"Pulang malam lagi, Mas?" tanyaku seraya mencium tangan Mas Yuda ketika suamiku itu baru saja keluar dari mobilnya. Belakangan ini Mas Yuda kembali beberapa kali pulang larut malam. Dalam bulan ini saja sudah tiga kali Mas Yuda pulang di atas jam 10, dan setiap aku tanya Syifa, sekretarisnya itu bilang Mas Yuda sudah pulang sejak siang. "Maaf ... maaf, ya!" ucapnya dengan mendaratkan sebuah kecupan singkat di keningku. Hanya itu jawaban yang aku dapat setiap kali bertanya. Aku mengikutinya melangkah masuk ke kamar. Biasanya Mas Yuda akan langsung tidur di ranjang. "Mana anak-anak?" "Sudah tidur, Mas. Ini sudah jam sebelas malam." Benar dugaanku. Mas Yuda langsung merebahkan diri di tempat tidur kami. "Mulai besok Mas Yuda harus bawa supir! Aku nggak mau Mas kenapa-kenapa di jalan.," tegasku. Sementara kedua tanganku mulai membuka kemejanya dan mengganti pakaiannya. Namun kali ini aku mencium.bau asing pada pakaiannya. Bukan, ini bukan bau parfum. Tapi ... seperti bau obat-oba
"Pagi, Salma!" Aku terlonjak saat wanita itu memutar tubuhnya dan menyapaku. "Sabrina?" "Pagi, Tante ..!" Tristan tersenyum menyapaku. Aku yang terkejut segera mencoba menguassi diri dengan memberikan senyuman pada mereka. "Ini Tristan katanya mau main dengan Raihan. Makanya aku ajak main ke sini. Kebetulan sedang tidak jadwal praktek." Mendengar ucapan Sabrina, Aku mengembangkan senyum pada ibu dan anak yang berada di.hadapanku. "Ayo, ayo, silakan masuk, Sabrina, Tristan. Kebetulan Raihan sedang main di halaman belakang. Sebentar Tante panggilin ya. Silakan duduk dulu!" "Oh ya, Salma. Ini ada buah-buahan untuk kalian. Semoga suka ya." "Wah, kok jadi repot gini? Makasih ya, Sabrina. InsyaAllah kami suka." Aku menerima sekeranjang parsel yang berisi macam-macam buah dari tangan dokter cantik itu. Aku melangkah menuju taman belakang. "Mas, ada tamu." "Siapa?" "Sabrina dan anaknya." ."Apaa?" Mas Yuda yang sedang duduk di salah satu kursi taman sontak berdiri. Wajahnya ter
Pov Elkan Hari ini aku janji bertemu Yuda di kantornya. Setumpuk dokumen dan surat wasiat permintaan Yuda sudah aku siapkan. Seminggu yang lalu Yuda memintaku mengganti semua harta miliknya menjadi atas nama Salma dan kedua anaknya. Termasuk semua perusahaan miliknya. "Kamu yakin dengan keputusanmu, Yud? Apa kamu tidak takut suatu hari nanti Salma meninggalkanmu dan membawa seluruh harta atas nama miliknya?" Yuda menggeleng. "Andai itu membuat ia dan kedua anakku bahagia, Aku tidak apa-apa." jawaban yang diucapkan dengan sangat tenang. Namun Elkan mengerutkan dahinya karena heran. Hari ini Yuda juga memintaku untuk membuat sebuah surat wasiat. Namun semua dokumen ini tidak boleh diketahui oleh Salma. Yuda minta memberikan semuanya setelah dia tiada. Sebenarnya hal ini biasa bagiku sebagai seorang pengacara pada kliennya. Namun Yudatara bukanlah sekedar klien bagiku. Kami sudah bersama-sama sejak remaja, dan kini ... Yuda menikah dengan satu-satunya wanita yang tak pernah bisa
Pov Elkan "Elkan ..., apakah kamu mencintai Salma, istriku? Aku tersentak, Tatapan Yuda begitu tajam dan dalam. Kenapa Yuda menanyakan hal ini padaku? Apakah aku harus jujur? "Elkan ..." Tatapan Yuda semakin tajam. "Apa itu penting untukmu? Apa harus aku jawab?" Aku tertunduk. Tak kuasa menerima tatapan yang menghunus netraku. "Jawab saja!" tegasnya. Aku menghempas napas kasar. "Yud, bukankah setiap.orang berhak mencintai siapapun? Dan setiap orang berhak menerima atau menolak cinta itu." "Jangan bertele-tele! Jawab saja yang jujur! Ya .. atau ...tidak?" Ya Tuhan. Apa maksud Yuda menanyakan hal ini? Aku tidak mungkin berbohong. "Elkan jawaabb!" Aku terlonjak.mendengar suara Yuda semakin keras. "Iy-iyaaa ... Aku ... mencintainya ... Sangat mencintainya ... M-maafkan aku!" Tubuhku gemetar setelah melontarkan sebuah pengakuan. Walau sebelumnya mungkin Yuda sudah menduga hal ini dari sikap-sikapku selama ini. Namun semenjak dia lupa.ingatan, Aku belum pernah berbicara segamb
Pov Elkan Salma berkali-kali menghubungiku. Ia pasti bingung setelah membaca pesanku yang memintanya untuk segera ke rumah sakit. Tanoa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. [ Aku tunggu kamu di rumah sakit sekarang] Setelah kembali mengirim pesan, tak kuhiraukan lagi panggilan dari Salma. Semoga Ia segera berangkat ke rumah sakit. Posisi mobilku masih berada di belakang ambulan saat memasuki area rumah sakit. Ambulan berhenti di depan unit gawat darurat. Sementara aku membawa mobilku ke area parkir yang berada tak jauh dari UGD. Setelah memarkir mobil, aku bergegas berlari ke arah UGD. "Suster, saya keluarga pasien yang baru saja masuk." Aku menghampiri salah satu perawat di depan pintu masuk UGD. "Oh, keluarga Bapak Yudatara? Pasien sedang ditangani dokter jaga, sambil kami sedang menghubungi dokter Sabrina." Sepertinya nama itu tak asing ditelingaku. Aku duduk di ruang tunggu menunggu Yuda diperiksa. Tak berapa lama kemudian seorang wanita cantik dengan jas dokternya me
Elkan Yuda masih terdiam dengan mata menatap kosong pada langit-langit kamar UGD yang berwarna putih. Napasnya berat naik turun. "El ..., baca email!" "Sudah, Yud." Tenggorokanku tercekat. Sebenarnya tak ingin membicarakan tentang surat wasiat itu saat ini. Banyak hal yang ingin aku diskusikan..Tapi sepertinya tak mungkin. "T-tolong segera buat surat wasiat it-tu ...!" "Tidak usah kamu pikirkan, Yud. Kamu harus sehat dulu," pungkasku pelan. "Tidak ..., waktuku sudah tidak banyak. Tolong El, Aku mohon ...!" Suara Yuda melemah.. "Baik. Aku akan buatkan segera. Malam ini akan aku serahkan padamu. Sekarang istirahatlah!" "Mas Yuda ...!" Tiba-tiba Salma membuka tirai dan langsung memeluk Yuda. "Kamu kenapa, Mas? Kamu sakit apa, Sayang?" Dengan raut wajah sangat khawatir, Salma membelai wajah Yuda dan lalu menciumnya. Aku spontan menunduk. Hatiku tak karuan melihat pemandangan tepat di hadapanku.. "Jangan nangis, Sayang. Aku nggak apa-apa. Cuma kecapean," lirih Yuda dengan su
Hatiku nyeri melihat Mas Yuda kembali terbaring di rumah sakit Ketakutan akan kehilangan orang yang aku cintai kembali membuatku sesak. "Mas, dulu Aku pernah hampir kehilanganmu. Kini aku tak mau benar-benar kehilanganmu. Aku ingin kita hidup menua berdua. Melihat Raihan dan Yumaina beranjak remaja. Aku merasa belakangan ini kamu mulai mengingat semuanya. Kamu sempat cemburu ketika Kak Lina membicarakan Bang Adam padaku. Kamu menggodaku karena pernah menolak rumah 10 milyar pemberianmu. Aku bahagia, Mas. Ingatanmu mulai kembali pulih walaupun secara perlahan." Aku terus berbicara seakan Mas Yuda mendengar dari balik kaca ini. "Salma, Biarkan Yuda istirahat. Ayo aku antar pulang!" Aku menggeleng menolak ajakan Elkan."Salma, ada dokter Sabrina yang merawat Yuda. Kamu tenang aja." Sontak aku menoleh pada Elkan dan menatap kesal pada pria itu. "Kamu gimana, sih. Istrinya Mas Yuda itu kan Aku. Bukan Sabrina!" ketusku. "Astaga Salmaa, Sabrina itu dokter. Dia lebih paham dalam me
Pagi-pagi sekali aku sudah terjaga. Aku meringis saat menoleh ke sisi sampingku yang kosong. Hanya ada bantal dan selimut Mas Yuda. Sungguh aku sangat merindukannya. Malam-malam belakangan ini kami jarang berpelukan sampai pagi, karena Mas Yuda yang aku pikir sangat kelelahan. Namun ternyata dia sedang berjuang melawan rasa sakit. Istri macam apa aku ini. Tak tau kalau suaminya sakit. Malah mencurigainya dengan dugaan yang tak pantas. Sungguh aku menyesal. "Bundaaaa, Ayah mana?" Raihan menghampiriku di meja makan ketika sedang menyiapkan bekal untuknya. Apa yang harus aku katakan pada Raihan. Perlahan aku menunduk mensejajarkan diri dengannya. "Raihan .... Ayah Yuda ... sakit. Jadi harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa hari," jelasku hati-hati dan tetap berusaha bersikap tenang. "Ayah sakit? Raihan mau nengok Ayah pulang sekolah nanti, boleh, Bun?' Aku menarik napas. Rasanya tak tega jika Raihan melihat Ayahnya terbaring dengan beberapa alat yang tersambung pada tubuhnya.
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot