Tuan Anggara berdiri di depan jendela besar di kantornya, wajahnya memerah karena amarah yang memuncak. Tangannya mengepal erat di belakang punggungnya, nyaris gemetar karena menahan emosi. Kabar mengenai kecelakaan putrinya baru saja sampai, dan itu lebih dari sekedar kecelakaan. Dia tahu betul, ini bukan kebetulan.
"Cari tahu siapa yang berani bermain-main dengan keluargaku!" suaranya menggema di ruangan, penuh kekuatan dan ancaman. Matanya menyipit, tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya.Seorang pria berpakaian hitam, salah satu orang kepercayaan Tuan Anggara, berdiri tegak di sisi ruangan. "Kami akan segera menyelidiki, Tuan. Siapa pun yang terlibat akan membayar mahal untuk ini.""Pastikan mereka tahu akibatnya," jawab Tuan Anggara dengan dingin, memutar badannya menghadap anak buahnya. "Jika ada yang menyentuh putriku... aku akan menghancurkan mereka, satu per satu."Suasana di ruangan terasa mencekam, dan pria itu hanya mengangguk tegas sebelum pergRio bergegas memasuki rumah sakit dengan langkah cepat, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Setelah peristiwa kecelakaan yang mengguncang, dia ingin memastikan Alyn baik-baik saja. Namun, saat ia sampai di depan ruangan yang semestinya Alyn dirawat, matanya membelalak.Ruangan itu kosong.Kepanikan melanda. "Alyn!" serunya, berharap mendengar suara lembutnya menjawab.Dia melangkah maju, memeriksa tanda nama di pintu. Tidak ada kesan bahwa Alyn baru saja dirawat di sana. Rio berbalik dan melangkah cepat menuju meja resepsionis."Permisi, di mana pasien bernama Alyn Anggara?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.Petugas resepsionis memandangnya dengan ragu. "Maaf, tapi kami tidak bisa memberikan informasi tentang pasien.""Kami tidak punya waktu untuk ini!" Rio membentak, frustrasi meluap. "Dia dalam bahaya! Tolong, saya butuh informasi sekarang juga!"Petugas tersebut tampak terkejut, tetapi sebelum dia bisa menjawab, seorang perawat datang mendekat. "Apakah A
Jinu mengetuk pintu ruangan Ericka dengan tegas sebelum masuk, tatapan dinginnya tak menyisakan keraguan."Semua sudah beres, Nona," ucapnya dengan nada datar, penuh kepastian.Ericka duduk anggun di kursi kulit hitamnya, jemarinya yang lentik mengetuk-ngetuk meja. Senyuman tipis menghiasi wajahnya, namun mata tajamnya bersinar penuh kemenangan."Bagus," jawabnya, suaranya rendah tapi menusuk. "Alyn tidak akan lagi jadi duri di antara rencana ini. Segalanya mulai berjalan sesuai rencana."Jinu tetap berdiri di tempatnya, wajahnya tak menunjukkan emosi, meski ada sedikit ketegangan di garis rahangnya. "Tapi ada masalah lain, Nona. Rio... Dia sepertinya mulai mencurigai sesuatu. Dia terus mencari Alyn dan sudah mencoba menghubungi Bryan."Ericka hanya mendengus, sedikit mengangkat dagu, seolah kabar itu hanyalah gangguan kecil yang bisa diabaikan."Rio? Dia tak lebih dari anak manja yang tidak paham dunia ini. Biarkan saja dia berkutat dalam kebodohannya. Fokus
"Nona, kita tidak bisa melakukannya di sini!" Jinu berkata dengan nada tegas, menarik diri dari ciuman itu. Tubuhnya masih terasa panas, tetapi pikirannya berusaha tetap dingin.Ericka menatapnya, matanya menyala dengan amarah yang tak terucap. "Kau sudah berani menolakku?" suaranya berbisik namun tajam, setiap kata seolah memotong udara di antara mereka.Jinu menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan dirinya. "Ini bukan soal menolak, Nona. Kita sedang berada di kantor, siapa saja bisa masuk."Ericka mendekat lagi, jaraknya begitu dekat hingga Jinu bisa mencium aroma parfum mahalnya yang menusuk."Sejak kapan kau peduli soal risiko? Atau jangan-jangan, kau mulai berpikir kau lebih penting dari apa yang sudah kita jalani selama ini?" Dia mengangkat alisnya, seolah menantang Jinu untuk membantah.Jinu menahan napas. Dia tahu bahwa bermain dengan api seperti ini berbahaya, tapi Ericka selalu punya cara untuk membuatnya kembali terjebak. "Aku tidak peduli soal pentin
"Panggil polisi!" perintahnya sambil menatap pintu, nadanya tegas dan tak terbantahkan.Ericka, yang masih berusaha menjaga topeng kepalsuannya, merasa jantungnya berdetak semakin cepat. Rasa takut mulai merayapi dirinya. Ini bukan bagian dari rencana. Dia tidak pernah bermaksud melibatkan pihak berwenang. Jika polisi datang, dia harus menyusun cerita yang lebih solid, dan risiko semuanya terbongkar akan jauh lebih besar."Sayang..." Ericka memegang lengan Felix, suaranya terdengar sedikit gemetar meski berusaha tampak tenang. "Itu, itu tidak perlu. Aku baik-baik saja sekarang, sungguh." Dia berusaha terdengar meyakinkan, namun kegelisahan jelas tergambar di wajahnya.Felix menatapnya, masih dengan raut serius. "Kau bilang dia mencoba melecehkanmu. Polisi harus tahu. Dia harus dihukum."Ericka menggelengkan kepala, memaksakan senyum lemah. "Tidak, Felix. Aku tidak ingin membuatnya lebih rumit. Kita bisa menangani ini sendiri. Aku hanya ingin melupakan semuanya."
Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan Alyn, namun kabarnya tetap menghilang, seolah ia lenyap begitu saja dari dunia. Rio terus mencari, meski rasa frustrasi semakin menggerogoti pikirannya. Setiap malam, pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan penyesalan.Di kantornya, Rio mencoba fokus, tetapi pikirannya tak pernah jauh dari Alyn. Pertanyaan terus berputar di kepalanya. Di mana Alyn sekarang? Siapa yang membawanya pergi? Apakah ia baik-baik saja?Dalam heningnya ruangan, ponsel Rio bergetar. Dia segera melihat layar, berharap ada kabar tentang Alyn, namun ternyata hanya sebuah pesan singkat dari Felix."Fokus pada pekerjaanmu, Rio. Peluncuran produk tidak bisa ditunda lagi."Hari itu, suasana di ruang rapat Wijaya Group terasa semakin tegang. Semua eksekutif sudah duduk di tempatnya, namun suasana hening. Mereka menunggu perwakilan dari Anggara Group yang hingga saat ini belum juga muncul. Biasanya, orang-orang dari Anggara Group selalu tepat waktu, tapi kali
Bu Chintya masih berdiri mematung, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Dia tertawa, masih menyepelekan Alyn."Omong kosong! Beraninya kau mengaku sebagai pewaris Anggara Group!" suaranya bergetar, mencoba menutupi kebingungan di balik kemarahannya.Alyn hanya tersenyum tipis, penuh arti. Dia mengalihkan tatapannya ke arah Ericka yang kini tampak tegang di kursinya. Sorot mata Alyn begitu tajam, seolah bisa melihat jauh ke dalam ketakutan yang Ericka coba sembunyikan."Saya rasa, menantu Anda cukup tahu siapa saya sebenarnya," ujar Alyn dengan nada yang dingin namun pasti, matanya tak pernah lepas dari Ericka.Ericka merasakan setiap pasang mata di ruangan itu tertuju padanya. Dengan cepat, dia menegakkan tubuhnya, berusaha tampil tenang meski ada kecemasan yang menggerogoti pikirannya. Dia menarik napas dalam, lalu memandang Alyn dengan tatapan yang mencoba menantangnya."Apa maksudmu, Alyn? Apa kau punya bukti bahwa kau adalah putri Tuan Anggara?" tanyanya, suarany
Alyn menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat semua yang terjadi. Ada banyak kenangan yang datang silih berganti, namun saat ini, dia hanya merasa hampa."Tunanganku? Kau bercanda?"Senyum kecil mengembang di wajah Alyn, meski hatinya masih terasa berat.Rio merasakan ketidakpastian dalam suara Alyn, namun dia berusaha untuk tetap optimis. Dia tahu, pertunangan mereka selama ini tidak nyata, namun cinta di antara mereka benar-benar nyata. "Alyn, ini aku... Apa kamu melupakanku?"Alyn mengalihkan pandangannya sejenak, mengumpulkan pikiran dan perasaannya. "Aku hanya... merasa tidak asing denganmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"Sebelum Rio menjelaskan lebih jauh, Bryan segera meraih tangan Alyn dengan tegas. "Alyn, kita harus pergi," ujarnya dengan nada mendesak, menatap Alyn dengan penuh kekhawatiran.Alyn terkejut oleh tindakan Bryan, tapi melihat ekspresi serius di wajahnya membuatnya mengangguk pelan. "Apa ada yang salah, Bryan?"Rio mer
Felix akhirnya angkat bicara, suaranya tegas namun terdengar sedikit gemetar, menahan emosi yang sudah di ambang batas."Ibu, berhenti," katanya, berdiri dan menatap Bu Chintya. "Ericka adalah istriku. Aku harap ibu bisa menghargainya."Ruangan seketika hening. Bu Chintya menatap Felix dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. "Kau membela dia? Setelah semua yang terjadi?"Felix menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu semuanya tidak berjalan sesuai rencana, tapi Ericka tetap istriku. Apa pun yang terjadi, kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan dia. Setidaknya tunjukkan sedikit rasa hormat."Bu Chintya mendengus pelan, matanya berkilat penuh amarah dan kekecewaan. "Hormat? Hormat untuk apa? Wanita ini hanya membawa kehancuran bagi keluarga kita."Felix menunduk sebentar, berusaha menenangkan dirinya. "Aku paham ibu marah, tapi ini masalah keluarga kita. Dan aku minta, ibu untuk berhenti memperkeruh situasi."Ericka, yang sedari tadi terdiam, kini menatap Felix de
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny