"Mas, Gas habis. Minyak habis, bumbu dapur juga banyak yang habis. Ada sisa uang gajian kemarin nggak? Arin minta ya?" ucap Arin dengan nada sedikit mengiba dan takut.
"Minta? Uang gajian kemarin kan Mas sudah kasih kamu lima ratus ribu. Masa, dua minggu sudah habis?" sentak Bayu."Kemarin kan sudah Arin belanjakan keperluan sekolah Agam. Sisa dua ratus ribu, dipinjam ibu seratus. Sisa seratus buat beli kebutuhan dapur sama jajan Agam. Arin sudah nggak ada lagi," ucap Arin sambil meneteskan air matanya. Selalu saja begini, jika Arin meminta tambahan uang dari gaji Bayu yang bekerja sebagai mandor bangunan itu."Alah, itu hanya alasan kamu saja. Bulan kemarin Mas kasih empat ratus ribu saja cukup, kenapa sekarang jadi kurang?" sangkal Bayu tak terima."Kan bulan kemarin Arin ikut nguli padi di sawah Uma. Jadi ada tambahan untuk makan kita. Lagian, gaji Mas sebagai mandor kan besar. Pelit banget sama istri," ucap Arin membuat Bayu naik pitam."Apa kamu bilang? Pelit?" Bayu mengeraskan rahangnya sambil menatap Arin geram."Kamu kira, Mas kerja cuma buat dikasih kamu semua? Kamu saja yang jadi istri kurang bersyukur. Banyak di luar sana yang menjadi janda dan harus banting tulang seorang diri demi sesuap nasi. Kamu, sudah dikasih uang tiap bulan. Tidur enak, suami pekerjaan nggak bikin malu. Masih saja kurang bersyukur! Mas buang baru tahu rasa kamu," teriak Bayu tepat di depan Arin. Mendengar ucapan Bayu yang mengatakan dirinya kurang bersyukur, membuatnya naik pitam juga. Selama ini ia memendam semua yang dilakukan Bayu padanya. Tapi Arin masih bisa sabar, karena ada sosok Agam yang menjadi alasan Asih masih mau bersama Bayu. Agam adalah anak bawaan Bayu yang ia hasilkan dari pernikahan pertamanya dengan mendiang istrinya. Agam dibesarkan Arin dari masih menjadi bayi merah karena istri Bayu meninggal saat melahirkan Agam. Orang tua Bayu meminta Arin untuk menjadi pengasuh Agam dan akhirnya lambat laun Agam terbiasa memanggil Arin ibu dan kedua orangtua Bayu maupun mertua Bayu sepakat menikahkan Arin dengan Bayu.Pernikahan yang tak didasari cinta ini, membuat Bayu suka semena-mena dengan Arin. Gajinya yang terbilang besar sebagai mandor, ia simpan sendiri tanpa mau memberi lebih pada Arin. Bayu merasa jika Arin diberi terlalu banyak, ia akan melunjak dan meminta lebih.Terlebih jika mertuanya datang. Orangtua Arin yang berada di ujung desa, kadang sering berkunjung ke rumahnya membuat Bayu risih dengan kedatangan mereka. Bagi Bayu, mereka hanya akan menambah pengeluarannya saja karena harus memberi mereka ongkos pulang. Jika tidak, maka mereka akan di rumahnya berhari-hari. Itu yang membuat Bayu muak dengan semua keluarga Arin. Keluarga dengan ekonomi menengah kebawah, atau bisa dikatakan miskin.Bayu tak habis pikir, kenapa keluarganya memaksanya menikahi Arin. Baginya, sosok Arin bukanlah wanita sempurna yang enak dipandang mata pria sepertinya.Badan kurus, rambut ikal dan juga kulit sawo matang atau lebih ke arah gelap ini membuat Bayu sangat enggan menyentuh wanita itu. Hanya saat ia sedang benar-benar merindukan mendiang istrinya, ia akan menyentuh Arin. Itupun, ia meminta Arin untuk memakai KB dan bisa dihitung jari berapa kali ia melakukannya selama enam tahun pernikahannya. Bayu tak ingin Arin hamil disaat dirinya belum mencintai wanita yang berstatus istrinya itu.Bayu merogoh saku celananya, mengambil uang lembaran warna hijau dan kuning."Nih, buat beli minyak atau gas terserah kamu. Kalau tak cukup, pake kayu bakar. Kamu kan nggak ngapa-ngapain di rumah. Jika sisa, kamu tabung."Bayu pergi begitu saja setelah meletakkan uang itu di atas meja. Arin melirik ke arah uang berjumlah dua puluh lima ribu itu dengan nelangsa."Jahat kamu, Mas. Jika saja bukan karena kasihan sama Agam, Arin tak akan betah tinggal dengan lelaki keji sepertimu," batin Arin geram. Pernah waktu itu Arin marah dan berniat pisah, tapi mertuanya mengatakan jika Agam sakit saat ditinggal ia pergi. Akhirnya, Arin kembali lagi dan berniat membesarkan Agam seperti anaknya sendiri.Arin memasukan uang yang Bayu berikan dan langsung pergi ke warung. Ia membawa teng gas kosong dan akan membeli semuanya, walaupun harus malu karena mengecer."Bu Mar, beli gasnya ada?" tanya Arin."Coba tengok di depan situ, ada nggak?" sahut Bu Marni pemilik warung komplek."Alhamdulilah masih, saya beli satu ya, Bu." Arin mengambilnya lalu membayarnya."Bu, minyak seperempat berapa?" tanya Arin."Yang kemasan empat ribu, isi 200 ml. Kalau yang curah, sama juga tapi isinya lebih banyak. Mau yang mana?""Yang curah saja, ini sisanya boleh beli telor satu? Yang kecil nggak papa deh, buat makan Agam nanti.""Kurang nggak papa Bu Arin, kayak sama siapa saja," ucap Bu Mar."Nggak lah, Bu. Takut kalau kebiasaan nanti, itu aja kalau boleh telurnya. Kalau enggak, juga nggak apa," ucap Arin santun. Arin memang dikenal sebagai wanita yang ramah dan santun. Ia bahkan tak suka menghutang walau dirinya kerap kekurangan. Ia lebih suka memakan seadanya atau mencari tambahan uang dengan bekerja sambilan. Kadang ia menjadi buruh cuci tanpa sepengetahuan Bayu, ia juga melakukan apapun pekerjaan rumah jika ada yang meminta bantuannya. Tentu warga sekitar juga tahu, dan tak ada yang berani buka mulut maupun komentar pedas pada Bayu. Karena mereka tahu, hal itu akan berdampak buruk pada Arin dan Agam. Arin juga selalu mengatakan pada yang meminta bantuannya, agar tak mengatakan pekerjaannya pada suaminya.Karena iba, akhirnya pemilik warung memberiakan telur berukuran kecil pada Arin. Beruntung harga telur sedang turun, jadi tak begitu membuat pemilik warung merugi."Terimakasih, Bu Mar. Arin pamit, wassalamualaikum." "Waaalikumsalam," jawab Bu Mar sambil melihat Arin yang sudah pergi menjauh."Dari mana, Bu?" tanya Agam selepas pulang sekolah. Agam memang selalu pergi ke sekolah bersama neneknya, ibu dari Bayu."Habis dari warung, nenek mana, Gam?" tanya Arin saat melihat Agam sendirian."Tadi katanya mau cara Ibu, tapi belum balik. Emang, nggak ketemu di jalan?" "Tidak, apa nenek sudah pulang?" tanya Arin mengingat rumah mertuanya yang hanya berjarak tiga rumah dari tempatnya tinggal."Nggak tahu, Bu. Bu, Agam tadi dikasih ini sama temen Agam." Agam menyodorkan kertas lipat sudah terpakai, penuh di tasnya."Banyak sekali? Buat apa?" tanya Arin kaget dengan semua sampah kertas ini."Agam tadi ambilin sisa yang nggak terpakai. Eh, sama temen-temen malah dikasih ini semua. Katanya buat Agam saja," ucap Agam dengan polosnya. Sebenarnya hatinya sedikit sedih, kemarin ia sudah membelikannya kertas lipat tapi ia tak habis pikir jika anaknya ini membutuhkan banyak kertas lipat."Memang punya Agam kurang yang kemarin Ibu belikan?""Enggak, tapi kan sayang kalau sisa hasil prakary
"Mas, tadi ibu pesan karedok sama es sultan sama Mbak Sari. Tapi belum dibayar," ucap Arin saat Bayu sudah mandi dan berganti pakaian. Ia memang sengaja menunggu suaminya sedang santai dan badannya sudah bersih selepas bekerja."Lalu?""Arin sudah nggak ada uang buat bayar. Lagian, semua totalnya tigapuluh lima ribu," ucap Arin."Banyak amat, memang ibu pesan berapa porsi?""Dua karedok dan dua es sultan, yang satunya diantar ke sini yang satunya ke rumah ibu. Arin sudah janji besok mau bayar sama Mbak Sari, ada uangnya kan?""Kenapa karedok yang diantar ke rumah kamu terima? Seharusnya kamu tolak jadi nggak kebanyakan yang harus dibayar," sentak Bayu. "Mana bisa? Itu karedok, bukan beli perabotan dapur yang bisa dibalikin kalau nggak suka atau nggak bisa bayar. Lagian, Arin mana tahu ibu pesanin karedok itu. Arin aja nggak suka, soalnya pedes banget dan akhirnya dimakan Wisnu."Bayu melirik ke arah Arin, mencari kebenaran atas ucapan istrinya itu. Bayu beranjak mengambil kunci motor
Arin keluar dari tempat Bu Puji. Hari ini ia ada janji mengantar upah hasil kerjanya membersihkan rumah untuk membayar karedok yang mertuanya beli."Mau bagaimana nasib kita ya, Gam," ucap Arin lirih pada anak angkatnya ini. Arin memang kerap mengajak Agam ikut bekerja jika ia sudah pulang sekolah. Karena ia tak mau mertuanya tahu, jika ia pergi keluar rumah untuk bekerja. Agam sendiri sepertinya tak tahu, jika Arin pergi dari rumah ke rumah untuk mencari tambahan uang."Kenapa, Bu?" tanya Agam dengan polosnya."Ibu sedih lihat kamu nggak bisa jajan enak kayak teman-teman yang lain.""Nggak apa, Bu. Lagian, Agam suka kok begini. Asal sama Ibu terus, Agam rela gak jajan. Tapi, Ibu jangan pergi lagi ya?" Sepertinya kepergian Arin waktu itu membekas di hati anak kecil berumur enam tahun ini. Inilah alasan Arin masih mempertahankan rumah tangganya dengan Bayu, lelaki berwatak keras dan juga pelit."Asal Agam janji, nurut sama Ibu dan nggak boleh bikin ayah repot. Agam kan tahu, Ayah itu
"Bu, Ayah ajak Agam keliling alun-alun pake mobil baru Ayah. Mama ikut ya?" ajak Agam. Bayu menyusul masuk Agam ke kamar untuk berganti pakaian."Mas beli mobil baru?" tanya Arin."Iya.""Kok nggak tanya Arin?""Tanya? Buat apa tanya, kan Mas beli pake uang Mas sendiri. Kenapa harus izin kamu? Aneh," umpatnya."Agam keluar dulu, ya? Main sama nenek. Ibu mau bicara sama Ayah sebentar.""Iya, Bu."Arin menatap Bayu tajam meminta penjelasan pada suaminya ini."Mas, Arin ini istri sah Mas. Seharusnya, hal seperti ini kita bicarakan. Mas katanya nggak punya uang lebih, setiap hari Arin diminta hemat pengeluaran. Ternyata hematnya Arin, hanya untuk membuat Mas memperkaya diri sendiri. Sampai keuangan Mas, Arin tak boleh ikut campur," ucap Arin dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Kamu ini aneh. Suami dapat rezeki lebih, kamu malah sedih dan tak bersyukur. Pantas hidupmu selalu mengeluh, kamu ini istri yang tak bisa menerima setiap pemberian suami. Mas ini hemat karena kita perlu banyak tab
"Biar saya bantu, Mbak." Susi mengambil alih pisau yang Arin sedang gunakan memotong wortel."Nggak usah," ucap Arin menarik kembali pisau yang diminta Susi hingga tak sengaja menggores sedikit jari Susi."Aw!" rintih Susi.Bayu yang baru selesai dari kamar mandi mendengar rintihan Susi seketika terkejut. "Kenapa, Si?" tanya Bayu."Nggak apa, Mas. Hanya sedikit terkena pisau saat hendak memasak," ucap Susi membersihkan darah dengan menghisapnya."Sini biar Mas lihat," ucap Bayu membuat Arin geram."Perhatian sekali kamu, Mas? Biasanya aku berdarah sampai satu gayung saja kamu biasa saja. Kenapa sekarang jadi lebay gitu? Jangan-jangan benar dugaan Arin. Susi itu bukan saudara Mas, tapi selingkuhan Mas.""Arin!" bentak Bayu membuat Arin bertambah murka."Apa? Benar ucapan saya, Mas? Ck! Pantas Mas pelit dan sangat perhitungan, ternyata uang itu Mas gunakan untuk merayu wanita," ucap Arin kalap. Bayu yang murka seketika melayangkan pukulan di wajah Arin.Plak!Pipi Arin yang hampir berke
"Assalamualaikum, Bu." Arin masuk ke dalam rumah dengan menyeret koper miliknya. Bu Narsih yang melihat anaknya pulang dengan membawa koper kaget dengan kepulangannya kali ini."Waalaikumsalam, Arin. Kamu kenapa pulang membawa koper?" tanya Bu Narsih, ibu dari Arin."Mas Bayu usir Arin." Bu Narsih tampak terkejut. Arin yang merasa lelah badan dan pikiran memilih masuk ke kamarnya yang dulu ia tempati saat masih gadis.Bu Narsih pergi menyusul Bapak Karyo yang sedang berada di sawah untuk memintanya segera pulang. Bu Narsih panik melihat anaknya pulang dengan kondisi yang berantakan. Bu Narsih takut hal buruk telah terjadi pada anak sulungnya ini."Pak! Pak!" Pak Karyo yang sedang mencangkul lahan di sawah berhenti dan menengok ke arah Bu Narsih."Pak! Ayo, pulang!" teriak Bu Narsih kembali. Pak Karyo yang melihat istrinya kalut, memilih segera menyudahi aktivitasnya."Ada apa, Bu? Sampe teriak-teriak begitu?" tanya Pak Karyo."Itu loh, Pak. Anak kita," ucap Bu Narsih dengan nafas yang
Pagi ini, Karyo berencana mengunjungi rumah Bayu seorang diri. Ia tak ingin Arin sedih jika nanti ia ajak ke sana. Biarlah hari ini ia hendak mencari tahu penyebab kemarahan Arin terhadap Bayu. Dengan menaiki ojek, ia bertandang ke kota tempat Bayu tinggal. Kota berlambang bunga Wijaya Kusuma ini tempat Bayu menetap, masih dalam satu kabupaten dengan tempat tinggal Karyo hanya ia di desa dan Bayu di kota.Ojel sampai di depan rumah Bayu, rumah tampak sepi dan hanya ada mobil berwarna putih yang ada di depan rumah. Karyo berjalan ke arah pintu, mengetuk pintu perlahan."Assalamualaikum," panggil Karyo. Tak ada jawaban dari dalam sana, membuat Karyo kembali mengetuk pintu. Terdengar suara dari arah jendela dan itu seperti sebuah desahan wanita dan laki-laki. Tak ingin berpikiran buruk, Karyo hendak mengintip dari jendela. Ia tak bisa melihatnya karena jendela tertutup rapat oleh gorden. Tapi ia mendengar dengan jelas suara itu saat sudah mendekati jendela kamar."Mas, kayak ada yang ket
"Rin, ini uang pembayaran kambing Bapak. Kamu besok kembali ke pengadilan agama untuk melanjutkan berkasmu agar segera diproses. Bapak mau semuanya cepat selesai," ucap Karyo. Arin menerima uang senilai dua juta yang baru Karyo dapatkan dari penjual kambing."Makasih, Pak. Mengurus perceraian itu butuh waktu yang lama ya, Pak. Harus wara wiri ke pengadilan. Arin jadi kasihan sama Bapak kalau harus ikut terus, besok Arin berangkat sendiri saja.""Yakin?" "InsyaAllah," jawab Arin tegas."Yo wis kalau begitu, Bapak besok mau ke Lomanis. Bude meminta Bapak buat bersihin kebun belakang rumahnya," ucap Karyo."Iya, Pak." Arin memasuki kamarnya, meletakkan uangnya di dalam laci lemarinya dan bersiap tidur.🌷"Pak, Arin nggak papa dibiarkan berangkat sendiri?""Nggak papa, Bu. Arin kan sudah pernah ke sana sama Bapak kemarin. Insya Allah nggak apa. Bapak mau sekalian berkunjung ke rumah abang Bapak yang pada di Lomanis itu." Karyo adalah anak dari 5 bersaudara. Ayah dari Arin ini, adalah a
Tentu saja sikap Arin yang mencegah Kaisar untuk mencari tahu mengenai kejadian jatuhnya Arin di kamar mandi sekolah itu membuat Kaisar semakin penasaran. Sekolah yang memiliki biaya cukup mahal untuk bisa mengenyam pendidikan di sana itu sangat mustahil jika memiliki kloset yang licin. Tanpa sepengetahuan Arin, Kaisar pun mendatangi sekolah Shaka. Sengaja hari ini Arin tidak diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah dan istirahat di rumah ditemani oleh Shaka. Ibunya—Narsih—juga diminta Kaisar untuk menemani Arin di rumah karena Arin menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Kaisar langsung datang menemui kepala sekolah. Dia datang untuk menanyakan perihal kualitas sekolah yang dijadikan tempat menuntut ilmu anaknya itu. Kaisar merasa heran karena Shaka tiba-tiba terlihat tidak nyaman bersekolah di sana."Selamat pagi, Pak.""Pagi Pak Kaisar. Silahkan duduk!" titah Pujiono–kepala sekolah itu."Ada perlu apa ini? Tumben datang ke sekolah seorang diri.""Hari ini saya ingin meminta izin untuk
“Mas.”Malam ini Arin ingin sekali bercerita mengenai alasan ia mengajak Shaka pulang lebih awal. Kaisar yang masih sibuk dengan pekerjaannya pun menghentikan sementara.“Kenapa, Rin?”“Kayaknya keputusan Mas untuk pindahin Shaka itu betul deh.”“Kenapa emangnya? APa tadi ada masalah lagi yang terjadi di sekolah.”Arin mengembuskan napasnya kasar. Bukan perihal yang mudah untuk bercerita hal mengenai mantan suaminya itu pada suaminya kini yang notabene super protektif pada keluarganya.“Aku pikir, semua yang kita bicarakan saat itu adalah suatu hal yang harus kita lakukan sekarang.”“Kenapa?”“Tadi aku ketemu Mas Bayu. Dia …”“Dia kenapa?”Arin bingung mau mengatakan hal ini atau tidak, namun ia juga tak mau direndahkan sampai dibuat kasar dengan cara yang tidak patut oleh lelaki yang sudah menjadi mantan. Jika dulu saja ia bisa marah saat Bayu memukulnya, seharusnya ia sekarang lebih marah dari pada itu. Namun, ia kembali berpikir mengenai bisnis sang suami yang sedang dianggap sedan
Arin tak menyangka bakal bertemu Bayu di sekolah Shaka. Ia sangat menyesali kenapa harus menyekolahkan anaknya di tempat yang sama. Arin pun semakin yakin memindahkan Shaka setelah ini dan memilih sekolah di tempat lain yang berbeda dengan Bayu.Jam istirahat dimulai. Para murid keluar dan berhambur bermain di taman bermain yang ada di sekolah itu. Shaka mendekat ke arah Arin dengan wajah yang ditekuk.“Kenapa, Sayang? Kenapa nggak main sama teman teman?”“Nggak mau ah, Ma. Satria nakal lagi. Tadi buku Shaka dicoret coret dan disobek. Ma, Shaka mau pulang aja. Nggak mau sekolah,” rengek Shaka.Arin yang melihat anaknya menangis pun memilih untuk memangkunya dan memeluknya hangat. Memberi pengertian agar Shaka tidak sedih lagi setelah dikerjai Satria.“Ada anak Mami! Ada anak mami! Hahaha.”Suara Satria yang meledek Shaka membuat Arin geram. Namun, Arin bukan memarahi Satria melainkan mendatangi Bayu yang sibuk bermain gadget sendiri tanpa memperhatikan anaknya.Brak!Arin menggebrak m
“Gatsu.”“Nggak usah. Nanti langsung ke rumah aja, istirahat. Kasihan SHaka diajak kerja juga.”“Nggak kerja lah, cuma temani doang.”“Baiklah. Terserah kamu saja. MAs pergi dulu.”Arin kembali turun setelah bersalaman dengan Kaisar lalu melambaikan tangan melepas kepergian suaminya bekerja. Faktor keuangan yang sedang menurun, membuat Arin harus banyak banyak berdoa dan berusaha. Makanya dia akan menyusul nanti jika sekolah Shaka sudah selesai. Hitung hitung membantu suaminya bekerja. Tentunya dia niatkan beribadah. Biar tidak menimbulkan pertengkaran dan perdebatan jika hasilnya tidak memuaskan.Suara klakson mengagetkan Arin yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu wali murid. Sebenarnya tidak disarankan masuk dan menunggu anaknya, tetapi Arin masih ingin memastikan baik baik saja. Tin!Lagi lagi Arin dibuat kesal karena mobil itu justru membuntutinya jalan ke halaman sekolah, hingga Arin bertambah kesal saat ada Bayu yang di dalamnya“Hai, Rin.” Bayu menyapa dengan senyum
“Kenapa dengan Satria? Siapa dia?” tanya Narsih."Teman Shaka, Bu. Dia biasa jahilin Shaka. Nggak hanya saka, yang lain juga. Emang dasar anaknya gitu. Mau marahin juga percuma. Gak bakalan mudeng. Orangtuanya aja gak tahu etitut," adu Arin."Sudah sudah. Kita bicarakan nanti saja. Udah siang ini Shakanya," sela Kaisar yang tidak ingin membahas tentang keburukan orang lain di depan anaknya.Kaisar benar benar mengantar Shaka. Dia meminta Arin untuk menunggu Shaka masuk dan meminta Arin untuk kembali ke mobil."Ada apa sih, Mas?" tanya Arin heran melihat gelagat suaminya yang aneh."Nggak. Shaka udah masuk?""Udah. Barusan udah masuk. Hari ini Satria nggak datang. Aman."Arin mengembuskan napasnya perlahan lalu tersenyum di depan Kaisar."Mas mau tanya apa?""Memang Mas mau tanya?""Hiz! Serius. Mau nanya kali ini sama Arin nggak?""Mau sih. Tapi, kamu harus jawab jujur.""Apa?" tanya Arin serius mendengarkan."Mas mau tanya. Wajah kamu pake formalin ya? Kok awet cantiknya?" kelakar Ka
“Kenapa kamu bangunkan Mas kesiangan, Rin? Hari ini Mas akan ke gudang buat cek data yang semalam belum Mas selesaikan,” tanya Kaisar panik saat dibangunkan Arin kesiangan.“Tenang aja. File udah aku cek dan memang ada keanehan di Mellynya. Bukan salah toko atau gudang. Jadi Mas hanya perlu tanyai Melly, kenapa dia sampai berlaku demikian. Kita butuh penjelasan dia mengenai hal ini. Dia harus bertanggung jawab dan Mas harus bisa bertindak bijak. OKe?”Arin memang sudah menyelesaikannya semalam. Dia hanya membereskan beberapa dan itu cukup sangat membantu membuat Kaisar lelap tidur dan puas istirahat sampai pagi.“Ya ampun, begini ini yang kadang bikin Mas nggak mau tidur dulu kalau kerjaan sudah beres. Kamu pasti yang selesaikan. Ya sudah, aku mau mandi dulu. Kamu pasti udah siapkan sarapan, ya?” “Belum. Aku mau sarapan di rumah Ibu bareng kamu.”“Tumben?” tanya Kiasar heran.“Lagi pengin aja. Yuk ah, buruan! Mas mandi, aku mandiin Shaka.”Keduanya gegas beranjak sebelum melakukan ak
“Mas,” panggil Arin.Kaisar yang sedang memeriksa laporan keuangan tempatnya bekerja, menengok sekilas. Wajahnya nampak serius, membuat Arin untung untuk mengatakan perihal kejadian di sekolah tadi.“Kenapa, Rin?” tanya Kaisar saat ia sudah kembali melihat berkas berkasnya dan merasa Arin tidak berkata apapun setelah itu.“Arin bantu ya pekerjaannya?” Arin pun memikirkan untuk membantu saja, daripada mengeluhkan ini itu.“Shaka udah tidur?”“Udah. Boleh ya?”“Ini itu bentar lagi selesai. Ada sedikit perbedaan antara income di aplikasi sama yang Mely tulis.”“Kok bisa?” tanya Arin kaget.Akhir akhir ini memang usahanya agak bermasalah. Selain bisnis yang kian menjamur, juga adanya pesaing yang memakai cara kotor, akhirnya perusahaan pun banyak yang terancam. Meski dalam hal bisnis ini adalah hal yang biasa, tetap saja Arin merasa sedih dan ingin kembali ikut membantu suaminya.“Itulah. Kalau percetakan yang di Gatsu itu nggak lagi beromset banyak, kemungkinan pengurangan karyawan pun h
“Ma,” panggil Shaka saat kini sudah mulai jam istirahat sekolah.“Udah istirahat, Sayang?”“Udah. Mom nungguin Shaka?” tanya Shaka heran karena melihat Arin yang ada di sekolah. Biasanya Arin akan meninggalkan Shaka di kelas dan Arin akan menyusul Kaisar bekerja. Namun, kali ini ia memang ingin menunggui anaknya itu untuk menjamin keselamatannya.“Iya. Sengaja Mom tunggu, biar nggak ada yang bisa gangguin kamu.”“Hai Shaka, main yuk!” ajak bocah kecil bernama Gendis.“Ma, Shaka main sama Gendis di perosotan sana ya?” tunjuk Shaka pada mainan yang ramai dipenuhi oleh anak anak yang asyik bermain.“Iya. Hati-hati ya, Nak.”Arin melihat dari kejauhan, apa yang sedang dilakukan Shaka. Dia nampak senang anaknya itu punya banyak kawan di sekolah ini. Meski kebanyakan yang berteman dengan Shaka adalah anak-anak perempuan, ia tak masalah. Justru ia merasa lega karena berteman dengan anak perempuan membuatnya merasa aman karena terhindar dari perkelahian antar teman nantinya.Satria mendekati
Ternyata Prameswari hanya mengantar Satria saja. Anak bawaan Bayu itu tidak ditunggui oleh ibunya dan itu adalah hal yang cukup mengagetkan karena setalah Prameswari keluar ruangan, Arin diminta untuk masuk ke dalam ruangan kepala sekolah."Sebenarnya ada hal apa saja yang dipanggil ke ruangan ini?" Tanya Arin heran sekaligus bingung."Maaf jika saya memanggil Ibu secara mendadak dan tiba tiba. Tetapi pas kebetulan ibu berada di sini untuk mengantar, jadi saya berpikir untuk meminta ibu langsung menemui saya di sini.""Tidak masalah. Apa yang sudah terjadi, Pak?""Justru itu hal yang ingin saya tanyakan kepada Ibu Arin. Sebenarnya ada masalah apa ibu dengan orang tua Satria?""Orang tua Satria? Siapa yang sedang Bapak maksud itu?""Bu Prameswari. Beliau tadi melaporkan bahwa, katanya Ibu sudah membuat beliau kesal dengan kata-kata yang tidak patut dan tidak sopan. Jadi, Saya ingin mengetahui masalah apa yang sedang terjadi antara Bu Arin dan Prameswari? Apakah ini karena pertengkar