"Maaf, permisi." ucapku "Ya, silakan!" sahut wanita itu seraya berdiri dan memutar badannya. Astaga! "Salma?" "Kak Lina? Sekarang Kakak kerja?" Wanita yang ternyata kakak iparku itu ternganga melihatku. Kami sama-sama terkejut. "Iy-iyaa ..." Jawabnya gugup. "Kalau Kak Lina kerja, anak-anak dengan siapa, Kak?" "Aku titip Ibu dan kak Norma. Aku terpaksa, Salma. Bang Marwan dan Bang Adam dipenjara sekarang. Siapa yang menafkahi kami kalau aku nggak kerja." Ya Allah. Hatiku terasa diiris. Saat ini aku serba berkecukupan. Sementara Ibu mertua dan kaka iparku sedang kesulitan.Cafe ini cukup jauh dari rumah Kak Lina. Sudah pasti ongkosnya juga besar. Gaji yang dia terima sebagai cleaning service pun pasti tidak besar. Sebelum masuk ke dalam toilet, aku mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya pada Kak Lina. "Kak, maaf, ini ada sedikit dariku. Semoga bisa bermanfaat." "Eh, Apa ini? MasyaAllah, terima kasih, Salma." "Ya sudah. Aku masuk dulu. Salam buat Ibu dan Kak Norm
POV Syifa Kenapa sih Pak Yuda nggak mau nikahin aku? Aku nggak kalah cantik kok dari istrinya yang mantan pedagang nasi kaki lima itu. Aku sudah bela-belain pakai hijab untuk bisa mengambil hati pria tajir itu. Sampai-sampai habis aku ditertawakan oleh teman-teman nongkrong di basecamp. Aku kembali melangkah ke ruang perawatan Bapak. Setelah lelah bersandiwara di depan Bu Salma yang bodoh itu. Semoga saja Bapak tidak luluh karena hari ini Pak Yuda membawa istrinya ke rumah sakit ini. Jangan sampai Bapak berubah pikiran. "Seharusnya Bapak lebih mendesak Pak Yuda tadi. Ini malah diam saja ketika Dia pergi menyusul istrinya!" ujarku kesal ketika sudah kembali duduk di kamar VIP ini. "Syifa ..., Apa kamu tidak kasian dengan mereka? Rumah tangga mereka bisa hancur," sahut Bapak yang hanya bisa berbaring di tempat tidiur. "Loh, malah bagus, dong. Sekalian saja mereka cerai. Peluang Aku untuk menjadi Istri Yuda jadi lebih besar." "Astagfirullahaladzim, Syifa. Kamu kemarin janji pada
Sesampainya di kantor. Ruang kerja Pak Yuda tertutup rapat. Namun tirainya terbuka. Aku sengaja melirik ke dalam. Ternyata Pak Yuda belum datang. "Ngapain ngintip-ngintip? Pak Yuda nggak ke kantor hari ini. Mending kamu bantu aku kerjain ini!" Tiba-tiba saja Ayu menegurku dengan nada tidak senang. "Hei, Ayu! Dengar baik-baik! Yang jadi sekretaris di sini itu Aku. Kamu itu cuma bantu-bantu aku di sini! Paham?" Sengaja aku melotot pada perempuan yang merasa senior di perusahaan ini. Lama-lama kurang ajar sekali dia. "Hei, Syifa. kenyataannya, justru aku yang paling sibuk di sini. Sedangkan kamu, sudah kerjanya setengah hari, sering terlambat pula." Makin berani saja si Ayu ini. Kalau aku lawan, pasti teman-teman seniornya akan ikut-ikutan menegurku seperti kemarin-kemarin. Males deh. Awas kamu, Ayu. Liat saja nanti kalau aku sudah jadi istri pak Yuda. Bakal langsung aku pecat kamu. Semangat kerjaku tiba-tiba lenyap karena Pak Yuda tidak datang. Sial, berarti hari ini seharian d
Satu minggu sudah sejak kejutan menyakitkan itu di rumah sakit, dan pertemuan kami dengan Elkan, belum ada perkembangan yang berarti. Semua masih berjalan seperti sebelumnyan. Entah kenapa Mas Yuda juga tampak biasa saja. "Mas, apa sudah ada kabar dari sahabatmu itu?" Mas Yuda sedang memasang kancing kemejanya di depan kaca. "Elkan, maksudmu? "Iya." Mas Yuda membalikkan tubuhnya. Saat ini kami saling berhadapan. "Tenang saja. Aku yakin Elkan bisa membantu kita," sahutnya seraya melingkarkan lengannya di pinggangku kala aku sedang memakaikan dasi dilehernya. Bagaimana mungkin suamiku ini bisa yakin? Sedangķan satu minggu ini belum ada kabar apapun dari sahabatnya itu. "Kamu jadi ke rumah kost hari ini?" Kami berjalan bersisian menuruni tangga. "Jadi, Mas. Hari ini barang-barang untuk kamar kost datang. Aku ingin memberi intruksi pada para pekerja." "Untuk Rumah kost aku serahkan semuanya padamu. Carilah beberapa pekerja untuk membantumu di sana." Aku terus mengikuti Mas Yuda
Para pekerja bangunan masih ada beberapa yang membantuku di sini. Tapi bagaimana jika mereka nanti telah selesai kontrak dengan Mas Yuda? Sepertinya aku harus memperkerjakan beberapa orang di sini. Mungkin aku bisa membuka lapangan pekerjaan pada beberapa warga di sini. Ya ampun, kenapa tidak Kak Lina saja yg bekerja denganku. Sebaiknya aku datangi saja kakak iparku itu. Semoga saja hari ini dia ada di rumah. Sekalian aku nengok ibu. Sudah lama aku tidak mengunjungi Ibu. Paling-paling kak Norma yang masih tidak suka padaku. Biarlah. Setelah semua urusan di rumah kost beres, dengan membawa buah tangan yang kubeli di supermarket terdekat, Aku berjalan menuju rumah Ibu yang berjarak hanya beberapa meter saja dari rumah kost. Tepatnya, rumah ibu ada di ujung jalan ini. "Assalamualaikum." Tak ada yang menyahut. Rumah ini nampak sepi. Apakah mereka sedang pergi? "Neng Salma? ... Cari siapa, Neng?" Pak Udin, tukang ojeg tetanggaku dulu tiba-tiba berhenti di dekatku. "Ini pada ke man
Aku kembali ke cafe ini. Tempat di mana Kak Lina bekerja. Namun tujuan utama aku ke sini bukan untuk bertemu Kak Lina, tapi memenuhi janji bertemu dengan laki -laki yang menghubungiku tadi. Sebenarnya aku sudah menolak, karena Elkan minta bertemu tanpa sepengetahuan Mas Yuda. Menurutnya ada yang harus dia sampaikan padaku. Walau keraguan merajai hati, tapi di sisi lain aku sangat berharap Elkan bisa membantuku menyelesakan masalah ini. Tak sulit menemukan Elkan di sini. Seperti biasa pria yang banyak digandrungi pada wanita itu tetap menjadi pusat perhatian para pengunjung cafe. Pria berbadan atletis itu telah melempar senyumnya padaku saat aku baru saja melangkah masuk ke dalam cafe ini. "Hai, Salma. Silakan duduk!" "Terima kasih. Maaf, Aku nggak bisa lama. Langsung saja pada inti pembicaraan!" "Wah, wah. Kenapa terburu-buru. Tunggu, aku pesankan makanan. Mau makan apa, humm?" "Tidak. Terimakasih." "Tapi aku lapar. Temani aku makan dulu sebentar!" ujarnya seraya membuka-buka
"Kamu jebak Aku, hah?" Wajah Elkan memucat melihatku bertolak pinggang di hadapannya. "B-bukan. Tenanglah Salma! Duduk dulu! Kita belum bicara." "Jika memang ada yang ingin kamu bicarakan. Langsung saja sama Mas Yuda." Aku meraih tasku dan bersiap untuk meninggalkan meja. "Salma, tunggu dulu, please ...!" Elkan mencekal pergelangan tanganku. "Lepas!" jeritku tertahan. "Oke, oke, Maaf!" Elkan melepaskan dan mengangkat kedua tangannya. Tanpa berkata-kata lagi Aku segera meninggalkan pria yang masih mematung menatap kepergianku. Dengan langkah lebar aku keluar dari cafe ini. Sungguh emosiku memuncak saat ini. Napasku memburu. Dadaku kembang kempis menahan amarah. Sungguh keterlaluan pria itu. Aku masih berdiri di sebrang cafe menunggu taksi online yang sudah aku pesan. Sedikit cemas karena hari sudah hampir sore. Aku harus segera tiba di rumah sebelum Mas Yuda pulang. Untuk kesekian kalinya merutuki diri ini. Kebodohan yang aku lakukan tadi bisa mengancam keutuhan rumah tangga
POV SYIFA Hari ini aku akan ikut Pak Yuda meeting di salah satu hotel bintang lima. Wah, ini kesempatan emas untukku bisa menggoda pria tajir itu. Aku harus bisa mengajaknya ke kamar hotel. Aku akan mencari cara agar bisa mengajaknya ke salah satu kamar di sana. Sebuah lingeri dengan model yang menantang sudah aku persiapkan. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Kembali aku memeriksa penampilan di cermin. Seharusnya sejak awal aku tidak usah memakai hijab ini. Agar Pak Yuda bisa menikmati kecantikanku. Tapi sejak pertama bertemu dengannya aku sudah memakainya, walau hanya pura-pura. Tidak mungkin tiba-tiba aku lepas. Justru nanti Pak Yuda bisa berpikiran buruk padaku. Bosku itu bilang akan menjemputku di depan ruko, semua data yang dia perlukan sudah aku siapkan sejak kemarin di kantor. Sebuah mobil mercy hitam berhenti tepat di depanku. Kaca mobil depan terbuka. "Silakan, Non Syifa! Duduk di depan saja," teriak Pak Supir. Apa ? Duduk di dep
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot