Davanka kehilangan Zevanya, istrinya sibuk sekali bersama bunda dan Kanaya dari sebelum acara dimulai.Bunda juga seolah tidak mau jauh dari Zevanya, Davanka jadi curiga.Apa yang sebenarnya mereka bicarakan tadi malam?“Anya mana, Ga?” Davanka bertanya pada sahabatnya usai mendaratkan bokong di kursi.Sang sahabat tampak gundah sekali sambil mematuti layar ponsel.“Tadi pergi sama Aya.” Raga menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.“Pergi ke mana?” Davanka bertanya lagi.Dia juga menoleh ke pelaminan dan tidak melihat Kanaya di sana.Hanya ada Ryley bersama kedua orang tua dari kedua mempelai menyambut tamu undangan yang memberikan selamat serta doa.“Tau tuh, ke toilet kali … tadi mereka ke belakang pelaminan.”Di belakang pelaminan memang ada sebuah ruangan dengan satu set sofa dan toilet.Davanka mengambil langkah cepat menuju ke sana, dia tidak ingin sang istri terus dikaryakan oleh keluarganya.Mereka memiliki asisten yang siap melayani dua puluh em
Zevanya mendekat ke sofa setelah mengambil minyak kayu putih di atas meja.“Aku balurin kayu putih ya?” “Enggak … bau! Jauhin!” Kanaya menutup hidungnya.Zevanya mengeluarkan lipstik dari dalam tas.“Kalau gitu benerin dulu lipstiknya.” Zevanya memberikan lipstik beserta cermin kecil kepada Kanaya.“Males ah …,” katanya menghela tangan Zevanya yang memegang lipstik.Zevanya mengembuskan napas pelan, dia memasukan kembali lipstik ke dalam tas.“Aku bilang ke WO agar acaranya dipercepat aja gimana?” Kanaya yang masih bersandar punggung sambil memijat pelipisnya dengan mata terpejam pun menganggukan kepala.Dia tidak kuat berdiri lagi di pelaminan dan bertemu banyak orang dengan aroma parfum tamu yang membuatnya mual.“Anya ….” Suara Kanaya menahan langkah Zevanya sebelum mencapai ambang pintu.“Ya?” Zevanya membalikan badan.“Thanks ya … bilang sama Abang, aku minta maaf.” Zevanya tersenyum. “Iya, nanti aku balik lagi.” “Enggak usah, Abang ke sini tadi itu nyariin ka
Pesta pernikahan yang dari puncak acara hingga selesai tanpa kehadiran mempelai pengantin wanita itu berakhir juga.Zevanya sudah tidak tahu lagi kabar Kanaya tapi tadi ayah meminta seluruh anak-anaknya berkumpul di suite beliau tanpa boleh dihadiri orang luar termasuk Ryley dan Zevanya.Sepertinya mereka sedang melakukan rapat keluarga.Zevanya ikut prihatin dengan apa yang ayah dan bunda alami tapi tidak mau ikut campur juga.Setelah mengantar ibu ke loby untuk pulang diantar Pak Iip, Zevanya kembali ke kamar.Dia akan berendam air hangat di bathub untuk menghilangkan lelahnya.Entah berapa lama Zevanya di dalam sana, sepertinya dia ketiduran kemudian terbangun saat mendengar ketukan di pintu.“Anya!” Disertai seruan Davanka memanggil namanya.“Iya bentar, Bang.” Zevanya berteriak, dia buru-buru membasuh tubuhnya lantas memakai bathrobe.“Ketiduran?” Davanka menyindir sambil melengos masuk ke dalam kamar mandi ketika baru saja Zev
Zevanya tersenyum melihat mobil suami tercinta sudah terparkir di depan halaman gedung fakultasnya.Pria itu keluar dari kabin belakang. Zevanya berlari menghampiri dan tanpa segan memeluk Davanka yang ternyata balas memeluknya.Jadilah mereka menjadi tontonan para mahasiswa yang berada di sekitar situ.FLASHBACK ONIce Sugar : Balik jam tiga, kan?”Cobaan Hidup : Iya Ayang.Davanka tersenyum membaca pesan dari Zevanya.Ice Sugar : Gue jemput.Cobaan Hidup : Dalam rangka apakah Kakanda Ayang Tercinta menjemput Adinda?Ice Sugar : Oh lo Adinda, gue kira lo Anya … bini gue.Sekarang Zevanya yang tersenyum.“Bini gue katanya.” Zevanya bergumam.Cobaan Hidup : Ini Anya, Bang … istri kontrak Abang.Dan senyum Davanka pudar.“Mesti ya dia bahas itu.” Davanka membatin.Ice Sugar : Hari ini ulang tahun ibu, gue mau ajak ibu makan di luar.Cobaan Hidup : Oke, Ayang. Davanka tidak lagi membalas tapi beberapa jam kemudian saat dalam perjalanan menuju kampus Zevanya, ponselnya
“Pegang yang bener, kalau ancur lo harus ganti.” “Iya Ayang.” Zevanya menyahut dengan nada ceria penuh suka cita meski Davanka bicara kepadanya dengan nada dingin dan ketus. Zevanya sudah terbiasa, Davanka memang ketus, dingin dan cuek tapi pria itu sangat perhatian dan penuh kasih sayang.Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gang rumah Zevanya.“Tunggu di sini, gue jemput ibu.” Davanka turun sebelum mendengar sahutan dari Zevanya.Zevanya celingukan menoleh ke mulut gang.Kenapa Davanka mau repot-repot sekali menyiapkan kejutan ulang tahun untuk ibu mertua dari istri kontraknya?“Ini gue kepedean enggak sih kalau gue menganggap abang udah jatuh cinta sama gue?”Zevanya berbicara sendiri.Pikiran Zevanya langsung bertraveling ke malam setelah pesta pernikahan Kanaya.Di mana untuk pertama kalinya Davanka berbuat kelewat nakal menggunakan jarinya.Dan kalau mengingat hal itu, Zevanya selalu bergidik dampak dari desiran dari dalam tubuhnya.“Nak Dava, ibu jadi en
Ibu mengerjapkan mata, lampu ruangan begitu terang menyilaukan mata ibu.Beliau memejamkan kembali matanya.“Lampunya udah abang matiin, Bu.”Mendengar suara putrinya, ibu langsung membuka mata.Ibu memindai sekeliling, beliau menyadari kalau sedang berada di dalam sebuah kamar dengan interior mewah seperti rumahnya dulu ketika sang suami masih hidup. “Bu … Ibu mau ke rumah sakit?” Itu sang menantu yang bertanya.“Enggak usah … Nak Dava, Ibu minta maaf … Ibu enggak bisa menerima ini,” kata ibu yang sudah mengingat alasan kenapa dia sampai pingsan.“Tapi rumah ini saya beli untuk hadiah ulang tahun ibu, jadinya tadi Anya yang tanda tangani semua berkas alih namanya.” “Ini terlalu mewah, Nak … Ibu enggak pantes dapet ini.” “Enggak Bu, Ibu lebih dari pantas … sebagai bentuk Terimakasih saya karena ….” Davanka menghentikan kalimatnya.Dia melirik Zevanya lalu mengembalikan tatapan kepada ibu yang raut wajahnya seperti menunggu kelanjutan kalimat sang menantu.“Karena sudah m
Semakin ke sini Davanka tidak bisa mengendalikan dirinya.Segala bentuk perhatiannya alih-alih membuat Zevanya senang dan bahagia malah membuat dia ketakutan.Zevanya takut jatuh cinta kepada Davanka yang mungkin saja tidak pernah mencintainya.Padahal Zevanya sudah sering memberikan peringatan tapi pria itu seperti tidak menggubris.Contohnya saat ini, ketika mereka berada di dalam pesawat pribadi keluarga Gunadhya—dalam perjalanan ke Zakhyntos untuk menghadiri pesta pernikahan adik sepupu Davanka—berulang kali pria itu menarik selimut yang turun dari pundak Zevanya.Dengan sering juga mengecek suhu tubuh Zevanya, menempelkan punggung jari ke pipi Zevanya.Zevanya tidak demam, pengecekan suhu tubuh itu dilakukan Davanka guna mencari tahu apakah Zevanya kedinginan atau tidak.Zevanya belum terlelap sehingga bisa merasakan perlakuan manis Davanka tersebut.Jadi, kalau sudah begini Zevanya harus bagaimana?Apa boleh dia berharap kepada pria itu?Apa bisa dia menitipkan hatinya
Ini adalah kali pertama Zevanya melancong ke Luar Negri dengan fasilitas eksclusive yang dimiliki sang suami.Bayangkan, baru saja turun dari tangga pesawat—sebuah mobil mewah telah siap menjemput mereka. Dan bukan hanya satu, ada banyak.Jadi satu mobil tidak dempet-dempetan melainkan hanya diisi oleh satu kepala keluarga.Dan di dalam satu mobil itu hanya ada Davanka dan Zevanya sedangkan keluarga Davanka yang lain yang ikut dalam privat jet milik Gunadhya untuk menghadiri pesta pernikahan adik sepupu Davanka itu menggunakan mobil lainnya.Zevanya tertakjub-takjub melihat interior mobil yang mewah.“Ada kulkas!” Zevanya berseru pelan.Zevanya membukanya.“Jangan norak Anya.” Davanka memperingati.Sekarang Zevanya memandang ke arah luar, menikmati pemandangan bangunan-bangunan rumah dan gedung-gedung dengan arsitektur asing yang baru sekarang dia liat secara langsung.“Keren banget ya, Bang … Anya berasa kaya lagi main film Mafia gitu.” Ada saja celetukan Zevanya yang me
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid