"Tebar pesona aja terooosss!" "Aku nggak ada tebar pesona. Ibu-ibu itu tiba-tiba saja menghampiriku dan minta foto. Masa aku tolak. Kasian dong mereka udah usaha." Dengan gaya sombongnya Elkan membela diri sambil senyum-senyum. Bikin aku mual. Saat ini kami sudah berada di perjalanan menuju rumah sakit. Kalau saja tadi aku tidak pura-pura batuk, Elkan tidak akan menyadari kehadiranku dan mereka akan terus foto-foto sampai siang. "Dih, fansnya ibu-ibu aja segitu bangganya." "Tadi itu ibu-ibu muda, loh. Memang mereka tipe aku," sahut Elkan dengan percaya diri. "Haaa?" "Terlihat lebih mateng dan pengalaman aja ..." Kali ini dia bicara sambil terkekeh melihat wajahku. "Udah buruan ke rumah sakit!" Entah kenapa aku semakin kesal dengan tingkah Elkan yang selalu percaya diri di depan para wanita. Sementara pikiranku terus tertuju pada ucapan Tristan tadi. Apa benar Sabrina menemani Mas Yuda semalaman? Kemarin bahkan mereka yang memintaku pulang. Apa mereka sengaja agar bisa berdua
"Salma ... sini dekat Mas!" Suamiku itu kembali memanggilku dengan suaranya yang lemah. Sepertinya Mas Yuda sedang menahan rasa sakit ketika berusaha menoleh padaku. Sabrina melihat kehadiranku sontak berdiri dan melangkah mundur, sedikit menjauh dari Mas Yuda. "Kamu terlihat lebih baik, Mas." Aku menghampiri Mas Yuda, melewati Sabrina yang masih memegang mangkuk bubur. "Sabrina, terimakasih, ya. Kamu udah merawat Yuda." Sabrina membalas senyumku tanpa menjawab. Kemudian dia meletakkan mangkuk bubur yang isinya sudah tinggal sisa-sisa yang menempel pada permukaan mangkuk, di atas nampan. "Aku ke ruanganku dulu. Permisi." "Silahkan." Sabrina mengangguk samar pada Elkan, kemudian melangkah keluar. Aku tak menyadari, ternyata sejak tadi tatapan Mas Yuda tak lepas darilku. "Salma ..." "Maass ...." Kami saling menyapa bersamaan. Kemudian senyum penuh rindu terbit di wajahku. Mas Yuda pun tersenyum seraya membelai lenganku.. "Ehm, aku keluar dulu, cari sarapan." Elkan membalikk
Sebelum melanjutkan langkahku menuju ruangan Sabrina, aku menyempatkan diri menghubungi dan meminta Mak Isah untuk menjemput Raihan dengan pak supir. Jangan sampai Raihan menunggu terlalu lama di sekolah. Sesuai petunjuk dari perawat tadi, akhirnya aku tiba di depan ruang yang bertuliskan dr.Sabrina (Dokter Onkologi). Perlahan kuketuk pintu. "Masuk!" Sabrina berdiri menyambutku saat aku membuka pintu. Wanita cantik itu tersenyum dan mengangguk ramah. "Duduklah, Salma!" Sabrina kembali duduk setelah aku menjatuhkan badanku pada kursi yang berada di hadapannya.. "Ada yang ingin kamu bicarakan padaku? Tentang Yuda?' "Ya betul." "Bicaralah!" Sebenarnya aku tak mau berlama-lama berhadapan dengan Sabrina. Entahlah, aku kurang menyukai wanita ini sejak melihat kedekatannya dengan Mas Yuda. Sabrina sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk bicara denganku. Tampak berkali-kali wanita itu menghela napas dan gelisah. "Begini, Salma. Beberapa dokter menganjurkan agar Yuda berobat ke
Pov Elkan Malam ini Yuda memintaku datang ke rumah sakit. Sejak kemarin sahabatku itu sudah dipindahkan ke kamar rawat VIP. Walau menurut dokter Sabrina tumor yang dideritanya semakin parah, namun kondisi tubuh Yuda sedikit lebih baik. Mungkin dia lebih tenang karena tidak lagi menyembunyikan penyakitnya ini dari Salma. Aku berhenti di depan kamar 109. Nomor kamar yang diberitahu Yuda lewat pesan ponselnya tadi. Perlahan aku membuka pintu. Mataku melebar melihat siapa yang berada di dalam. Kenapa perempuan itu selalu berada disamping Yuda? Pantas saja Salma cemburu. "Selamat malam, Dok. Sedang memeriksa Yuda?" tanyaku basa basi. Padahal jelas-jelas Sabrina sedang tidak memakai jas putihnya. Malahan saat ini pakaiannya cukup santai. Dokter cantik itu hanya mengenakan kaos lengan pendek , celana jeans dan outher tak berlengan. "Tidak. Kebetulam Aku lagi off. Oh ya, silakan saja kalau ada yang mau dibicarakan." Aku mengangguk seraya tersenyum. "Yud, Aku tinggal dulu. Nanti aku ba
"Maafin Mak, Neng. Tristan tadi maksa minta ikut pulang bareng Raihan. Katanya mau main ke sini." Dengan merasa bersalah Mak Isah yang baru saja pulang menjemput Raihan dari sekolah, langsung tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang menemani Yumaina tidur siang di kamar. "Loh, memangnya Tristan nggak dicariiin supirnya, Mak?" "Supirnya sudah tau, Neng. Tapi Tristan maksa dan hampir ngamuk. Ini nomor ponsel supirnya dan alamat rumah Tristan." Mak Isah menyodorkan sobekan kertas yang bertuliskan sebuah alamat. "Ya sudah nggak apa-apa, Mak. Biar Tristan main di sini. Nanti biar saya yang antar pulang." "Baik, Neng. Mak izin ke belakang dulu." Aku mengangguk. Kasihan Tristan. Pasti anak itu sangat kesepian. Sabrina jarang pulang. Aku berdecak kesal mengingat Sabrina lebih tega meninggalkan anaknya di rumah demi menemani Mas Yuda semalaman di rumah sakit. Ibu macam apa dia. Setelah yakin Yumaina tertidur pulas, aku melangkah menuju belakang rumah dimana Raihan dan Tristan bermain.
"Seharusnya kamu nggak usah repot-repot jemput aku, El. Aku bisa diantar supir." Elkan duduk di ruang tamu menungguku bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. "Kamu tau sendiri suamimu, perintahnya mana bisa dibantah." Elkan terkekeh. "Mas Yuda memang kadang suka berlebihan. Bagaimana aku bisa mandiri kalau ke mana-mana ditemani." "Kamu seharusnya bangga, banyak wanita di luar sana yang minta ditemani pengacara tampan ini." Elkan kembali terkekeh melihatku mencibir padanya. Aku meraih tas cangklong yang berada di meja. "Mak Isah, aku pergi dulu. Jangan lupa, kalau Yumaina bangun minta Bu Ratri hubungi aku. Aku belum sempat ngomong sama Yumaina mau ke rumah sakit. Dia belum bangun." "Iya, Neng."sahut Mak Isah yang masih setia bekerja denganku. Bang Safwan dan Kak Lina sudah sejak lama berhenti. Sejak Bang Adam dan Bang Marwan keluar dari penjara, Mereka memilih pindah rumah ke daerah pinggiran dan membuka usaha kecil-kecilan di sana. Aku teringat ketika mereka pamit, Mas Yuda
Pov Elkan Andai saja aku belum menandatangani surat perjanjian itu, Aku tak akan membiarkan Yuda melakukan ini terhadap Salma. Aku yakin sekali Salma saat ini sangat terluka. Entah kenapa Yuda meminta Sabrina yang menemaninya ke Singapore? Padahal banyak dokter pria yang dia kenal di rumah sakit ini. Apa dia sengaja agar Salma cemburu? Dalam surat perjanjian itu, Yuda memintaku untuk menjaga dan menikahi Salma jika dia sudah tiada nanti. Yuda pun memintaku untuk menahan Salma agar tak ikut ke Singapore. Entah apa rencana sahabatku itu. Seharusnya dia optimis bisa sembuh dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Sejak kecelakaan dan hilang ingatan, Yuda lebih dingin dan keras kepala. Sikapnya yang tertutup membuatku sulit berbicara banyak dengannya. Salma sedang menemui dokter Sabrina. Sebaiknya aku bicarakan hal ini kembali padanya. Masih ada waktu sebelum keberangkatannya ke Singapore. Kupercepat langkahku menuju ruang VIP. Sepanjang melewati lorong, aku mempersiapkan hati un
Elkan "El, Aku nggak kuat pisah dari Mas Yuda." Salma terus tergugu di dalam mobil sejak berangkat dari rumah. "El, apa kamu nggak bisa membantuku agar bisa ikut ke Singapore? Tolong Aku, El. Selama ini aku belum pernah ke luar negri. Semua urusan Mas Yuda di luar kota dan luar negeri ditangani oleh Rein. Belakangan ini Rein selalu sibuk jika aku hubungi. Ayolah, El! Cuma kamu yang bisa tolong aku." Wanita cantik di sampingku ini terus memohon diantara isak tangisnya. Namun aku tak bisa bicara apapun. Salma, mengurus keberangkatanmu ke luar negeri itu hal yang sangat mudah bagiku. Menghalangi Sabrina untuk menemani Yuda ke singapore pun bukan masalah untukku. Semua bisa aku lakukan dengan mudah. Namun semua ini adalah skenario yang dibuat oleh Yuda. Dan bodohnya aku sudah menandatangani surat perjanjian itu. Mau tidak mau aku harus mengikuti skenario yang dibuat Yuda. "Elkan! Kok diam aja, sih?" "Iy-iyaaa, aku lagi mikir." Tepukan tangan Salma pada lenganku membuatku terkejut
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot