Angin dingin menerpa sayap kelelawar Burs yang mengepak cepat. Sudah hampir setengah hari ia terbang tanpa henti, menjauhi kelompok Kiran dan tuannya yang baru. Hutan White Parrot yang gelap dan misterius perlahan-lahan mulai menipis, digantikan oleh pepohonan yang lebih jarang dan langit yang lebih terbuka."Akhirnya," gumam Burs, menyeka keringat dari dahinya yang merah. "Tuan Kiran tidak tahu betapa jauhnya Tambang Tartaf itu. Untung aku bukan Imp biasa."Burs memang bukan Imp sembarangan. Di antara kaumnya, ia terkenal memiliki stamina terbang yang luar biasa dan kemampuan mengintai yang tajam. Itulah sebabnya Kazam memilihnya sebagai mata-mata pribadi. Namun sekarang, setelah kematian tuannya yang lama, ia harus melayani tuan baru—seorang penyihir manusia yang menurutnya hebat, mampu memanggil Merak Api Gurun Atulla.Saat matahari mulai condong ke barat, Burs akhirnya mencapai penghujung Hutan White Parrot. Di hadapannya terbentang pemandangan perbukitan berbatu yang gersang—P
Di depan pintu Tambang kuno bernama Tambang Tartaf, di Perbukitan Fatique...Burs, Imp budak Kiran tampak berdiri dan antri di barisan kelompok penyihir, knight dan pedagang.Saat itu, Burs menajamkan telinganya, menyerap setiap informasi yang bisa ia dapatkan. Paradox Colosseum? Juara Bertahan? Ini informasi baru yang mungkin berguna bagi Tuan Kiran.Saking antusiasnya, Burs menabrak sosok di depannya - penyihir tua berwajah tidak simpatik itu."Aduh! Hei... Kamu penyihir berjerawat. Mau apa kamu merapat di punggungku? Kau ini semacam stalker? Ingin mendengar informasi dariku, ha?" Penyihir tua itu memaki Burs. Adapun Knight, kawan bicara penyihir itu, ia sudah menggenggam pedangnya, siap menebas Burs jika diperlukan.Namun karena Burs menunjukkan ekspresi bodoh, dan minta dikasihani... Kedua orang itu tidak mempermasalahkannya lagi."Maafkan aku... Maafkan aku," ucap Burs membungkuk serendah-rendahnya, seperti orang yang berhati lembut. Sikapnya menimbulkan rasa iba penyihir tua ya
Sinar matahari menembus kanopi lebat Hutan White Parrot, menciptakan bercak-bercak cahaya keemasan di tanah hutan yang lembab. Kiran, Emma, Chen, dan Pigenor melanjutkan perjalanan mereka dengan menunggangi Gallileon, bergerak perlahan menuju Perbukitan Fatique di mana Tambang Tartaf berada."Berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya Emma, menyeka keringat dari dahinya."Menurut peta Roric, kita masih butuh waktu tiga hari tiga malam untuk mencapai Tambang Tartaf," jawab Kiran, mengamati peta usang di tangannya. "Kita harus menggunakan jalur darat untuk menghindari deteksi sihir pemerintah Qingchang."Chen mengangguk setuju. "Jalur udara memang lebih cepat, tapi terlalu berisiko. Pemerintah Qingchang memiliki menara pengintai sihir di sepanjang wilayah mereka.""Lagipula," tambah Pigenor, "perjalanan darat memberi kita kesempatan untuk lebih mengenal medan. Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di Tambang Tartaf."Kon, Imp kecil yang kini menjadi pelayan Kiran, terbang rendah di sek
Kiran mengambil gigitan pertama dari ayam bakar dan matanya melebar takjub. "Ini... luar biasa, Kon!" Ekspresi Kiran tampak terkejut."Benar-benar lezat," tambah Chen, yang biasanya hemat dalam memuji. "Bagaimana kau belajar memasak seperti ini?" Chen tak mau kalah. Ia mencomot dan membuktikan kata-kata Kon. Kon tersenyum bangga, sayap kelelawarnya mengepak dengan semangat. "Tuan Kazam dulu sering bepergian ke berbagai negeri. Aku belajar dari koki-koki terbaik di setiap tempat yang kami kunjungi."Bahkan Pigenor, yang hanya menikmati sayuran dan jamur panggang, mengangguk puas. "Bumbu yang kau gunakan sangat seimbang. Tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk menonjolkan rasa asli bahan," katanya mengendus-endus aroma memikat itu.Melihat Pigenor hanya menyantap berry dan buah-buahan..."Ini adalah hidangan spesial yang aku masak untuk Tuan Pigenor," kata Kon. Dia menyajikan sepiring roti berbentuk bulan sabit dengan aroma harum yang menggoda. "Roti khusus dengan isian kismis dan kenari,
Malam terakhir di Hutan White Parrot terasa berbeda. Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma pinus yang tajam dan sesuatu yang lain—sesuatu yang asing dan mengancam. Kiran dan kelompoknya memutuskan untuk berkemah di sebuah cekungan kecil yang terlindung oleh bebatuan besar."Besok siang kita sudah akan tiba di Pegunungan Fatique," kata Kiran sambil menebarkan peta usang itu di atas tanah. "Sebaiknya kita beristirahat dengan baik malam ini."Emma mengangguk setuju. "Perjalanan terakhir biasanya yang paling melelahkan."Mereka mulai menyiapkan perkemahan untuk malam terakhir di hutan. Kiran dan Chen membangun tenda sederhana dari kanvas tebal yang mereka bawa, sementara Pigenor mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Burs dan Kon terbang rendah di sekitar Gallileon dan keledai yang mereka kendarai, memberi makan dan menyikat bulu hewan-hewan itu."Gallileon ini sangat kuat," puji Kon sambil menyikat bulu Gallileon milik Kiran. "Tidak heran mereka menjadi tunggangan utama pasukan
"Sepertinya pencarian kita akan jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan," kata Kiran, matanya menatap antrian panjang dengan ekspresi heran.Namun, akhirnya mereka bergabung dengan antrian yang tampak seperti ular panjang itu. Orang-orang dari berbagai latar belakang berdiri bersama—petarung dengan senjata besar di punggung, penyihir dengan jubah berwarna-warni, pedagang dengan kantong-kantong besar, dan bahkan beberapa bangsawan yang terlihat tidak nyaman berdiri di bawah terik matahari.Satu jam berlalu dengan lambat. Kiran dan kawan-kawannya akhirnya tiba di gerbang Tambang Tartaf, di mana seorang pria kurus tinggi berjubah hitam dengan bordir perak berdiri dengan wajah bosan. Di sampingnya, Golem Batu raksasa mengawasi dengan mata yang berkilau merah."Nama dan tujuan?" tanya pria itu—yang pasti adalah Obeah, penyihir penjaga yang diceritakan Burs."Kiran dan rombongan," jawab Kiran dengan tenang. "Kami ingin mengunjungi Kota Falice."Obeah mengamati mereka satu per satu, matan
Setelah menyetujui harga dan mendapatkan kunci kamar, mereka duduk di meja bar untuk makan malam dan mendengarkan percakapan di sekitar mereka."...katanya hadiah minggu ini mencapai 10.000 koin emas," kata seorang pria bertubuh kekar di meja sebelah."Ya, tapi kau harus mengalahkan Conji dulu," balas temannya. "Dia sudah menjadi juara bertahan selama tiga bulan.""Kudengar Benders dan Ethan juga akan bertarung besok," tambah pria ketiga. "Pertarungan tim tiga lawan tiga.""Bagaimana dengan Itzam? Apa dia masih menjadi wasit?" tanya pria pertama."Tentu saja. Abras mencoba menggantikannya minggu lalu, tapi Rory tidak setuju. Kau tahu sendiri bagaimana pengaruh Rory di Paradox Colosseum."Setelah puas menguping dengan rasa kegembiraan yang melupa-luap... Emma, Chen, dan Pigenor memutuskan untuk mengunjungi toko alkimia setelah makan malam.Mereka tertarik dengan buku-buku sihir dan ramuan yang mungkin berguna untuk perjalanan mereka."Aku akan pergi ke toko yang menjual informasi," kat
Kiran masih terpaku menatap poster Yuta Si Tiada Tanding, mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihat sosok itu sebelumnya."Tuan Kiran?" Burs mengguncang lengan Kiran pelan, menyadarkannya dari lamunan. "Apa kita akan mendaftar sekarang?"Kiran mengerjapkan mata, kembali ke realitas. "Ya, tentu. Mari kita masuk."Mereka melangkah melewati pintu masuk Paradox Colosseum yang megah. Interior arena itu bahkan lebih mengesankan—langit-langit tinggi dengan kubah kristal yang memantulkan cahaya, koridor-koridor luas dengan patung-patung petarung legendaris, dan suara gemuruh penonton yang terdengar dari arena utama."Pendaftaran di mana?" tanya Kon, matanya bergerak liar mengagumi setiap detail arsitektur."Di sana," Kiran menunjuk ke meja panjang di ujung koridor, di mana beberapa orang sedang mengantri.Mereka berjalan mendekat dan bergabung dengan antrian pendek. Tidak butuh waktu lama hingga giliran mereka tiba. Di balik meja, duduk seorang gadis muda berambut merah yang dikepan
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah
Kamar itu memang sederhana—satu tempat tidur berukuran sedang, sebuah meja kecil dengan kursi, dan jendela yang menghadap ke jalan. Namun bagi Kiran yang hampir kehabisan tenaga, kamar itu tampak seperti istana."Beristirahatlah dengan nyaman," kata Rashid sebelum meninggalkan mereka. "Jika butuh sesuatu, saya ada di bawah."Setelah Rashid pergi, Kiran segera duduk bersila di atas tempat tidur, bersiap untuk bermeditasi. Kon mengunci pintu, sementara Burs menyalakan lilin kecil di meja."Aku akan bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual," kata Kiran, matanya sudah setengah terpejam. "Jaga pintu dan jangan biarkan siapapun masuk.""Baik, Tuan," jawab Kon dan Burs bersamaan.Kiran menutup matanya sepenuhnya, mengatur napasnya dalam ritme tertentu. Ia mulai memasuki keadaan meditasi, merasakan aliran reiki di dalam tubuhnya yang lemah mulai bergerak perlahan. Ketenangan mulai menyelimuti pikirannya, menjauhkannya dari kekacauan dunia luar.Namun, baru beberapa menit berlalu, suara
Malam semakin larut di Zahranar. Lampu-lampu sihir berpendar di sepanjang jalan, menciptakan atmosfer magis yang kontras dengan kelelahan yang mendera tubuh Kiran. Setelah pertemuan tak terduga dengan Roneko, Kiran merasakan urgensi yang semakin besar untuk memulihkan kekuatannya, demi membebaskan Roneko di Kyuubi berekor sembilan."Tuan, kita harus segera menemukan tempat beristirahat," kata Burs, menopang tubuh Kiran yang semakin lemah. "Anda perlu bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual."Kiran mengangguk lemah. "Aku tahu. Tapi semua penginapan penuh karena festival.""Kita belum mencoba semua," kata Kon dengan optimisme yang dipaksakan. "Lihat, ada satu lagi di ujung jalan itu," ujarnya memberi harapan.Lalu... mereka bertiga berjalan tertatih-tatih menuju sebuah bangunan dua lantai dengan papan nama "Penginapan Bulan Sabit" yang tergantung di depannya. Bangunan itu tidak terlalu mewah, namun tampak bersih dan terawat, dengan lampu-lampu kecil yang berpendar hangat di je