Ibu yang sepertinya tak sadarkan diri dilarikan ke ruang khusus di dalam UGD.Aku menyusul mereka ikut ke dalam. "Mak, titip warung sama Raihan dulu ya. Aku di dalam liat Ibu. Kalau Raihan bangun, antar ke aku aja!" ujarku. Kebetulan pembeli sudah tak seramai tadi. Mak Isah mengangguk sambil mempersiapkan pesanan makan siang untuk para langganan. Aku beranjak masuk ke UGD setelah memastikan posisi tidur Raihan aman. "Ibu kenapa, Kak?" Kak Norma hanya diam dengan wajah bingung saat aku tanya. Sementara Bang Adam sibuk menghubungi anak ibu yang lainnya. "Kak, Ibu kenapa?" aku kembali bertanya, karena semakin khawatir melihat ibu yang tak kunjung sadar. "Sudah diam! Ini semua gara-gara kamu!" Kak Norma membentakku. Namun jelas terlihat kepanikan di wajahnya. "Loh kok, gara-gara Aku?"tanyaku bingung. "Jangan sembarangan menuduh, Norma! Jelas-jelas tadi ibu pingsan ketika sedang bersamamu dan Lina. Cepat katakan! Kenapa ibu sampai pingsan?" Aku tersentak melihat Bang Adam marah
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seseorang yang tidak asing ditelingaku. "Hei, Bung! Singkirkan tanganmu!" Astaga! Tuan Yuda? "Apa maksud Tuan? Jangan mentang-mentang anda orang kaya dan seorang bos, seenaknya saja membentak-bentak saya. Salma ini adik ipar saya. Wajar kalau saya dekat dengannya." Sepertinya Bang Adam juga sudah terpancing emosi. "Halah! Jangan modus kamu!. Memangnya saya nggak lihat kamu mau coba peluk-peluk calon istri saya dari belakang?" Tuan Yuda melotot pada Bang Adam. Padahal Kakak iparku ini sama sekali tidak menyentuhku. Aku khawatir jika ada keributan ditempat ini. Mungkin sebaiknya aku pergi dari sini. "Maaf, Bang. Aku keluar dulu. Tolong kabari aku jika ada perkembangan kondisi Ibu," ujarku seraya menghapus air mata. Bang Adam hanya diam menatapku. Seakan tidak rela jika aku meninggalkannya. Dengan langkah panjang aku berjalan keluar tanpa menoleh pada pria kaya itu. "Salma ...! Salma ...! Tunggu !" Aku terus berjalan ke arah luar. Walau seb
Tuan Yuda duduk pada sebuah sofa panjang yang terlihat sangat empuk, berada pada sisi kiri ruangan. "Duduklah Salma!" ujarnya seraya menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya Aku melihat sekeliling, mungkin ada kursi lain yang bisa aku duduki, sehingga tak harus berdampingan satu kursi dengannya.Namun ternyata di ruangan ini hanya ada dua kursi. Sofa yang Dia duduki dan satu kursi yang berada pada meja kerja Tuan Yuda. Itupun berada di ujung kanan ruangan ini. Melihatku ragu, Laki-laki itu berdiri dan kembali mempersilakan aku duduk. "Duduklah! Aku di sini," ujarnya seraya berdiri, bersandar pada sebuah lemari besi. Perlahan aku duduk. "Ada apa,Tuan?" "Begini ...,, Ayahku sudah tua. Dia sangat menginginkan aku menikah secepatnya. Ini untuk yang ketiga kalinya Aku memohon padamu, menikahlah denganku. Setidaknya, demi Raihan dan Ayahku." Astaghfirullahaladzim ... to the point sekali pria ini. "Aku ingin membahagiakan Ayahku juga Raihan. Tentunya kamu juga demikian, bukan?
Sejak usaha Mas Yuda melamarku siang itu, Laki-laki itu jadi sering datang mengunjungiku. Walau hanya untuk mendekati Raihan atau sekedar menemuiku. Aku tahu, Dia berharap agar aku segera menjawab lamarannya. Namun aku sama sekali belum berani membicarakan hal itu lagi. Tanpa kenal menyerah, Mas Yuda dengan penuh semangat mencoba mendekati Raihan. Mulai dari membawa makanan kecil hingga mainan mobil-mobilan remot yang cukup besar. Kadang Raihan yang sudah mulai bisa berdiri dan duduk sendiri, menaiki mobil-mobilannya sambil tertawa senang. Karena usahanya yang gigih, akhirnya pria tampan itu berhasil mulai dekat dengan bocah lucu yang menggemaskan ini. Sementara Bu Laila terpaksa dipindahkan ke rumah sakit umum, karena alat kesehatan di puskesmas tidak selengkap rumah sakit. Setelah sadar dari koma, mertuaku itu mengalami stroke seluruh badan. Hingga harus ada seseorang yang khusus merawatnya. Kini, para kakak iparku bergantian merawatnya di rumah. Karena itulah, Bang Adam semak
Dengan semangat Mas Yuda mengajak Raihan main Bom-bom Car. Padahal bocah itu belum mengerti sama sekali cara bermainnya. Tapi kami kewalahan karena Raihan ingin mengendarai sendiri mobilnya. Tiba saat makan siang. Mas Yuda memilih restoran yang tersedia arena bermain untuk anak-anak. Dengan bersemangat dan penuh kesabaran pria itu menyuapi Raihan sambil bermain. Sungguh terharu aku melihatnya. Mas Yuda, Laki-laki tampan dan kaya dengan segala kemewahannya. Mau melakukan hal-hal seperti ini. Laki-laki itu telah sukses membuat hatiku luluh. Mungkin sudah saatnya aku menerima lamarannya. Sudah hampir sore, Raihan tertidur di dalam stroller. Mas Yuda yang mendorong. "Kita mampir belanja dulu, ya. Mumpung Raihan tidur. Aku mengangguk. Entah mau belanja apa laki-laki ini. Tiba-tiba kami masuk ke sebuah butik pakaian wanita. "Pilihlah yang kamu suka!" "Oh, sebaiknya tidak usah, Mas. Terima kasih." Aku menolak untuk masuk. Sepintas aku lihat harganya sangatlah mahal. Scraft yang bera
"Salma ..Salma ...!" Ternyata Mas Yuda terus memanggilku. Aku tak kuasa untuk menoleh. Bagaimana jika wanita itu juga ada di sana. Wanita itu cantik sekali. Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya. Kenapa bukan wanita itu saja yang dilamar oleh Mas Yuda? Keliatan sekali wanita itu sangat menyukai Mas Yuda. Aku berjalan dengan langkah cepat sambil mendorong stroller, hingga sudah berada jauh keluar dari toko.. "Salma .... tolong jangan begini!" Mas Yuda meraih tanganku dari belakang, hingga menghentikan langkahku. "Nggak apa-apa, Mas. Temui saja dulu wanita itu. Aku tunggu di mobil." Aku berusaha bicara tenang. Seolah hati ini baik-baik saja. Namun saat ingin melanjutkan langkahku, Mas Yuda justru langsung memelukku. "Tolong .... jngn pergi ...!" "Mas, lepas ...! Kita belum sah. Jangan seperti ini!" Sungguh aku malu, ini adalah tempat umum. Wangi Maskulinnya menguar. Hampir saja aku tak ingin lepas dari pelukan ini, jika tak mengingat bahwa kami belum sah menjad
"Kita sudah sampai." Mobil Mas Yuda memasuki salah satu komplek perumahan elite di kota ini. Rumah-rumah di sini di jaga ketat dari gerbang utama. Sementara setiap rumah di sini memang dirancang tidak berpagar. Hanya ada tanaman bonsai yang dibentuk sedemikian rupa untuk memisahkan satu rumah dengan lainnya. Kami berhenti di depan sebuah rumah bernuasa biru muda. Tanaman hijau menghiasi setiap sisi halaman rumah ini. Betapa sejuk dan nyaman sekali. "Raihan masih tidur?" "Iya. jam segini memang dia tidurnya lama," sahutku. "Sini aku gendong. Nanti biar tidur dikamar tamu!" Mas Yuda meraih Raihan dari pangkuanku. Seorang pelayan datang menghampiri kami. "Tolong bawakan tas-tas di dalam!" pinta Mas Yuda pada pelayan itu. Aku mengiikuti Mas Yuda ke dalam. Rumahnya sangat besar. Aku tercengang melihat hampir semua barang mewah yang mengisi rumah ini. Mas Yuda membuka pintu sebuah kamar yang berada dekat ruang tamu. Aku kembali ternganga melihat kamar yang berukuran jauh lebih
"Salma ..., Bagaimana kabarmu?" Ayah Surya baru saja pulang. Pria tua itu tampak semakin sehat. "Baik, Ayah." balasku seraya mencium tangannya. "Ayah tampak lebih sehat," lanjutku di balas senyuman olehnya. "Ssstt ..., bagaimana, kamu jadikan tinggal di sini dengan kami?" bisiknya. Aku jadi tertawa. Kenapa harus berbisik segala. "Nanti, Yah. Masih Aku pikirkan." "Baiklah, jangan terlalu lama. Nanti Ayah keburu di panggil sama Allah." "Ayah kok ngomong gitu?" Aku tersentak mendengar ucapan Ayah Surya barusan. Tampak sedih pada raut wajah pria tua itu . Aku jadi kasian. Ayah Surya memang sudah tua. Dan sepertinya hanya Mas Yuda anak satu-satunya. Ia ingin merasakan bahagia di akhir hidupnya. Yaitu melihat anaknya menikah. Kami berbincang berbagai hal. Sementara Mas Yuda sepertinya tertidur di samping Raihan. Karena sejak Ayah Surya pulang tadi. Laki-laki itu tidak keluar dari kamar tamu. Samar-samar Aku seperti mendengar suara Raihan terbangun. Tapi mereka tak kunjung keluar
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot