Sedari tadi Raga gelisah, bukan tanpa alasan karena Noah mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan di sebuah night club dan hanya mengundang para sahabat saja tanpa boleh mengajak orang luar.Otomatis Davanka akan bertemu dengan Ramona di pesta Noah tersebutRamona adalah independen woman, dia bukan wanita murahan yang mengejar-ngejar pria tapi tetap saja Raga resah, khawatir Davanka dan Ramona CLBK.Jadi sedari tadi Raga diam-diam terus memantau gerak-gerik Davanka dan Ramona. “Dav, mau gue ambilin minum?” Ramona bertanya ketika dia sudah beranjak dari kursi.“Boleh,” jawab Davanka biasa saja.“Oke.” Dan Ramona pergi menuju meja bar untuk meminta bartender membuatkan minuman.Ramona tahu percis apa minuman kesukaan Davanka dan dia kembali dengan dua gelas yang salah satunya adalah minuman favorite Davanka.“Thanks.” Davanka bergumam saat menerima gelas berisi minuman dari tangan Ramona dan saat itu dengan jelas Raga melihat jemari Ramona dan Davanka bersentuhan.Ramona ter
“Gue anter aja, ayo Mon.” Ucapan Davanka itu sampai membuat mata Raga membulat.“Si Kampret, gue mati-matikan misahin kalian … lo malah suka rela deket-deket si Mona.” Raga mengumpat di dalam hati.“Beneran?” Ramona tentu saja senang sekali.Davanka menganggukan kepalanya lalu masuk ke dalam mobil diikuti Ramona.“Gue anter si Noah sama Aubrey, lo anter Stephani.” Anton memberi instruksi demikian karena ketiga sahabat mereka itu sudah tidak sadarkan diri dampak pengaruh alkohol dan tidak mungkin pulang sendiri.Raga mengembuskan napas seraya menatap malas Anton yang tengah memasukan Noah ke dalam mobil sedangkan Aubrey masih di dalam night club. Dia pun menuntun Stephani yang berada di dalam pelukannya ke dalam mobil setelah sebelumnya menatap tajam Davanka memberi peringatan.Davanka seolah tidak mengerti arti dari tatapan Raga, dia mengangkat tangan sebagai kode pamit ketika mobilnya mulai melaju keluar dari parkiran.Tidak ada yang bersuara selama perjalanan menuju rumah R
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi saat Davanka tiba di rumah.Tentu saja semua orang sudah tidur terkecuali sekuriti yang membuka pintu pagar.Dia memarkirkan mobil di depan teras dan memberikan kunci kepada sekuriti untuk diparkirkan di garasi lalu masuk ke dalam rumah.Davanka sempat mengecek ponselnya, tidak ada pesan dari Zevanya.Apakah istrinya itu tidak ingin tahu apa yang dia lakukan hingga pulang larut?Pasalnya Davanka juga tidak memberi kabar akan pulang malam.Davanka langsung naik ke kamarnya, dia mendapati lampu utama kamar sudah padam berganti lampu tidur.Pria itu melangkah menuju walk in closet sambil menoleh ke arah ranjang di mana Zevanya tengah terlelap. Davanka membuka pakaian setelah sampai di walk in closet lalu menggantinya dengan pakaian tidur yang nyaman. Dia pun masuk ke dalam kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci wajahnya.Setelah semua ritual sebelum tidur dilakukan, Davanka naik ke
“Yah … kayanya Anya sama abang lagi marahan deh,”celetuk bunda sambil menyimpan gelas teh untuk ayah di meja di samping kursi yang beliau duduki. “Ah … masa? Tapi tadi pagi Ayah lihat Anya masih ngelayanin abang sarapan pagi.” Ayah tidak percaya.“Nah itu, walau lagi marah tapi Anya masih mau ngelayanin abang … malah waktu abang lembur hari Rabu dan kamis kemarin—Anya yang bukain pintu buat abang, nungguin abang di ruang tamu sampe tengah malem.” Zevanya hanya tidak mau Davanka membangunkan asisten rumah tangga yang sudah tidur di paviliun belakang.“Luar biasa sekali menantu kita.” Ayah memuji.Bunda mengangguk setuju.“Terus ya, Bunda ‘kan lagi sibuk ngurusin nikahan Aya … Anya bantuin Bunda tuh ‘kan ya dan kalau sesekali Bunda tanya tentang abang atau suruh Anya kasih tahu abang sesuatu, Anya pasti minta bunda langsung yang bilang sama abang … kayanya beneran deh mereka lagi berantem, tapi gara- gara apa ya? Apa karena Mona?”Bunda terus menerka-nerka, dia tidak ingin ruma
“Anya mana, Bun?” Adalah pertanyaan Davanka ketika memasuki ruang makan saat tidak menemukan Zevanya di sana padahal ketika dia bangun—Zevanya juga tidak ada di kamar mereka.“Kamu udah periksa kopernya belum? Soalnya tadi Anya ijin pulang ke rumah ibunya … katanya enggak tahan punya suami doyan ke nightclub sama mantan.” Bunda bicara acuh tak acuh sembari menyiuk nasi untuk ayah.“Mantan Abang siapa? Abang enggak punya mantan.” Davanka menyanggah tatkala bokongnya berhasil mendarat di kursi meja makan. “Mantan cewek yang kamu suka.” Bunda memperjelas.Davanka menatap bunda sekilas dengan sorot mata tidak terima, dia lantas menyiuk nasi dan lauk-pauk sendiri padahal biasanya Zevanya yang melakukan untuknya.“Kalau kamu belum siap menikah seharusnya jangan menikah … kamu bawa anak orang tinggal sama kamu untuk kamu cuekin, apa enggak sadis namanya?” Nada suara ayah terdengar dingin menusuk indra pendengaran Davanka.“Padahal mungkin ibunya Anya masih membutuhkan Anya dari pada
Zevanya memberengutkan wajahnya.“Ngapain Abang ke sini?” Zevanya bertanya dengan nada ketus.Tapi tangannya sibuk menuang nasi dan lauknya ke piring Davanka.“Kan lo denger tadi, gue mau nginep di sini.” Davanka menjawab santai.“Iya, Anya tau … tapi ngapain pake nginep segala? Kasur Anya kecil trus keras, enggak senyaman kasur di kamar Abang.”“Enggak apa-apa, yang penting tidurnya sama lo.” Davanka menjawab di dalam hati.Pada kenyataannya dia tidak merespon, mulutnya sedang sibuk digunakan untuk mengunyah.Dan masakan ibu selalu berhasil memanjakan lidah Davanka.“Ini minumnya.” Zevanya menyimpan gelas berisi air mineral ke dekat piring Davanka.“Lo enggak makan?” Davanka bertanya karena Zevanya hanya duduk dengan wajah masam tanpa mau menatapnya.“Udah tadi.” Zevanya masih menjawab ketus.Padahal Zevanya ingin Davanka bertanya kenapa sikapnya dingin dan ketus seminggu ini juga menanyakan alasan kenapa dia pulang ke rumah ibu tanpa ijin.Zevanya ingin berdebat, ingin m
Zevanya sibuk sekali selama seminggu ini membantu bunda menyiapkan pernikahan Kanaya-adik kandung Davanka yang dijodohkan dengan seorang pengusaha sukses asal New York.Sejujurnya Zevanya merasa sangat insecure karena calon menantu ayah bunda itu adalah seorang Konglomerat, sederajat dengan keluarga Gunadhya.Sedangkan dirinya hanya orang bisa, miskin pula.Namun yang membuat Zevanya bisa bertahan dari rasa insecure-nya adalah karena ayah dan bunda begitu menyayanginya dan menganggap dirinya adalah bagian dari mereka.Terbukti dari bunda selalu bertanya pendapat Zevanya dari mulai menyiapkan pesta pernikahan dirinya dengan Davanka sampai pesta pernikahan Kanaya.“Anya punya rekomendasi Wedding Planner yang bagus, enggak?” “Anya puas enggak sama acara pernikahan Anya kemarin?”“Menurut Anya, bunga apa yang bagus untuk dekorasi resepsi Aya?”“Enak mana catering-nya?”“Kira-kira Aya suka dekorasi warna peach enggak ya, Nya?” Dan masih banyak lagi pertanyaan bunda yang terkada
Davanka kehilangan Zevanya, istrinya sibuk sekali bersama bunda dan Kanaya dari sebelum acara dimulai.Bunda juga seolah tidak mau jauh dari Zevanya, Davanka jadi curiga.Apa yang sebenarnya mereka bicarakan tadi malam?“Anya mana, Ga?” Davanka bertanya pada sahabatnya usai mendaratkan bokong di kursi.Sang sahabat tampak gundah sekali sambil mematuti layar ponsel.“Tadi pergi sama Aya.” Raga menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.“Pergi ke mana?” Davanka bertanya lagi.Dia juga menoleh ke pelaminan dan tidak melihat Kanaya di sana.Hanya ada Ryley bersama kedua orang tua dari kedua mempelai menyambut tamu undangan yang memberikan selamat serta doa.“Tau tuh, ke toilet kali … tadi mereka ke belakang pelaminan.”Di belakang pelaminan memang ada sebuah ruangan dengan satu set sofa dan toilet.Davanka mengambil langkah cepat menuju ke sana, dia tidak ingin sang istri terus dikaryakan oleh keluarganya.Mereka memiliki asisten yang siap melayani dua puluh em
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid