"Raihan, hari inI Ayah minta maaf tidak bisa antar Raihan. Nggak apa-apa, kan?" Mas Yuda mengusap kepala Raihan penuh kasih sayang. Saat ini kami bertiga sedang sarapan. Sedangkan Yumaina belum bangun dari tidurnya. "Nggak apa-apa,, Ayah. Biar Bunda aja yang antar Raihan." Mas Yuda terkekeh mendengar sahutan Raihan seraya mengangkat kedua jempolnya di depan Raihan. Anak itu nampak senang sekali mendapat pujian dari Mas Yuda. "Ssstttt, Sayang. Aku minta maaf soal semalam ya. Aku lelah sekali." Mas Yuda berbisik tepat di dekat telingaku. Aku yang sedang mengunyah roti bakar hanya membalas dengan senyuman. Sejujurnya saputangan semalam masih menjadi sebuah tanda tanya besar di kepalaku. Apa aku tanyakan saja sekarang? Ah, Mas Yuda bisa saja mengelak. Biarlah untuk sementara aku selidiki saja dulu. "Kok diam aja? Masih marah, humm ...?" Aku tak bisa mengelak saat Mas Yuda meraih bahuku dan membawa kepalaku ke dada bidangnya. Beruntung Raihan sudah lebih dulu ke teras bersama Ma
Cafe pelangi berada tak jauh dari kantor Mas Yuda. Pagi ini terlihat masih sepi pengunjung. Hanya ada beberapa meja yang terisi dengan sepotong roti bakar isi dan segelas kopi diatasnya. Menu sarapan terfavorite di cafe ini. Beberapa kali Mas Yuda pernah mengajakku ke sini. Aku melangkah masuk melewati pintu kaca. Mataku menyisir ruangan mencari keberadaan Elkan. Namun sepertinya dia belum datang. "Ehm ..., sedang menunggu seseorang?" Aku terlonjak dan menoleh ke belakang. Ternyata Elkan sudah berada di belakangku. "Svģvgungguh aku tersanjung seorang wanita cantik mengajakku bertemu di pagi hari ini." Elkan terkekeh menggodaku. "Apaan, sih!" Aku memutar malas bola mataku. "Yuk, duduk di sana aja!" ajakku seraya menunjuk sebuah meja yang berada di sudut ruangan. Kami duduk saling berhadapan. Seorang pelayan datang hendak menuliskan pesanan kami. "Aku teh hangat dan kentang goreng aja," ujarku. "Aku kopi pahit dan roti bakar selai kacang," tambah Elkan. Pelayan itu pergi setel
Aku turun dari mobil dan melangkah masuk melalui gerbang sekolah Raihan. Masih lima belas menit lagi waktu Raihan keluar dari kelas. Sebaiknya aku menunggu di bangku taman saja. Sudah hampir satu bulan sejak di cafe pelangi waktu itu, Aku dan Mas Yuda tidak lagi membicarakan masalah itu. Namun aku yakin, wanita yang aku lihat masuk ke cafe itu adalah Sabrina. Sayangnya Mas Yuda seperti terburu-buru membawaku ke kantor waktu itu. Sejak hari itu pula tidak ada hal yang mencurigakan dari suamiku itu. Semua nampak seperti biasa saja. Bahkan aku hampir tak percaya jika Mas Yuda sedang dekat dengam wanita lain. "Selamat ,siang..Kamu Salma, kan?" Sontak aku menoleh pada suara yang menyapaku. Astaga! Itu Sabrina. Wanita yang baru saja melintas dibenakku, kini berdiri di hadapanku. "Siang. Ya, Aku Salma. Apa kabar, Sabrina?" .Wanita cantik dengan rambut panjang, lurus dan hitam lebat itu tersenyum. "Baik." "Raihan cerita, kamu dokter, ya? Hebat bangeti!" ujarku mencoba untuk memulai
"Pulang malam lagi, Mas?" tanyaku seraya mencium tangan Mas Yuda ketika suamiku itu baru saja keluar dari mobilnya. Belakangan ini Mas Yuda kembali beberapa kali pulang larut malam. Dalam bulan ini saja sudah tiga kali Mas Yuda pulang di atas jam 10, dan setiap aku tanya Syifa, sekretarisnya itu bilang Mas Yuda sudah pulang sejak siang. "Maaf ... maaf, ya!" ucapnya dengan mendaratkan sebuah kecupan singkat di keningku. Hanya itu jawaban yang aku dapat setiap kali bertanya. Aku mengikutinya melangkah masuk ke kamar. Biasanya Mas Yuda akan langsung tidur di ranjang. "Mana anak-anak?" "Sudah tidur, Mas. Ini sudah jam sebelas malam." Benar dugaanku. Mas Yuda langsung merebahkan diri di tempat tidur kami. "Mulai besok Mas Yuda harus bawa supir! Aku nggak mau Mas kenapa-kenapa di jalan.," tegasku. Sementara kedua tanganku mulai membuka kemejanya dan mengganti pakaiannya. Namun kali ini aku mencium.bau asing pada pakaiannya. Bukan, ini bukan bau parfum. Tapi ... seperti bau obat-oba
"Pagi, Salma!" Aku terlonjak saat wanita itu memutar tubuhnya dan menyapaku. "Sabrina?" "Pagi, Tante ..!" Tristan tersenyum menyapaku. Aku yang terkejut segera mencoba menguassi diri dengan memberikan senyuman pada mereka. "Ini Tristan katanya mau main dengan Raihan. Makanya aku ajak main ke sini. Kebetulan sedang tidak jadwal praktek." Mendengar ucapan Sabrina, Aku mengembangkan senyum pada ibu dan anak yang berada di.hadapanku. "Ayo, ayo, silakan masuk, Sabrina, Tristan. Kebetulan Raihan sedang main di halaman belakang. Sebentar Tante panggilin ya. Silakan duduk dulu!" "Oh ya, Salma. Ini ada buah-buahan untuk kalian. Semoga suka ya." "Wah, kok jadi repot gini? Makasih ya, Sabrina. InsyaAllah kami suka." Aku menerima sekeranjang parsel yang berisi macam-macam buah dari tangan dokter cantik itu. Aku melangkah menuju taman belakang. "Mas, ada tamu." "Siapa?" "Sabrina dan anaknya." ."Apaa?" Mas Yuda yang sedang duduk di salah satu kursi taman sontak berdiri. Wajahnya ter
Pov Elkan Hari ini aku janji bertemu Yuda di kantornya. Setumpuk dokumen dan surat wasiat permintaan Yuda sudah aku siapkan. Seminggu yang lalu Yuda memintaku mengganti semua harta miliknya menjadi atas nama Salma dan kedua anaknya. Termasuk semua perusahaan miliknya. "Kamu yakin dengan keputusanmu, Yud? Apa kamu tidak takut suatu hari nanti Salma meninggalkanmu dan membawa seluruh harta atas nama miliknya?" Yuda menggeleng. "Andai itu membuat ia dan kedua anakku bahagia, Aku tidak apa-apa." jawaban yang diucapkan dengan sangat tenang. Namun Elkan mengerutkan dahinya karena heran. Hari ini Yuda juga memintaku untuk membuat sebuah surat wasiat. Namun semua dokumen ini tidak boleh diketahui oleh Salma. Yuda minta memberikan semuanya setelah dia tiada. Sebenarnya hal ini biasa bagiku sebagai seorang pengacara pada kliennya. Namun Yudatara bukanlah sekedar klien bagiku. Kami sudah bersama-sama sejak remaja, dan kini ... Yuda menikah dengan satu-satunya wanita yang tak pernah bisa
Pov Elkan "Elkan ..., apakah kamu mencintai Salma, istriku? Aku tersentak, Tatapan Yuda begitu tajam dan dalam. Kenapa Yuda menanyakan hal ini padaku? Apakah aku harus jujur? "Elkan ..." Tatapan Yuda semakin tajam. "Apa itu penting untukmu? Apa harus aku jawab?" Aku tertunduk. Tak kuasa menerima tatapan yang menghunus netraku. "Jawab saja!" tegasnya. Aku menghempas napas kasar. "Yud, bukankah setiap.orang berhak mencintai siapapun? Dan setiap orang berhak menerima atau menolak cinta itu." "Jangan bertele-tele! Jawab saja yang jujur! Ya .. atau ...tidak?" Ya Tuhan. Apa maksud Yuda menanyakan hal ini? Aku tidak mungkin berbohong. "Elkan jawaabb!" Aku terlonjak.mendengar suara Yuda semakin keras. "Iy-iyaaa ... Aku ... mencintainya ... Sangat mencintainya ... M-maafkan aku!" Tubuhku gemetar setelah melontarkan sebuah pengakuan. Walau sebelumnya mungkin Yuda sudah menduga hal ini dari sikap-sikapku selama ini. Namun semenjak dia lupa.ingatan, Aku belum pernah berbicara segamb
Pov Elkan Salma berkali-kali menghubungiku. Ia pasti bingung setelah membaca pesanku yang memintanya untuk segera ke rumah sakit. Tanoa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. [ Aku tunggu kamu di rumah sakit sekarang] Setelah kembali mengirim pesan, tak kuhiraukan lagi panggilan dari Salma. Semoga Ia segera berangkat ke rumah sakit. Posisi mobilku masih berada di belakang ambulan saat memasuki area rumah sakit. Ambulan berhenti di depan unit gawat darurat. Sementara aku membawa mobilku ke area parkir yang berada tak jauh dari UGD. Setelah memarkir mobil, aku bergegas berlari ke arah UGD. "Suster, saya keluarga pasien yang baru saja masuk." Aku menghampiri salah satu perawat di depan pintu masuk UGD. "Oh, keluarga Bapak Yudatara? Pasien sedang ditangani dokter jaga, sambil kami sedang menghubungi dokter Sabrina." Sepertinya nama itu tak asing ditelingaku. Aku duduk di ruang tunggu menunggu Yuda diperiksa. Tak berapa lama kemudian seorang wanita cantik dengan jas dokternya me