Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan Alyn, namun kabarnya tetap menghilang, seolah ia lenyap begitu saja dari dunia. Rio terus mencari, meski rasa frustrasi semakin menggerogoti pikirannya. Setiap malam, pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan penyesalan.
Di kantornya, Rio mencoba fokus, tetapi pikirannya tak pernah jauh dari Alyn. Pertanyaan terus berputar di kepalanya. Di mana Alyn sekarang? Siapa yang membawanya pergi? Apakah ia baik-baik saja?Dalam heningnya ruangan, ponsel Rio bergetar. Dia segera melihat layar, berharap ada kabar tentang Alyn, namun ternyata hanya sebuah pesan singkat dari Felix."Fokus pada pekerjaanmu, Rio. Peluncuran produk tidak bisa ditunda lagi."Hari itu, suasana di ruang rapat Wijaya Group terasa semakin tegang. Semua eksekutif sudah duduk di tempatnya, namun suasana hening. Mereka menunggu perwakilan dari Anggara Group yang hingga saat ini belum juga muncul. Biasanya, orang-orang dari Anggara Group selalu tepat waktu, tapi kaliBu Chintya masih berdiri mematung, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Dia tertawa, masih menyepelekan Alyn."Omong kosong! Beraninya kau mengaku sebagai pewaris Anggara Group!" suaranya bergetar, mencoba menutupi kebingungan di balik kemarahannya.Alyn hanya tersenyum tipis, penuh arti. Dia mengalihkan tatapannya ke arah Ericka yang kini tampak tegang di kursinya. Sorot mata Alyn begitu tajam, seolah bisa melihat jauh ke dalam ketakutan yang Ericka coba sembunyikan."Saya rasa, menantu Anda cukup tahu siapa saya sebenarnya," ujar Alyn dengan nada yang dingin namun pasti, matanya tak pernah lepas dari Ericka.Ericka merasakan setiap pasang mata di ruangan itu tertuju padanya. Dengan cepat, dia menegakkan tubuhnya, berusaha tampil tenang meski ada kecemasan yang menggerogoti pikirannya. Dia menarik napas dalam, lalu memandang Alyn dengan tatapan yang mencoba menantangnya."Apa maksudmu, Alyn? Apa kau punya bukti bahwa kau adalah putri Tuan Anggara?" tanyanya, suarany
Alyn menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat semua yang terjadi. Ada banyak kenangan yang datang silih berganti, namun saat ini, dia hanya merasa hampa."Tunanganku? Kau bercanda?"Senyum kecil mengembang di wajah Alyn, meski hatinya masih terasa berat.Rio merasakan ketidakpastian dalam suara Alyn, namun dia berusaha untuk tetap optimis. Dia tahu, pertunangan mereka selama ini tidak nyata, namun cinta di antara mereka benar-benar nyata. "Alyn, ini aku... Apa kamu melupakanku?"Alyn mengalihkan pandangannya sejenak, mengumpulkan pikiran dan perasaannya. "Aku hanya... merasa tidak asing denganmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"Sebelum Rio menjelaskan lebih jauh, Bryan segera meraih tangan Alyn dengan tegas. "Alyn, kita harus pergi," ujarnya dengan nada mendesak, menatap Alyn dengan penuh kekhawatiran.Alyn terkejut oleh tindakan Bryan, tapi melihat ekspresi serius di wajahnya membuatnya mengangguk pelan. "Apa ada yang salah, Bryan?"Rio mer
Felix akhirnya angkat bicara, suaranya tegas namun terdengar sedikit gemetar, menahan emosi yang sudah di ambang batas."Ibu, berhenti," katanya, berdiri dan menatap Bu Chintya. "Ericka adalah istriku. Aku harap ibu bisa menghargainya."Ruangan seketika hening. Bu Chintya menatap Felix dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. "Kau membela dia? Setelah semua yang terjadi?"Felix menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu semuanya tidak berjalan sesuai rencana, tapi Ericka tetap istriku. Apa pun yang terjadi, kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan dia. Setidaknya tunjukkan sedikit rasa hormat."Bu Chintya mendengus pelan, matanya berkilat penuh amarah dan kekecewaan. "Hormat? Hormat untuk apa? Wanita ini hanya membawa kehancuran bagi keluarga kita."Felix menunduk sebentar, berusaha menenangkan dirinya. "Aku paham ibu marah, tapi ini masalah keluarga kita. Dan aku minta, ibu untuk berhenti memperkeruh situasi."Ericka, yang sedari tadi terdiam, kini menatap Felix de
Setelah masuk ke dalam mobil Bryan, Alyn mendesah lega sejenak, merasakan ketegangan perlahan mereda. Namun, tiba-tiba dia merasakan ada yang hilang. Tangannya meraba tasnya, matanya terbelalak ketika menyadari sesuatu."Bryan, tunggu... ponselku!" ucap Alyn panik. "Aku meninggalkannya di ruang meeting."Bryan menatapnya sejenak lewat kaca spion, mencoba menenangkan situasi. "Aku akan mengurusnya. Jangan khawatir, kita akan menemukan cara untuk mengambilnya tanpa menimbulkan masalah lebih besar.""Tidak perlu, Bryan. Aku akan mengambilnya sendiri, percayalah," kata Alyn dengan suara tegas, meski jantungnya berdebar kencang.Bryan menatapnya penuh keraguan melalui kaca spion, alisnya berkerut. "Alyn, kau tidak bisa begitu saja kembali. Mereka pasti akan mencurigai gerak-gerikmu, terutama setelah semua yang terjadi."Alyn menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Aku tahu ini berisiko, tapi ponsel itu terlalu penting. Aku tak bisa
Alyn duduk di tepi ranjang, matanya menatap jendela kamarnya yang terbuka. Angin malam yang masuk seharusnya membawa ketenangan, tapi hatinya terasa semakin kacau.Pikirannya tak henti-henti memutar kembali kejadian di kantor Wijaya Group, suara teriakan Rio, tatapan Bryan yang penuh ketegangan, dan bagaimana dia berusaha menjauhkan dirinya dari keluarga Wijaya."Bryan... Sikapnya hari ini benar-benar berbeda, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dia tidak biasanya sewaspada itu, seolah-olah ada ancaman besar yang mendekat, ancaman yang hanya dia tahu." Alyn menggigit bibirnya, merasa semakin terjebak dalam kebingungan.Mengapa Bryan begitu keras berusaha menjauhkannya dari keluarga Wijaya, terlebih Rio? Ada apa sebenarnya?Ponselnya bergetar pelan di sampingnya, tapi Alyn tak segera meraihnya. Pikirannya masih berlarian, mencoba menghubungkan segala sesuatu yang terasa tak masuk akal. Apakah semuanya terkait dengan masa lalunya? Dengan kecelakaan itu? Ataukah a
"Iya, Alyn. Ibu di sini," kata ibunya dengan suara lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya. "Kau tidak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi. Mereka semakin berbahaya.""Kenapa ibu di sini? Kenapa ibu tidak memberitahuku sebelumnya?" Alyn menatap ibunya, berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berputar dipikirannya."Ibu tidak punya pilihan. Ayahmu telah memantau setiap gerakanmu. Ibu tidak bisa membiarkan mereka memisahkan kita lagi," ibunya menjelaskan, wajahnya penuh keprihatinan.Alyn merasakan jantungnya berdegup kencang. "Apa yang terjadi? Kenapa mereka ingin menjaukan kita?""Ibu akan menjelaskan semuanya, tapi kita harus cepat. Ini bukan tempat yang aman," kata ibunya sambil melirik ke arah pintu masuk kafe, waspada akan kehadiran orang-orang yang mungkin mencarinya."Ayo, kita pergi," Alyn mengangguk, mengikuti langkah ibunya dengan hati berdebar, berharap mendapatkan jawaban yang telah lama ia cari.Alyn duduk diam di dalam mobil,
Alyn menatap keluar jendela, di dalam lubuk hatinya masih ada sisa keraguan yang sulit ia abaikan. Pikirannya melayang, memikirkan apa yang telah ia lalui, dan rencana balas dendam yang kini semakin jelas terbentuk.Namun, di balik itu, ada satu nama yang selalu membuatnya terhenti—Rio. Ia berbeda dari Felix dan ayahnya, dan hal itu membuat Alyn bimbang. Bagaimanapun, Rio tidak pantas menjadi korban dari rencana yang Alyn susun.Ibunya duduk di seberang ruangan, mengamati putrinya yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan. Alyn kemudian berbalik, menatap ibunya, meski masih ada kebingungan yang samar di matanya."Bu, aku memang ingin membalas perlakuan Felix dan keluarganya," Alyn memulai, suaranya mantap namun sedikit tertahan. "Tapi tidak Rio. Aku tidak ingin dia terseret dalam dendam ini. Dia berbeda dari Felix dan ayahnya. Apa yang mereka duduki selama ini... semuanya sebenarnya adalah milik Rio."Ibunya t
Peluncuran produk baru dari Wijaya Group akhirnya berjalan sukses besar. Di layar televisi kantor, berita-berita tentang produk tersebut terus bergulir, menampilkan laporan positif dari pasar.Semua orang di kantor pusat terlihat lebih ringan, senyuman menghiasi wajah mereka, dan bahkan langkah kaki mereka terasa lebih cepat. Felix, yang biasanya serius dan tegang, berdiri di depan timnya, memberikan arahan dengan senyum yang jarang terlihat.Di ruang rapat utama, Felix memimpin diskusi mengenai keberhasilan produk itu.“Bagus sekali,” katanya, suaranya mengisi ruangan. “Kerja keras kalian terbayar. Aku yakin ini baru permulaan. Dengan hasil ini, kita bisa memperluas jangkauan produk ke pasar internasional lebih cepat dari yang kita rencanakan.”Salah satu manajer pemasaran menyambut antusias. “Kami sudah menyiapkan rencana ekspansi ke Asia Tenggara dan Eropa, Pak Felix. Tim pemasaran sudah menyusun proposalnya.”Felix mengangguk, merasa lebih puas dari biasanya.
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny