"Ara, maukah kamu sedikit bersabar? Tolong tetaplah di sini dan bantu kami untuk mengembalikan ingatan suamimu," kata Nina dengan tatapan memohon.Biar bagaimanapun, Nina tetap tidak ingin Ara pergi dari rumah ini.Kata seorang psikolog, suami istri yang tinggal berjauhan merupakan embrio dari sebuah perceraian. Tentu saja Nina tidak ingin anak dan menantunya sampai berpisah hanya karena saat ini anaknya sedang dalam keadaan bingung dan lupa. "Ma ....""Mama mohon, tolong lakukan untuk Mama, sekali ini saja," kata Nina sedikit memaksa, memotong kata-kata Ara.Ara terdiam. Apa yang harus dilakukannya? Satu sisi dia ingin pergi karena takut mendapatkan pengabaian suaminya kembali. Tapi di sisi lain, Ara juga merasa tidak enak untuk menolak permintaan mama mertuanya."Baiklah, Ma. Ara akan mencoba untuk tetap bertahan di sini," kata Ara pada akhirnya, memilih untuk mengabulkan permohonan mama mertuanya."Terimakasih sayang," kata Nina sambil memeluk Ara erat.Wuzini hanya menghela na
Wei berdecak kesal melihat Ara hanya berdiri mematung di depannya dan menahan air mata yang hampir tumpah."Pergi! Jangan menampakan wajah bodohmu lagi di depanku!" kata Wei tanpa perasaan.Air mata yang semula berusaha Ara bendung, mulai menganak sungai di pipinya mendengar kata-kata Wei yang tanpa perasaan."Malah nangis di sini!" kata Wei lagi dengan nada kesal memelototi Ara.Entah mengapa dia merasa tidak nyaman melihat wanita muda yang mengaku sebagai istrinya ini menangis. "Aku pulang," kata Ara serak sambil menghapus air matanya dan berbalik pergi.Wei hanya cemberut dan mengerutkan alisnya melihat Ara yang berbalik dan keluar dari kamarnya.Dia memegang dadanya yang terasa sakit dan berdenyut. "Mengapa dadaku terasa sakit?" gumam wei bingung.Setelah kepergian Ara, Juwita datang. Dia mengetahui Nina dan Wuzini saat ini masih berada di rumahnya dan belum datang ke rumah sakit dari pelayan yang menjadi mata-matanya."Siapa kamu?" tanya pengawal yang berjaga di depan kamar Wei
Bukankah rumah sakit ini milik bosnya? Siapapun dokter ini, dia sama saja seperti dirinya yang merupakan anak buah tuan Wuzini.Tugas mereka berjaga juga sudah disetujui oleh direktur rumah sakit. Apa yang mereka takutkan?"Nona, kalau keluarga pasien menolak, Nona tidak bisa memaksa," kata dokter itu tegas.Ada banyak wanita muda yang memiliki karakter seperti yang ada di hadapannya saat ini. Mereka memaksa masuk sekalipun keluarga pasien tidak berkenan. Kebanyakan dari mereka adalah wanita simpanan pasien.Sang dokter tidak bisa tidak kembali menatap Juwita.'Sayang sekali, wanita secantik ini mau-maunya menjadi simpanan laki-laki kaya. Apakah dia tidak bisa mendapatkan pria lajang yang juga kaya raya?' batin sang dokter menyayangkan."Aku hanya ingin menemui kekasihku ....""Siapa kekasihmu?" tanya Nina yang baru sampai di tempat itu sambil menatap Juwita tajam.Setelah Ara sampai di rumah, Nina dan suaminya bergegas ke rumah sakit untuk berbicara dengan Wei. Siapa sangka baru turu
"Kurang ajar!" sentak Wuzini memelototi Wei dengan wajah yang memerah karena marah.Wei mengerutkan alisnya tidak suka melihat reaksi papanya."Sayang, sudahlah," bujuk Nina sambil menarik siku suaminya agar menjauh dari Wei.Nina tidak ingin suaminya bertengkar dengan anak tunggal mereka.Dia tidak marah menghadapi sikap Wei yang acuh tak acuh. Nina tahu saat ini Wei benar-benar sedang bingung karena hilang ingatan."Tinggalkan aku, aku ingin sendiri," kata Wei datar."Nak ....""Biarkan dia, ayo kita pulang saja, anak ini benar-benar tidak bisa diperbaiki, nanti juga kalau ingatannya pulih dia akan menyesali kelakuannya saat ini. Terutama yang berkaitan dengan istrinya," kata Wuzini mengajak Nina pulang.Tadinya dia berharap bisa berbicara dengan Wei tentang Ara. Tapi sepertinya saat ini anak laki-lakinya benar-benar tidak dapat diajak bicara dengan benar.Sejak kehilangan ingatannya, Wei berubah menjadi orang yang penuh kecurigaan dan acuh tak acuh."Baiklah, Nak, kami pulang dulu,
Arga memegang kedua bahu mamanya untuk menguatkan. Dia tahu Eva pasti sedih mendengar Wei benar-benar telah menikahi wanita lain selain adiknya."Tante, mengapa Wei menikah diam-diam? Kapan mereka akan mengadakan pesta pernikahan?" tanya Arga kepada Nina."Kami masih belum bisa mengadakan pesta pernikahan, Ara dan Wei memutuskan untuk menundanya sampai mereka benar-benar siap," jawab Nina apa adanya."Apakah itu karena Wei masih mengingat putriku?" tanya Eva penuh harapan.Dia tidak meminta banyak. Setidaknya walau Wei menikah dengan wanita lain, Wei tetap mengingat Ara di dalam hatinya."Tentu saja anakku masih mengingat Ara, bagaimana mungkin dia akan melupakannya begitu saja, kecuali dia sedang hilang ingatan seperti sekarang ini," kata Nina meyakinkan.Arga hanya mencibir di dalam hatinya. Mengingat? Mana mungkin Wei masih mengingat adik perempuannya ketika dia sudah memiliki wanita lain di sisinya. Jangankan mengingat, bahkan rasa bersalah kepada Ara pun, Agra yakin Wei sudah tid
Jika ada menantu perempuannya dia bukanlah yang utama di mata istrinya dan akan selalu tersingkir dari sisi istrinya tanpa boleh merasa keberatan.Dia hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.Setelah semuanya keluar ...."Apakah kamu masih ingin pura-pura pingsan?" tanya dokter sambil tersenyum menatap Wei dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku jas medisnya.Wei membuka matanya dan terbatuk-batuk canggung mendengar kata-kata dokter yang merawatnya."Apakah kamu sudah bisa mengingat segalanya?" tanya dokter sambil duduk di tepi tempat tidur Wei."Belum, itu sebabnya aku malas bertemu mereka, terutama pria tua itu yang kerjanya hanya marah-marah terus," kata Wei blak-blakan sambil mengerutkan bibirnya merasa kesal mengingat bagaimana sikap Wuzini kepadanya.Dokter hanya tersenyum geli mendengar kata-kata Wei yang menyebut Wuzini, orang yang paling dihormati di rumah sakit ini sebagai laki-laki tua.Padahal Wuzini masih terbilang tampan dan awet muda, sehingga orang tidak akan per
Ara balas menatap Wei dengan perasaan yang campur aduk."Kesini," kata Wei sambil melambai ke arah Ara.Ara melangkah mendekati Wei, ragu. Apa yang diinginkannya?Wei memegang dan menarik tangan Ara hingga istrinya itu terduduk di tepi tempat tidurnya."Jika apa yang mamaku katakan itu benar, aku pasti telah menyakitimu dengan kata-kataku selama ini," kata Wei sambil menghela napas panjang menatap wanita yang katanya adalah istri sahnya ini.Nina dan Wuzini saling pandang, mereka sepakat untuk keluar dari ruangan itu dan memberikan ruang bagi Wei dan Ara untuk berbicara.Ara hanya menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Walau dia tahu Wei saat ini sedang hilang ingatan dan tidak sadar siapa dirinya, tapi memang benar, setiap kata-kata Wei selama ini telah melukai hatinya, bahkan dia hampir pergi meninggalkannya karena merasa tidak kuat."Maukah kamu memaafkan aku," tanya Wei tulus."Maukah kamu tidak mengulanginya lagi, Wei?" tanya Ara dengan mata berkaca-kaca."Aku
"Menarik, bisakah kamu membawanya ketika kamu ke sini lagi?" tanya Wei sambil tersenyum menatap Ara.Entah mengapa Wei mulai merasa nyaman berada di dekat wanita muda yang kata kedua orang tuanya adalah istrinya sendiri ini."Tentu," sahut Ara antusias.Keduanya bertukar senyum.Wei diam-diam mengagumi wajah cantik Ara. Tidak seperti Juwita yang wajahnya dipenuhi polesan makeup, sepertinya istrinya ini bukan wanita yang suka dandan.Tapi Wei justru lebih suka wanita yang bersih seperti Ara karena Wei pikir wajah Ara jauh terlihat lebih murni dan segar dari pada Juwita."Ehm ... apakah kalian sudah selesai bicara?" tanya Nina dan Wuzini yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan."Istrimu belum makan, biarkan dia makan siang dulu," kata Wuzini kepada Wei."Makanlah," kata Wei sambil menepuk punggung tangan Ara pelan.***Hari-hari berikutnya Ara rajin menemani Wei di rumah sakit dan membawa barang-barang yang Ara pikir bisa mengembalikan ingatan Wei.Dengan sabar Ara dan kedua orang tua Wei
Reza dan Eva diam tidak berkutik. Memang benar awalnya mereka mengira Wei tidak bisa masak dan khawatir Ara akan keracunan makanan. Mana mereka tahu kalau Wei ternyata pandai memasak makanan selezat itu.Beberapa waktu telah terlewati, berat badan Ara mulai meningkat setelah mendapatkan perawatan dari Wei. Eva dan Reza kini benar-benar bisa menarik napas lega.Wajah Ara pun lebih bersinar penuh kebahagiaan ketika usia kandungannya semakin bertambah. Dia dan Wei sudah bisa merasakan pukulan dan tendangan sang bayi di dalam kandungannya melalui permukaan perut ketika sedang diusap atau di pegang.Hubungannya dengan Paul dan Hanna pun tetap berjalan seperti biasa walaupun Hanna akhirnya mengetahui kalau dirinya bukanlah Lanara yang asli."Bagaimana kabarmu dan anak di dalam kandunganmu?" tanya Hanna penuh perhatian ketika dia menelepon Ara."Aku baik Ma, anak di dalam kandunganku juga baik," jawab Ara sambil tersenyum bahagia mendapat perhatian dari semua orang yang di kasihnya."Mama
Wei benar-benar tidak menyangka kalau Ara akan berkata seperti itu. Tadinya dia berpikir hanya dirinya saja yang akan merasa kehilangan dan bersedih atas perpisahan ini, ternyata istrinya juga mengalami hal yang sama."Percaya tidak? kali ini Papamu tidak akan mengusir aku," kata Wei sambil tersenyum menatap ara penuh kasih."Benarkah?" tanya Ara tidak percaya."Yakin!""Apakah Papa membatalkan syarat itu?""Sepertinya begitu, semua ini karena calon anak kita," kata Wei sambil mengusap punggung bawah Ara pelan."Apakah kamu benar-benar akan dibiarkan tinggal disini bersamaku?" tanya Ara was-was.Dia benar-benar tidak yakin kalau papanya akan berubah pikiran. Setahu Ara papanya adalah orang yang konsisten dan tidak akan pernah berubah pikiran jika sudah memutuskan tentang suatu hal. Bisakah kali ini papanya membuat pengecualian karena calon cucunya yang belum lahir?"Aku akan menemanimu tinggal di sini dan memasak. Bukankah kamu ingin masakan yang aku masak?" tanya Wei sambil mencubit
Kekhawatiran Eva pun menjadi kenyataan. Ara benar-benar tidak bernafsu untuk makan apapun, dia hanya memakan manisan buah tanpa dibarengi dengan nasi dan lauk-pauk. Ini mengakibatkan tubuh ara yang sudah ramping menjadi semakin kurus."Pa, apakah tidak sebaiknya kita biarkan saja Wei datang ke sini dan memasak untuk adikku?" tanya Arga sambil mengerutkan kening ketika melihat Ara dari kejauhan.Tubuh adiknya itu dari hari kehari menjadi semakin kurus. Ini benar-benar membuat Arga menjadi prihatin dan khawatir."Iya Pa, Sudahlah demi kebaikan anak dan cucu kita, sebaiknya kita mengalah saja. Batalkan syarat satu tahun tidak bertemu itu. Mama khawatir terjadi apa-apa sama Ara," kata Eva dengan mata berkaca-kaca menatap wajah suaminya.Reza menatap istri dan anak laki-lakinya dengan tatapan tidak berdaya. Dia juga sebenarnya sudah ada pikiran ke arah sana. Reza bisa melihat perkembangan kondisi Ara yang dari hari ke hari semakin lemah karena tidak mau makan. "Baiklah. Arga, kamu jemput
"Aku ikut!" kata Arga tiba-tiba."Tidak!" sahut Eva dan Reza bersamaan."Mengapa tidak?" tanya Arga bingung."Kamu tidak lihat? Ara muntah-muntah hebat setelah melihatmu, apakah kamu ingin adikmu itu muntah terus gara-gara melihatmu?" tanya Eva sambil melotot ke arah Arga."Kamu harus menghindar dari adikmu selama tiga bulan kehamilan awal agar dia tidak terlalu tersiksa karena terus mengeluarkan makanan yang ada di perutnya."" ... " Arga tidak dapat berkata-kata mendengar apa yang orang tuanya katakan.Dia mentap kedua orang tuanya dengan tatapan menyalahkan. Bukankah semua ini karena ulah kedua orang tuanya yang ingin memisahkan adiknya dari Wei? Mengapa sekarang dia yang harus menanggung akibatnya?Dibenci tidak hanya oleh Ara tapi juga oleh calon keponakannya yang belum lahir.Di kantor, Wei tampak menatap ke luar jendela sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.Ini baru sebulan, tapi rasanya seperti se abad. Wei tidak henti berdoa agar istrinya benar-benar hamil. Ha
Wuzini terdiam, setahun memang bukan waktu yang lama untuk sebuah restu, tapi masalahnya apakah keduanya tidak akan terpikat pada orang lain selama waktu yang ditentukan itu?"Mereka meminta aku dan Ara berpisah selama setahun. JIka selama setahun itu perasaan kami tidak berubah, barulah mereka akan kembali merestui hubungan kami.""Apakah kamu yakin kalau kamu dan istrimu akan bisa menjaga kesetiaan masing-masing selama satu tahun itu?" tanya Wuzini tidak yakin."Yakin."Wuzini hanya menghela napas panjang melihat tekad anak laki-lakinya untuk mendapatkan restu dari keluarga istrinya kembali. Dia hanya menepuk bahu Wei sebelum mengajak anaknya itu masuk ke dalam kantor untuk membahas masalah pekerjaan.Ara dan Arga masuk ke dalam rumah tanpa banyak bicara. Ara masih marah karena kakaknya mengajukan syarat yang begitu sulit untuknya dan Wei. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar, bagaimana kalau suaminya itu malah jatuh cinta pada wanita lain dan benar-benar menceraikannya?Arga me
Arga menyerbu masuk ke dalam kantor Wei tanpa basa basi. Dia langsung menuju Wei dan ingin menghajarnya namun, di halangi oleh Ara."Minggir!" kata Arga sambil mendelik marah ke arah adiknya."Tidak, kakak tidak boleh memukulnya!" Kata Ara keras kepala menatap kakaknya yang sedang marah."Kamu tidak tahu malu berlindung pada perempuan!" kata Arga sambil menunjuk Wei yang ada di belakang Ara." ... " Wei tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab kata-kata Arga. Bukannya dia tidak mau berhadapan dengan kakak iparnya, tapi Ara sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk maju. Wei takut jika dia memaksa maju maka Ara akan marah kepadanya.Baginya lebih baik membiarkan Arga marah dari pada Ara yang marah kepadanya."Dia suamiku, tidak ada salahnya aku melindunginya!" kata Ara seperti induk ayam yang menjaga anak-anaknya."Tapi aku kakakmu!""Tapi kamu mau menyakiti suamiku!""Itu karena kamu!""Tidak, itu bukan karena aku, tapi karena keegoisanmu sendiri ... kamu tahu betul bagaimana
"Kita baru berpisah tadi malam," kata Ara tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa mendengar kata-kata Wei."Tapi buatku itu seperti sudah lama sekali," kata Wei mengerucutkan bibirnya sedih.Kebiasaan itu benar-benar buruk. Dia telah terbiasa tidur dengan istrinya, hingga ketika Ara pergi, Wei benar-benar tidak bisa tidur sampai pagi. Anehnya sampai detik ini juga matanya benar-benar cerah dan sama sekali tidak mengantuk. "Matamu ada lingkaran hitamnya, apakah tadi malam kamu tidak tidur nyenyak?" tanya Ara sambil melihat ke arah mata Wei."Aku tidak bisa tidur tanpamu," jawab Wei lebih seperti keluhan."Bagaimana kalau kamu istirahat sekarang?""Apakah kamu akan menemani aku?""Ya.""Oke," kata Wei sambil membopong tubuh istrinya masuk ke dalam kamar tempatnya biasa tidur jika bekerja lembur di kantor.Setelah membaringkan Ara, Wei juga naik ke atas kasur dan membaringkan dirinya di sebelah Ara."Mengapa kamu masih belum tidur?" tanya Ara setelah beberapa waktu berlalu Wei mas
Pagi yang cerah. Namun, suasana di perusahaan milik Wei malah terlihat suram. Semua karyawan dan staf di perusahaan itu tampak tertekan karena suasana hati sang bos sepertinya sedang tidak baik-baik saja.Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun. Bahkan salah tanda koma dalam berkas yang akan di tanda tangani oleh Wei pun bisa membuatnya ngamuk. Joy hanya meringis ketika para staf mengeluh dan menanyakan ada apa sebenarnya dengan bos mereka. Tidak biasanya Wei bersikap seperti saat ini. Mereka benar-benar merasa tersiksa dan tertekan menghadapi sikap Wei yang tidak seperti biasanya itu."Mungkinkah Bos kita itu salah makan?" tanya salah satu staf kepada Joy."Jangan menduga yang aneh-aneh! Kerjakan saja tugas kalian dengan baik agar tidak dimarahi lagi," kata Joy sambil berlalu dari hadapan semua staf yang menemuinya.Joy sendiri tidak berani menanyakan langsung kepada Wei, apa yang menjadi masalah sebenarnya hingga dia menunjukkan sikap seperti itu."Mungkin nyonya Ara tahu apa yang s
"Ehm ... tidakkah sebaiknya kita tanyakan saja kepada Ara, apakah dia ingin pulang mengikuti kalian atau tetap di sini?" Wuzini yang sejak awal bersikap pasif mulai mengeluarkan suaranya.Semua tatapan mata langsung tertuju kepada Ara. "Kamu harus ikut kami pulang. Papa menunggumu di rumah, dia sedang tidak sehat," kata Arga dengan nada tidak ingin di tolak."Kamu memaksanya," geram Wei."Kamu benar, aku memaksanya!""Kamu ... kamu ...."Wei merasa seperti tercekik dan tidak bisa berkata-kata ketika mendengar pengakuan Arga yang blak-blakan."Papa sakit apa, Kak?" tanya Ara mulai merasa cemas."Kamu akan tahu jika kamu pulang," jawab Arga datar.Dia tidak ingin memberitahukan kepada Ara kalau papanya hanya terserang flu biasa. Jika Ara tahu tentu saja adiknya ini tidak akan mau pulang ke rumah mereka saat ini juga. Adapun mengapa papanya tidak mau ikut adalah karena papanya sudah terlalu kesal dengan Wei dan keluarganya.Sejak berita kematian putrinya, Reza memang selalu menghindar