"Mas, tadi Selvi kenapa?" tanyaku penasaran setelah kami berada di mobil. Suamiku ini memilih untuk pergi bersama supir. "Selvi terbukti membocorkan rahasia perusahaan pada perusahaan Angel. Tapi sebelumnya Aku dan Rein sudah antisipasi. Selvi sebenarnya telah memberikan informasi yang salah pada perusahaan Angel. Kemungkinan perusahaan Angel justru akan bangkrut," jawab Mas Indra panjang lebar. "Loh, Mas Yuda kenapa bisa tau bahwa Selvi mencoba untuk berkhianat?" "Rein mencurigai beberapa orang di kantor. Salah satunya Selvi Dan kami berhasil menjebaknya." "Mas, sahabatmu yang bernama Rein itu luar biasa. Apa dia tidak takut anak dan istrinya terancam karena pekerjaannya itu?" "Rein belum menikah. Dia mencintai seorang wanita, tapi wanita itu telah menikah. Walau demikian cintanya pada wanita itu tak pernah pudar. Bahkan dia selalu menjaga wanita itu dari kejauhan. Dia tak pernah rela wanita itu disakiti oleh siapapun, termasuk suaminya sendiri." Aku tertegun mendengar ceri
Beberapa hari ini kami fokus pada persiapan acara resepsi. Walau semua sudah dihandle oleh Wedding Organizer, Mas Yuda tetap mempercayakan keamanan acara itu pada Rein. Relasi perusahaan, sahabat, kerabat dan tetanggaku di rumah kontrakan, semua diundang. Termaauk Ibu mertua dan para iparku. Beberapa hari ini aku jarang melihat Mira dan Kak Rio di rumah. Mungkin Mira sedang ada pemotretan atau sengaja menghindar dari aku dan Mas Yuda. Entahlah. Kami tak sempat mempedulikan mereka. Sejak pagi kami sudah berada di hotel ini. Karena siang ini acara resepsi akan diselenggarakan di sini. Raihan dan Bu Ratri aku pesankan satu kamar agar bisa beristirahat dan mereka dalam pengawalan yang ketat, tentunya. Ayah Surya juga berada di kamar, tepat di sebelah kamar Raihan. Karena kurang sehat, beliau memilih untuk beristirahat saja di kamar. "Sudah selesai, Non." Aku berdiri, memandang tak percaya pada cermin. Wajahku berubah menjadi sangat cantik mempesona. "Non Salma cantik sekali." "Bu
Para tamu dipersilahkan untuk memberi ucapan selamat pada kami. Hidangan makananpun telah dibuka. Sebagian tamu memilih untuk menikmati hidangan terlebih dahulu. Sebagian lagi berdiri antri untuk memberikan ucapan selamat pada kami. Serombongan tamu dari tempat tinggalku yang lama terlihat antri panjang. Para petugas puskesmas juga datang. Mereka melambai-lambaikan tangannya padaku. Sudah tidak sabar ingin bersalaman denganku. "Duh Neng Salmaaa, cantik bangeeet ..., " "Nggak nyangka Neng Salma bisa dapetin Bos Proyek yang diidolakan perempuan-perempuan sekampung." "Syukur deh, Salma bahagia sekarang. Udah lepas dari ipar-iparnya dulu." Tak sengaja aku mendengar obrolan mereka ketika sedang mendekat hendak bersalaman. Tiba-tiba nampak beberapa orang yang sangat kukenal. Ibu Bang Irsan, mertuaku, ternyata datang. Beliau dituntun oleh Kak Norma dan Bang Safwan. Dengan langkah pelan dan lemah Ibu mendekat. "Salma ..., maafkan Ibu!" Aku terkejut saat Ibu tiba-tiba menangis tergugu
"Tolong kalian jangan buat keributan di sini!" lirihku. Sementara wajah Mas Yuda menggelap. Emosinya sudah mulai memuncak. Namun dia berusaha meredam. Sepertinya Kak Rio dan istrinya ini sengaja ingin mempermalukan kami di depan para tamu. "Ada apa, Bos?" Salah satu pengawal menghampiri kami. "Bawa mereka keluar!" lirih Mas Yuda tanpa menoleh sedikitpun pada sepasang suami istri itu. "Hei! Kami ini keluargamu. Kenapa malah diusir?" teriak Kak Rio dengan wajah memerah. Kakak iparku itu berdiri seraya berkacak pinggang di tengah-tengah pelaminan. Para undangan yang berdiri di sekitar pelaminan spontan menoleh ke arah kami. "Jika Anda masih berteriak-teriak seperti ini, Saya akan seret Anda keluar!" ancam pengawal berbadan tinggi besar itu. Tubuh Kak Rio yang jauh lebih pendek itu tampak gemetar. Mira perlahan bergeser ke belakang tubuh suaminya dengan wajah ketakutan. "Tega kalian!" lirih Mira seraya menatapku sinis. "Mir, kami tidak akan mengusirmu jika kamu datang baik-bai
"Mas pasang CCTV?" "Ya. Aku minta anggota Rein untuk pasang CCTV di kamar Raihan dan Ayah dan terhubung dengan ponselku ini. Persis seperti CCTV di rumah." "Alhamdulilah. Makasih, Mas." Aku menatap haru pada suamiku yang tampan banget hari ini. "Udah liatinnya jangn gitu. Jadi mau buru-buru ke kamar," godanya sambil mendekatkan wajahnya padaku. "Iiiih ..., Masss, nih!" Aku tersipu malu seraya mencubit lengannya. Tentang CCTV, Aku jadi teringat ancaman Mas Yuda pada Mira yang mau membuktikan kebohongannya waktu di lorong, lewat CCTV. Suatu saat Ayah harus lihat kelakuan menantunya itu. Selama ini Ayah tidak tau Mira seperti apa. Acara berlangsung hingga sore. Para tamu sudah mulai sepi. Namun ternyata masih ada tamu undangan yang datang. Sepasang suami istri yang terlihat masih muda. Mungkin usia sang istri tak jauh berbeda denganku. "Wah ...wah, Kami kedatangan tamu istimewa. Selamat datang Tuan Raka dan Ibu Shinta." Mas Yuda lantas berdiri menyambut hangat keduanya. "Selam
Aku berusaha sedikit maju untuk memperjelas penglihatanku. Namun sayangnya pelayan itu terhalang oleh para pengawal . Kenapa perasaanku tidak enak? "Astaga! Pelayan itu ..." Napasku memburu. Jantungku berdetak sangat cepat. Aku sangat mengenali laki-laki itu. Keselamatan Raihan saat ini terancam. "Mas Yuda ... pelayan itu ... pelayan itu, Mas ...!" Aku berbicara gemetar. Pandanganku terus tertuju pada laki-laki itu. Aku mulai panik. Kali ini Raihan juga tak lepas dari pantauan mataku. Tanpa kusadari ternyata kakiku melangkah cepat hendak menghampiri Raihan. Tak kuhiraukan panggilan berkali-kali dari suamiku. Sepertinya Mas Yuda mengikutiku dari belakang. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah Raihan. Aku harus segera memeluknya. Aku ingin melindunginya. Dengan tubuh terus gemetar dan dadaku berdegup kencang, cepat kulangkahkan kaki menuju mereka yang berada beberapa meter lagi di depanku. PRANG ...! Aku terperanjat. Gelas-gelas di atas nampan itu berjatuhan. "Diam dan m
Suamiku meraih Raihan dari pelukanku. "Sebaiknya kita kembali ke kamar! Ayo ..!" Aku mengikuti saja ketika Mas Yuda memapahku berjalan dengan tangan kirinya. Aku memang masih sangat lemas, shock dengan kejadian barusan. "Aku ke ruang ganti dulu, Mas." Dengan dibantu Bu Ratri, Aku mengganti pakaianku di ruang ganti yang berada di belakang ballroom. Setelah semua dirasakan aman, kami bersama-sama menuju kamar di lantai tiga. Ayah ternyata sudah duduk di kursi roda yang di dorong oleh salah satu pengawal. Mas Yuda keberatan saat Bu Ratri ingin mengambil alih Raihan. "Untuk sementara Raihan sama Saya dulu sampai kondisi benar-benar aman." Bu Ratri menurut. Wanita itu membantu membawa stroler yang berisi beberapa barang Raihan. --‐------ Hari yang melelahkan. Sekaligus menegangkan. Aku terjaga saat tengah malam. Namun tak kulihat Mas Yuda disampingku. Kemana Dia? Kenapa tak bilang padaku jika mau keluar? Aku meraih ponselku untuk menghubunginya. Namun ternyata ponsel Mas Yuda te
Setelah dua hari menginap di hotel, hari ini kami kembali ke rumah. Mobil Mira terpakir di depan saat kami tiba. Kembali merasa tak nyaman karena harus satu atap lagi dengan kedua kakak Iparku itu. Apalagi mereka sempat kami usir di acara resepsi kemarin. Pasti mereka tidak akan tinggal diam sekarang. "Wah ... wah, menginap di hotel bintang lima selama dua malam, sementara kami diusir dari acara resepsi!" Kak Rio dengan seringainya berdiri bersandar pada dinding teras, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Jangan mulai, Aku capek!' sahut Mas Yuda kesal seraya melewati kakaknya itu. Entah apa maunya laki-laki itu, selalu saja ingin memancing emosi. Apa dia sengaja agar kami tidak betah tinggal di sini? Mas Yuda langsung ke ruang kerja. Karena sudah beberapa hari ini pekerjaannya terbengkalai. Aku menghampirinya sebelum menuju ke kamar. Namun suamiku itu masih sibuk berbicara dengan seseorang lewat ponselnya, "Ini kopi untuk Tuan, Non." "Sini biar aku yang taru
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot