Hari itu, Bella merasa terhimpit dengan pertanyaan yang tidak bisa dia jawab. Bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Benny tentang kejadian-kejadian yang telah dilaluinya? Bagaimana cara mengatakan padanya bahwa ia tidak pernah pulang, dan alasannya mereka tidak pernah bisa dihubungi selama bertahun-tahun.Namun, sebelum Bella bisa berkata apa-apa, Benny dengan cepat menyela, "Ah, sudah lah. Nggak perlu diungkit lagi. Pasti ada alasan kuat kenapa kakak nggak bisa pulang. Yang penting sekarang kakak masih hidup dan sehat, itu sudah lebih dari cukup!"Benny kemudian membawa Bella ke rumah baru yang Tracy beli di suatu kawasan elit. Bella hanya bisa mengerutkan kening saat melihat betapa mewah dan lengkapnya rumah tersebut. "Mama sekarang di mana?" tanyanya penasaran. "Kok bisa Mama mendadak kaya dan memiliki rumah semewah ini? Dia ...?"Bella menduga bahwa Tracy mungkin telah bertemu dengan seorang pria kaya raya, yang membuatnya bisa hidup dalam kemewahan. Tapi kenyataannya lain. "Mama
Bella bertanya, "Bukannya Mama yang kasih tahu Abby tentang rencanaku untuk pergi, bantu dia untuk membunuhku?""Gimana mungkin dia kasih Mama begitu banyak uang kalau bukan karena itu?"Tracy diam. Dia sama sekali tidak bisa menjelaskan mengapa Abby memberinya begitu banyak uang. Dia juga tidak ingin menjelaskan!Karena, dibandingkan dengan membuka kebenaran terbesar yang Tracy sembunyikan, lebih baik Bella mengira bahwa semua yang dia lakukan hanyalah demi uang."Terserah apa yang kamu pikir!"Tracy tak peduli, tapi dengan tegas berkata, "Apa yang nggak pernah aku lakukan, ya itu memang nggak pernah aku lakukan!"Hati Bella membeku. Dia merasa seperti berada di dalam gua es dan tubuhnya terendam dalam air es. Begitu dingin hingga tubuhnya menggigil, hatinya seolah-olah juga membeku."Mama menjualku sekali, mencoba membunuhku sekali.""Aku ini anak yang Mama lahirkan, yang Mama besarkan dari kecil, ‘kan?""Tapi sejak aku masih sangat kecil, Mama nggak pernah kayak ibu dari teman-teman
Tracy dengan panik mendekati Abby, "Non, nggak apa-apa? Luka, nggak?""Tenang saja, aku nggak apa-apa," jawab Abby.Dengan tatapan yang intens, Abby berkata kepada Tracy, "Bantu aku! Wanita itu harus kita habisi!"Tracy terdiam, suaranya pelan, "Jangan, lah. Ini rumahku. Kalau dia mati di sini dan ketahuan polisi, kita berabe ....""Takut apa, sih?" potong Abby dengan mata yang bersinar tajam, "Dia nggak boleh hidup melewati hari ini!"Dengan mata yang terbakar kemarahan, Abby bangkit dan sekali lagi meraih pisau buahnya, berlari ke arah Bella.Pada saat itu juga, Benny menyadari ada kegaduhan dari luar. Ia bergegas membuka pintu dan terkejut melihat Abby bersenjatakan pisau hendak menyerang Bella."Berhenti! Jangan sakiti Kakak!" Benny berteriak sambil melindungi Bella.Tracy berteriak panik, "Non, berhenti! Jangan sampai Benny terluka!"Abby menatap Benny, "Minggir!"Namun, Benny tetap teguh di tempatnya.Dia bersikeras tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kakaknya.Dalam ketega
Matanya menatap Abby dengan ejekan, "Kalau memang begitu, kenapa kamu kelihatan ketakutan akan kemungkinan aku muncul lagi di hadapan lelaki itu?""Bahkan empat tahun lalu Alex sudah jelas-jelas bilang betapa dia merasa muak saat lihat kamu, loh. Kayaknya nggak mungkin dia akan menjadikan kamu istrinya!"Sudut bibir Bella membentuk sebuah senyum sinis. Ia memandang Abby dan berkata, "Jadi, apa dia sekarang sudah jadi suamimu? Hanya karena kejadian malam itu ketika dia mabuk dan menidurimu, apa itu membuat Alex jadi menikahimu?"Rasa marah terpancar dari wajah Abby, seolah-olah dia ingin memuntahkan darah.Abby melontarkan sumpah serapah, "Wanita rendahan, nggak tahu malu! Semua ini karena ulahmu, kalau tidak, aku dan Alex nggak akan berakhir seperti ini!"Bella mengernyit, berpikir, sepertinya dia sudah terlalu sabar menghadapi cemoohan Abby yang tiada henti.Setelah merenung sejenak, Bella menegaskan wajahnya dan tanpa peringatan, tangannya bergerak cepat, "PLAK!" - sebuah tamparan me
Benny memberikan pandangan tajam. Pada saat itu, aura yang ia pancarkan dan kata-katanya tentang menampar Abby sama sekali bukan candaan. Abby jelas kesal.Dia menegur Benny, "Heh, kamu harus ngerti. Aku yang seharusnya kamu panggil Kakak!"Benny mengernyit, bingung. "Maksudmu apa?"Ia menoleh mencari penjelasan dari Tracy, "Mama, apa maksudnya?"Di dalam benak Benny, ia tahu Mamanya tidak pernah akrab dengan Bella sang Kakak, tapi selalu bersikap lembut kepada Abby. Semua yang terdengar dalam pertengkaran itu membuat Benny berspekulasi ….Benny tak percaya pada pikirannya sendiri, dia bertanya pada Tracy, "Mama, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Benar dia anak kandung Mama?"Sebelum Tracy menjawab, Benny buru-buru menyatakan, "Meski itu benar, aku nggak mau ngakui dia jadi kakakku! Aku hanya punya satu Kakak, dan itu Bella! Nggak ada yang lain yang pantas mendapat gelar itu dari aku!"Tracy menghela napas, lalu menjelaskan langkah demi langkah, "Abby sangat menyayangi Mama dan ingi
Alex merasa sangat sakit hati ketika melihat Ally bersama Jerry. Bayangan Ally yang bermesraan dengan Jerry di kantor terus menghantui pikirannya. “Uhuk!”Alex tiba-tiba terbatuk darah karena rasa sakit yang tak tertahankan.Sementara itu, Jerry membawa Ally kembali ke rumah keluarga Nodum di Kota Yules. Ally merasa aneh ketika melihat rumah yang asing namun terasa akrab. Hatinya bergejolak dengan rasa sakit yang halus di dadanya.Jerry memegang tangan Ally dan berkata, "Ini rumahmu. Meskipun orang tuamu nggak setuju kita bersama, tapi mereka sangat menyayangimu. Tapi, jauhi adikmu, Abby." Jerry mencurigai Abby bertanggung jawab atas kecelakaan Ally. Saat Ally kecelakaan, hanya Jerry dan Abby yang ada di lokasi kejadian. Mengiyakan, Ally hendak merespon ketika seorang pelayan di vila itu melihatnya dari kejauhan dan terkejut. Pelayan tersebut, Bi Jum, yang telah merawatnya sejak kecil, segera mendekati dan dengan mata berkaca-kaca serta tangan gemetar, memegang tangan Ally, "Ini No
Jari-jari Sabrina bergerak-gerak. Kelopak matanya bergetar menunjukkan ia berjuang untuk terjaga. Ally memperhatikan ini. Kayne juga melihat perubahan tersebut dan dengan perasaan haru mendekati Sabrina, sambil terbata berkata, "Sabrina, kamu sadar, ‘kan?" Dengan kegirangan dia menambahkan, "Ayo, buka mata dan lihat, anak kita sudah pulang!"Sabrina perlahan membuka matanya dan saat melihat Ally, air matanya langsung mengalir. Dengan suara lemah yang penuh dengan kebahagiaan yang tak tersembunyikan, ia bertanya, "Ally, itu kamu?" "Apa anakku sudah pulang? Atau ini cuma mimpi?" Ally menggeleng, menahan air mata dan menjawab, "Ini nyata, Mama. Aku sudah pulang, anakmu Ally ada di sini!" Sabrina mulai menangis, air matanya mengalir deras. "Ally, Mama tahu kamu belum meninggal!" ucapnya. "Sejak kecelakaanmu, Mama selalu berusaha menahan tangis karena aku merasa kamu masih hidup!" Sabrina menyembunyikan tangisnya selama ini, menangis diam-diam agar tidak terdengar. Dia membasahi ban
Ally tertawa, kaget dengan tanggapan Abby. "Kenapa nggak mau tes DNA kalau kamu yakin aku bukan kakakmu, penipu?" tanya Ally. Abby terdiam, wajahnya merah padam. Dia hanya bisa menatap dengan marah, balik berkata, "Nggak perlu. Buat aku sudah jelas, kamu bukan kakakku!" Abby tampak ingin menambahkan sesuatu lagi, tetapi terhenti.Pada saat itu, Sabrina, yang sedang berbaring di rumah sakit, menyela dengan nada tidak senang, "Abby, ada apa dengan kamu? Dia memang Ally, anak Mama. Mama nggak mungkin salah mengenalinya!" Sabrina menambahkan, "Seharusnya kamu senang kakakmu pulang. Kenapa kamu malah bersikap seperti ini?"Dalam situasi tersebut, Kayne, sebagai kepala keluarga, dengan tatapan tajam dan nada keras memperingatkan Abby, "Sudah cukup, Abby! Atau jika tidak, Papa usir kamu!” Dengan pulangnya Ally, kondisi Sabrina tampak membaik. Dia juga tampak semakin bersemangat. Sabrina meminta Kayne untuk segera membawa dirinya pulang dari rumah sakit untuk berkumpul dengan putrinya.Di