"Beruntung kamu Salma. Andai dulu aku tak mengkhianati Yuda, mungkin akulah yang kini menjadi istrinya." Aku menatap tajam pada wanita yang senang berpakaian ketat itu. "Eh, maaf! Aku nggak bermaksud apa-apa."pungkasnya setelah melihat tatapanku. "Bisa langsung saja? Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku tak sabar. Sejujurnya aku khawatir Mira berbuat yang tidak-tidak di rumahku. Diam-diam aku mengirim pesan pada Rein lewat ponsel yang berada dalam genggamanku. "Baik, baiklah." Mira menghela napas panjang. Wajahnya mulai tampak serius. Ada raut kecemasan tersirat dari wajahnya. Sebelum bicara, Mira menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertimya dia takut jika ada yang mendengar atau melihat dirinya. "Salma, Aku punya imformasi penting. Informasi ini menyangkut hidup matinya Yuda. Tapi informasi ini akan aku berikan padamu jika kamu mau membantuku melunasi semua hutang-hutangku." Wajah Mira sedikti memelas. Aku jadi ragu kenapa begitu cepat seseorang bisa berubah. "Bagaimana, Salm
"Allahu Akbar!" jeritku seraya menutup wajah dengan kedua tangan, ketika mendengar suara tembakan. "Salmaaa!" Teriakan Mas Yuda pun terdengar jelas olehku. Sesaat aku merasakan sebuah pelukan di tubuhku. "Tenanglah, Sayang. Kita baik-baik saja." Suara Mas Yuda terdengar hangat di telingaku. Ya Tuhan, saat ini Mas Yuda memelukku dengan berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tak kusangka kami berdua baik-baik saja. Lalu siapa yang tertembak? Perlahan aku mengurai pelukan. Memandang haru kedua kaki Mas Yuda yang tiba-tiba sudah bisa berdiri tegak. "Maas, kamu bisa berdiri ..," lirihku bergetar. "Apaa? Ya Allah. Kenapa aku baru sadar," balas Mas Yuda sambil menatap ke bawah pada dua kakinya "Maaaas, lihat! Mira, Mas!" Aku kembali terpekik saat melihat tubuh Mira ambruk di ambang pintu. Kakinya berlumuran darah. Suara rintihan pilu terdengar dari mulut iparku itu. "Salmaa ..., to-tolong Aku ...!" "Kenapa Mira bisa tertembak? Siapa yang menembaknya, Mas?" tanyaku panik hendak mengham
"Pagi, Mas!" "Pagi, Sayang!" Mas Yuda mengecup keningku mesra. Dengan penuh kesabaran suamiku itu menggandengku menuiu ruang makan. Aku mulai kesulitan berjalan karena usia kandunganku yang sudah mulai masuk sembilan bulan. Mas Yuda sudah mulai aktif setiap hari di perusahaan. Rein dengan setia mendampingi Mas Yuda sampai suamiku itu kembali memahami semua seluk beluk perusahaan. Memang tak mudah bagi Mas Yuda untuk kembali mengingat dan memahami semua tentang perusahaannya. "Bagaimana hasil sidang terakhir untuk kasus Angel, Mas?" tanyaku sambil mengoleskan selai kacang pada roti bakar untuk menu sarapan Mas Yuda." "Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Angel dikenakan hukuman penjara seumur hidup." "Innalilahi ..." Sungguh aku terkejut. Karena obsesinya itu, Angel menerima akibat dari semua perbuatannya. "Bagaimana dengan Mira, Mas?" "Karena Mira mau memberikan kesaksian dan membantu penyelidikan. Hukumannya tidak seberat Angel." Syukurlah. Beruntung Mira mau menceritakan semuan
Yumaina, nama yang disematkan untuk gadis kecilku. Usianya kini sudah hampir tiga tahun. Wajah oval dengan mata bulat serta rambut panjang yang lurus dan tebal, membuat setiap orang gemas melihatnya. Orang bilang wajahnya sangat mirip dengan Mas Yuda. Maina, panggilan sayang kami untuknya. Gadis yang begitu lincah dan aktif. "Bundaaa ...., Raihan pergi sekolah dulu." Aku tersenyum bangga melihat Raihan dengan seragam sekolahnya. Hari ini adalah pertama kali dia masuk sekolah dasar. "Kakak Laihan ..., Maina mau ikut!" Maina yang baru saja terjaga dari tidurnya langsung bangkit dan menghampiri Raihan. Maina langsung memeluk Raihan yang tak henti-hentinya memamerkan seragam sekolahnya yang baru. Anakku itu sangat bangga dengan baju yang dia kenakan sekarang. Mereka sangat dekat dan jarang sekali bertengkar. Mas Yuda selalu menanamkan rasa saling menyayangi di dalam keluarga ini. "Aku tidak mau anak-anakku kelak hidup tidak akur dengan saudaranya sendiri. Seperti aku dan Rio. Sej
"Kamu disini juga Sabrina?" tanya Mas Yuda seraya menatap heran wanita cantik itu. "Iya, Yud. Anakku baru masuk sekolah di sini." Sepertinya mereka bukan rekan kerja. cara bicara mereka tidak formil sama sekali. Aku merasa cara wanita itu menatap Yuda sangat berbeda. Tatapannya begitu dalam. "Kamu antar anak juga?' Wanita itu mulai sesekali melirik padaku. "Iya, anakku juga baru aja masuk sekolah di sini. Oh ya, Sabrina kenalkan ini Salma istriku. Salma, ini Sabrina, anak salah satu teman Ayah." "Salma." Aku menyodorkan tanganku pada wanita cantik itu seraya tersenyum. "Hai Salma." Wanita bernama Sabrina itu menerima tanganku, lalu kami bersalaman. Namun matanya terus menatap Mas Yuda dengan tatapan ... entahlah. " Kalau begitu Aku duluan. Sampai ketemu lagi, Yuda!" Sampai ketemu? Apakah mereka sering ketemu? Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan. "Ayo, Salma, aku antar pulang! "I-iyya, Mas." Aku mengikuti langkah Mas Yuda menuju mobil. Entah kenapa sepanjang jalan pikiranku ta
Hatiku gelisah sejak tadi. Sudah pukul sepuluh malam Mas Yuda belum juga pulang. Sejak beberapa bulan ini sudah empat kali Mas Yuda pulang larut malam. Bahkan pernah sampai hampir pagi. Raihan dan Yumaina sudah tidur. Aku sendiri duduk di ruang tamu sambil membuka ponsel. Beberapa kali mencoba menghubungi Mas Yuda. Namun ponselnya tidak aktif. Pesan-pesanku tak satupun yang dia balas. Ya Tuhan, lindungilah suamiku. Aku mencoba mengirim pesan pada Elkan. Mungkin dia tau kemana perginya Mas Yuda. Sedangkan Rein saat ini sedang berada di kalimantan sejak minggu lalu. [ Aku memang ke kantor Yuda siang tadi. Namun dia buru-buru hendak pergi. Wajahnya agak pucat. Aku pikir dia pulang karena sedang kurang sehat] Aku semakin khawatir setelah membaca balasan pesan dari Elkan. Kalau Mas Yuda memang tadi sakit, kenapa dia tidak pulang saja? Tidak ada yang bisa aku lakukan. Syifa pun tidak tau kemana Mas Yuda pergi. Mas Yuda hari ini tidak memakai supir. jadi dia memang pergi sendiri. "N
"Raihan, hari inI Ayah minta maaf tidak bisa antar Raihan. Nggak apa-apa, kan?" Mas Yuda mengusap kepala Raihan penuh kasih sayang. Saat ini kami bertiga sedang sarapan. Sedangkan Yumaina belum bangun dari tidurnya. "Nggak apa-apa,, Ayah. Biar Bunda aja yang antar Raihan." Mas Yuda terkekeh mendengar sahutan Raihan seraya mengangkat kedua jempolnya di depan Raihan. Anak itu nampak senang sekali mendapat pujian dari Mas Yuda. "Ssstttt, Sayang. Aku minta maaf soal semalam ya. Aku lelah sekali." Mas Yuda berbisik tepat di dekat telingaku. Aku yang sedang mengunyah roti bakar hanya membalas dengan senyuman. Sejujurnya saputangan semalam masih menjadi sebuah tanda tanya besar di kepalaku. Apa aku tanyakan saja sekarang? Ah, Mas Yuda bisa saja mengelak. Biarlah untuk sementara aku selidiki saja dulu. "Kok diam aja? Masih marah, humm ...?" Aku tak bisa mengelak saat Mas Yuda meraih bahuku dan membawa kepalaku ke dada bidangnya. Beruntung Raihan sudah lebih dulu ke teras bersama Ma
Cafe pelangi berada tak jauh dari kantor Mas Yuda. Pagi ini terlihat masih sepi pengunjung. Hanya ada beberapa meja yang terisi dengan sepotong roti bakar isi dan segelas kopi diatasnya. Menu sarapan terfavorite di cafe ini. Beberapa kali Mas Yuda pernah mengajakku ke sini. Aku melangkah masuk melewati pintu kaca. Mataku menyisir ruangan mencari keberadaan Elkan. Namun sepertinya dia belum datang. "Ehm ..., sedang menunggu seseorang?" Aku terlonjak dan menoleh ke belakang. Ternyata Elkan sudah berada di belakangku. "Svģvgungguh aku tersanjung seorang wanita cantik mengajakku bertemu di pagi hari ini." Elkan terkekeh menggodaku. "Apaan, sih!" Aku memutar malas bola mataku. "Yuk, duduk di sana aja!" ajakku seraya menunjuk sebuah meja yang berada di sudut ruangan. Kami duduk saling berhadapan. Seorang pelayan datang hendak menuliskan pesanan kami. "Aku teh hangat dan kentang goreng aja," ujarku. "Aku kopi pahit dan roti bakar selai kacang," tambah Elkan. Pelayan itu pergi setel
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot