanu?" Ryan bertanya, suaranya serak. Tuan Lee di sampingnya, wajahnya semakin muram, menunggu dengan penuh harap akan keselamatan putranya.Dr. Natan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan hati-hati. Dia tidak ingin membuat keluarga pasien merasa lebih khawatir lagi."Kondisinya stabil, tetapi ini belum bis
Dua hari setelah kejadian yang mengguncang keluarga Lee, suasana di kantor Ryan terkesan semakin tegang. Elsa, salah satu asisten Ryan yang satu-satunya berjenis kelamin perempuan - sang ahli IT, dan Dedi, asisten yang selalu sigap, sudah memulai langkah-langkah untuk menghancurkan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh Tuan Arman. Berbekal keterampilan mereka, keduanya bekerja tanpa henti, menggunakan segala cara yang ada untuk menghancurkan perusahaan milik Arman.Saat ini Elsa duduk di depan laptop, wajahnya serius saat menatap layar yang penuh dengan data dan grafik. Dedi berdiri di sampingnya, memantau proses yang sedang berlangsung.“Kita hampir selesai, Elsa,” kata Dedi, menyandarkan dirinya di meja yang dipenuhi monitor dan kabel-kabel. “Semua transaksi besar yang dilakukan tuan Arman dalam beberapa bulan terakhir sudah kita peta dengan jelas. Perusahaan-perusahaan yang dia kontrol mulai terhubung satu sama lain, dan mereka mulai terjerat dalam masalah finansial.”Elsa mengangguk
Saat berada di dalam tahanan, Tuan Arman berhasil melarikan diri dengan segala kekuatan koneksinya. Bahkan dia belum menghubungi pihak pengacara saja, sudah cukup untuk dia bisa kabur dari tahanan sementara.Dan di sinilah akhirnya Tuan Arman berada. Di sebuah rumah kecil yang tersembunyi di pinggiran kota, Tuan Arman duduk dengan wajah penuh kemarahan. Rumah itu sangat sederhana dan jauh dari kemewahan yang biasa dia nikmati selama ini, namun saat ini tempat itu adalah satu-satunya tempat yang bisa dia gunakan untuk sembunyikan dirinya dari kejaran polisi. Dengan statusnya sebagai DPO, dia merasa terpojok. Semua jaringan yang dia bangun selama ini mulai runtuh, dan dia tahu hanya soal waktu sebelum polisi menemukannya."Sial! Brengsek! Seharusnya tidak seperti ini hasilnya. Arghh..." Tuan Arman memukul meja kayu di depannya, membuat barang-barang di atasnya bergetar. Wajahnya merah padam, matanya penuh kebencian.Sudah dua hari sejak Ryan dan timnya menggempur perusahaannya, menghanc
Keadaan di rumah yang terlihat sunyi - karena memang sudah larut malam, Ryan membuka pintu kamar tidurnya dengan langkah pelan. Tubuhnya terasa berat setelah seharian menghadapi berbagai tekanan, mulai dari situasi di kantor hingga berlarut-larutnya kasus Tanu yang menguras emosinya. Wajahnya tampak lelah, garis-garis kelelahan semakin terlihat, namun hatinya tetap tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya dan kecemasan yang ada belum juga reda.Ketika pintu kamar tertutup di belakangnya, Erika sudah ada di dalam, duduk di tepi tempat tidur. Dengan ekspresi penuh perhatian, Erika bangkit lalu berjalan mendekat ke arah datangnya sang suami. Dia bisa merasakan kelelahan yang begitu jelas dari raut wajah suaminya."Mas Ryan, kau kelihatan sangat lelah. Apa masih ada yang mengganggu?" tanya Erika, suaranya lembut - merasa khawatir.Ryan menghela napas panjang, melepaskan sepatu yang menempel di kakinya dan duduk di sisi tempat tidur. "Semua hal terasa begitu berat akhir-akhir ini, sayang.
Julian berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang memantulkan kecemasan dan ketegangan. Dengan langkah cepat, dia telah mengatur barang-barang ke dalam koper dan tas ransel. Setiap detik terasa berharga saat dia mempersiapkan diri untuk melarikan diri dari keruwetan yang mengancamnya. Keputusan untuk pergi ke luar kota adalah langkah terakhir yang dia rasa bisa diambil untuk menjauh dari masalah yang semakin meluas, karena rencana balas dendamnya tidak semulus yang direncanakan.Pakaian yang dikenakan—jaket kulit hitam dan celana jeans—memberikan kesan keberanian yang berusaha ditunjukkannya. Namun, di dalam hatinya, gelombang rasa bersalah terus menerpa setiap kali dia memikirkan Tanu dan konsekuensi dari tindakannya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir semua pikiran negatif itu.Sementara itu, di tempat yang aman, Ryan memantau semua aktivitas Julian dari jauh. Dia tidak sendiri, tim yang dipimpin oleh asisten IT-nya, Elsa, bersembunyi di tempat berbeda, siap men
Dengan langkah cepat, Tuan Arman mendekati pelabuhan, otaknya berputar-putar merencanakan pelarian. Di depan matanya terbentang lautan gelap, bercampur cahaya lampu dari kapal-kapal yang bersandar. Seharusnya ini adalah tempat aman baginya, tetapi dia tahu betul bahwa langkahnya mungkin saja sudah terdeteksi. Setiap detik berlalu, kegelisahan menyergapnya, membuat napasnya semakin cepat dengan debaran jantung yang mengila.Di sisi lain pelabuhan, tim kepolisian bersiap untuk menangkapnya. Mereka bersembunyi di antara tumpukan kontainer, menunggu dengan sabar. Rencana mereka sudah matang—mereka akan mengelilingi Tuan Arman dan mencegahnya melarikan diri kw luar negeri lewat jalur laut. Satu sinyal, dan mereka akan bergerak.Ketika Tuan Arman mencapai dermaga, dia menyadari sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki dan bisikan samar menyentuh telinganya. Dia berbalik dan melihat bayangan yang bergerak cepat. Hatinya berdegup kencang. "Sialan!" teriaknya, melangkah mundur, mengedarka
Setelah dua minggu menjalani perawatan dan mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat, Tanu mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Meski luka-lukanya masih terasa, baik fisik maupun emosional, semangatnya perlahan-lahan bangkit kembali. Dia bertekad untuk tidak lagi menjadi korban keadaan, berusaha untuk sembuh dan kembali beraktivitas seperti dulu.Tanu duduk di ranjang rumah sakit, menatap jendela yang membingkai pemandangan kota. Cahaya matahari yang hangat menyinari wajahnya, seolah memberi energi baru untuknya. Perlahan-lahan, dia meraih ponselnya dan membuka foto-foto kenangan indah, mengingat momen-momen bahagia yang pernah ia alami bersama keluarganya.Laki-laki muda itu sadar jika beberapa waktu lalu dia sedikit apa dengan keluarganya, terlalu asyik sendiri dengan komunitas pertemanan yang nyatanya justru rusak karena keegoisan salah satu orang."Aku sudah melewati masa-masa terburuk," bisiknya pada diri sendiri, menguatkan hatinya. Setiap detik yang berlalu, dia merasa
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu."Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir.Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan.“Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Biasany
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang