Sekuat tenaga Azril memberi alasan yang tepat agar orang tuanya mengerti. Ia tidak mengatakan pernikahan yang sesungguhnya. Azril tidak ingin membuat orang tuanya sedih.
“Tidak baik bertamu di malam hari, Mih. Nanti saja Azril atur pertemuannya, ya!”
“Kamu sedang tidak mencegah Amih dan Bapa, ‘kan, Ril?” Kini Amri mengomentari sikap putranya yang seolah sedang menahannya.
Azril gelagap dan meneguk salivanya kuat, tetapi dengan cepat langsung memberi kalimat yang membuat orang tuanya yakin.
“Enggak, Pa, justru Azril sangat senang, tetapi sekarang belum waktunya.” Azril menegaskan, walau dalam hatinya memang belum siap mempertemukan orang tuanya dengan Safa.
Wanita paruh baya itu mengangguk pasrah. “Baiklah, Amih hanya mendoakan yang terbaik untukmu.”
Azril tersenyum manis, tidak tega melihat antusias ibunya yang harus ia kecewakan. Namun, ia berjanji akan membawa Safa secepatnya di hadapan Amih. Seketika Azril pun pamit untuk kembali pulang.
“Hati-hati, salamkan Amih pada istrimu, ya!” Hamidah menitip pesan. Padahal, ingin sekali berjumpa pada calon menantunya itu.
Sedangkan Azril mengiyakan walau dirinya belum yakin salam itu diterima atau tidak. Saat itu pula, Azril langsung bergegas pergi karena waktu hampir larut. Meski Safa tidak mencarinya, tetapi Azril memiliki tanggungjawab yang besar terhadap Safa sehingga tidak ingin meninggalkan dalam waktu yang lama.
Sesampainya, suasana di rumah pun tampak hening dan Azril menapaki kakinya begitu pelan. Ia tidak ingin mengganggu orang rumah hingga berhasil masuk ke kamar Safa dan terlihat wanita itu sudah terbaring dengan asal.
Tanpa bersuara, Azril membenarkan posisi tubuh Safa dan menyelimutinya yang sudah tertidur pulas. Bibirnya melengkung senang, lalu mendaratkan di kening Safa dengan lembut.
“Selamat tidur, Fa!” ujar Azril lirih. Ia tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Safa, terlebih menjadi bagian dari hidupnya.
Ia menyesal jika mengingat ke belakang, tetapi dalam hatinya berjanji untuk bisa membahagiakan Safa dan membuatnya tersenyum mulai sekarang.
Setelah memandangi Safa dengan puas, Azril segera menjauh sebelum Safa sadar. Kemudian pergi tidur di sofa yang sebelumnya sudah mengambil bantal juga selimut.
Pagi harinya Safa terkejut saat mendapati kain tebal yang membungkus tubuhnya, terlebih posisi tidurnya berada di tempat. Seingatnya, semalam Safa tertidur dengan asal. Pikirannya mulai buruk hingga membuka selimut dan bernapas lega saat pakaian lengkapnya masih melekat di tubuh.
Tak lama, pintu kamar mandi terbuka membuat Safa hampir terlonjak. “Ka-kamu! Sejak kapan kamu di sini?”
Safa memicingkan matanya tidak suka. Lagipula kapan dia datang, Safa tidak mendengarnya sama sekali. Ah, apa mungkin dia juga yang memindahkan tubuhnya semalam?
Wanita itu pun menggeleng tak percaya. Tanpa menunggu jawaban, Safa kembali menyambar pertanyaan lain. “Dan siapa yang menyuruhmu berada di kamarku?”
“Aku, ‘kan suamimu, Fa,” kata Azril polos.
Sedangkan Safa semakin geram dan bangkit dari tempat tidurnya. Ia malas mendengar kalimat Azril yang terus mengatakan hal itu.
Azril sendiri hanya bisa mengelus dada melihat sikap Safa dan tidak terlalu memedulikannya. Ia segera merapikan diri dan berpakaian kemeja yang dibawa dari rumah semalam.
“Fa, hari ini aku akan kembali bekerja,” kata Azril melihat Safa keluar dari kamar mandi. Tangannya sembari membenarkan dasi di hadapan cermin.
“Terus?” Safa menjawab jutek. Ia tak peduli dan memilih membereskan tempat tidurnya.
Azril menghela napas sabar. Kemudian, tubuhnya berbalik dan mendekati Safa. “Aku memberitahu, Fa, biar kamu tidak mencari.”
Safa tertegun mendengar pernyataan Azril yang sangat percaya diri. Lagipula, untuk apa ia mencarinya bahkan jauh lebih bagus karena Safa bisa melakukan apa yang ia inginkan tanpa diikuti oleh pria itu. Hatinya tak berhenti menggerutu.
“Kamu kalo mau pergi, jangan lupa kabari aku juga, Fa,” ujar Azril tersenyum.
Safa hampir terkejut, ingin sekali mengeluarkan serapah dalam mulutnya. Baru saja ingin bebas, tetapi pria itu sudah bertindak lebih dulu. Ia pun melirik tajam Azril dan mengepal tangannya kuat.
“Tidak usah marah. Itu memang sudah kewajibanmu untuk memberitahu suami ke mana pun kamu pergi.” Azril tahu apa yang ada dalam hati Safa, lalu berjalan mendekati nakas. “Oh, iya ibuku titip salam untukmu dan ini ada titipan dari beliau.”
Azril pun memberikan bingkisan yang semalam diamanahkan. Ia tidak berharap balasan dari Safa, yang penting amanah sang ibu telah tersampaikan.
Safa sendiri mengernyit bingung, enggan menerima bingkisan tersebut. Tatapannya tak lepas dari Azril seolah meminta penjelasan. Bagaimana bisa beliau memberikan sesuatu terhadap seseorang yang belum dikenalinya.
“Safa, ini amanah dari ibuku. Tolong terimalah!” Azril membujuk dan tahu betul apa yang Safa pikirkan. Terlebih, ia belum pernah memperkenalkan ibunya. Pasti dia bingung dan banyak pertanyaan dalam otaknya.
Safa agak ragu hingga memilih pasrah, lalu mengambil bingkisan yang Azril berikan. Seketika bibir Azril tersenyum seraya dalam hatinya berkata pasti ibunya sangat senang. Meski Safa belum sepenuhnya menerima kehadiran Azril.
Tanpa pamit, Azril langsung pergi dan tidak ada sikap manis seperti pasangan lainnya. Walau Azril menginginkan hal itu, tetapi semua mustahil rasanya.
Sementara Safa, penasaran dengan apa yang ada dalam bingkisan tersebut. Ia sedikit mengintip dan membuat otaknya menerka penuh tanya.
“Apa ini?” Safa terkejut saat melihat benda berwarna merah di dalam. Ia pun mengambilnya, membuat debaran kuat dalam dada.
Safa pun semakin tercengang saat benda itu dibuka. Sebuah perhiasan kalung yang tampak mewah. Ia tidak bisa terima dan kembali memasukkan benda itu ke dalam tempatnya. Rasa gemuruh dalam dada semakin menyeruak.
“Apa maksudnya dia memberikan ini?” Tangannya mengepal keras tidak terima. “Jangan harap kamu bisa menyogokku dengan perhiasan, Ril!” lirih Safa sendu karena sampai kapan pun hatinya tidak akan luluh.
Teringat luka hatinya yang masih terbayang bahkan Safa hampir trauma karenanya, tetapi dengan kehadiran Faqih membuatnya kembali membuka hati. Ah, amarah Safa semakin memuncak hingga akhirnya memilih bangkit dan keluar kamar.
“Neng Safa mau pergi juga?” tanya Bi Inah melihat nona mudanya yang sudah rapi.
“Iya, Bi, Ayah sudah berangkat?” Safa kembali bertanya ingin memastikan keberadaan ayahnya.
“Sudah, Neng, barusan berangkat.”
Safa mengangguk senang. Kesempatan dirinya untuk menyelesaikan urusan hati yang membuat pertanyaan panjang.
“Neng mau pergi ke mana?” tanya Bi Inah sebelum nona mudanya pergi.
“Ke rumah teman, Bi,” kata Safa yang sudah berjalan. Ia asal menjawab karena jika memberitahu jujur Bi Inah, pasti dicegah. Ia tahu betul sikap ayahnya yang pasti sudah mengingatkan pembantu rumahnya itu.
Safa pun pergi sendiri bersama ojek online yang sudah ia pesan. Ia berjalan menuju rumah kekasihnya yang tidak ada kabar. Barangkali ia mendapat penjelasan dan keterangan di sana.
Pencarian pertamanya setelah menanyakan kepada semua rekan dan media sosialnya yang tidak aktif. Safa nekat demi mengetahui keberadaan sang kekasih. Sesampainya, Safa agak ragu karena terlihat sepi seperti tidak berpenghuni.
Saat hendak memasuki rumahnya, Safa diberhentikan oleh salah seorang yang mungkin penjaga rumahnya.
“Maaf, Nona, cari siapa, ya?”
“Saya mencari Faqih, Pak, apa dia ada di dalam?” Safa begitu sopan, walau dalam hatinya sedikit takut.
“Maaf, Nona, sudah tiga hari ini rumahnya kosong karena tuan muda hendak melakukan pernikahan.”
Bagai hantaman besar menusuk dadanya. Jantung Safa seakan berhenti sejenak dengan tubuhnya yang amat lemas. Ia sangat terkejut karena tiga hari yang lalu merupakan hari pernikahannya, tetapi justru Faqih tidak hadir. Lantas, ke mana dia pergi?
Safa terdiam untuk mengatur napasnya yang sesak. “Apa Bapak tahu siapa wanita yang akan dinikahkan Faqih?”
Hatinya menunggu jawaban yang terasa menjanggal. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu di balik hilangnya sang kekasih.
“Kalo tidak salah Tuan Muda pernah menyebutnya Safa. Iya Nona Safa.”Safa semakin lemas dan ingin meruntuhkan tubuhnya begitu saja. Nama itu merupakan dirinya sendiri, tetapi mengapa Faqih tidak hadir di hari pernikahan.“Lalu, apa Bapak tahu di mana keberadaan Faqih sekarang?” Safa terisak nyeri dalam dadanya. Ia semakin penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh.“Maaf, Non, saya tidak tahu karena saya pun baru bekerja di sini,” kata pria paruh baya tersebut. “Kalo boleh tahu Nona ini siapa?”Safa tidak tahan lagi hingga ia pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Entah apa yang terjadi pada kekasihnya sekarang. Ia berlari sekuat tenaga dengan tangis yang terus mengalir di pipi.“Argh, Mas Faqih. Di mana kamu, Mas?” lirih Safa berhenti di tepi jalan. Ia tidak peduli dengan para kendaraan yang memerhatikannya.Pikiran Safa berjalan melalang buana. Rasanya tidak mungkin jika Faqih berbohong. Jika dia menikah bersama wanita lain, mengapa tidak ada satu pun yang tahu di mana keberadaannya.Sa
Pria muda itu tengah memandang wajah Safa dengan cemas. Beruntungnya ia tidak terlambat sehingga dapat menangkap tubuh Safa yang tumbang. Kini, wanita itu sudah terbaring lemah di atas ranjang.“Jangan menyiksa diri, Fa! Sedih boleh, tetapi tidak perlu dzolim sama diri sendiri. Tubuh juga perlu perhatian,” kata Azril terus mengoceh.“Kenapa kamu belum makan?” Azril mendesak Safa yang tak menjawab. Tatapannya tak lepas dari Safa. “Sekarang, makanlah! Biar aku suapin.”Safa menahan. Ia berusaha bangkit dan menolak tawaran Azril. “Biar aku sendiri, aw!”Ringisan itu terdengar membuat Azril menghela napas. “Lebih baik kamu nurut, biar aku suapi.”Mau tidak mau, Safa pun mengalah. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama. Suapan demi suapan, pria itu begitu telaten menyuapi hingga matanya bertemu membuat Safa mengalihkan pandangan.Ia sedikit tertegun dengan perhatian yang kembali terulang beberapa tahun silam bahkan dia terlihat lebih dari yang Safa kira. Namun, segera ia tepis untuk tidak
Safa pun langsung terbelalak. Air liurnya tertahan dan menepis tangan kekar itu untuk segera menyingkir di atas dahinya.“Aku sudah lebih baik,” kata Safa menahan rasa degupan jantungnya yang naik turun.“Syukurlah, tetapi kamu tumben sekali meminta izin,” Azril memandang bingung, aneh sekali dengan sikapnya. “Hmm, apa kamu sedang mengigau?”“Aku mengatakan dalam keadaan sadar,” ujar Safa asal, lalu beranjak menjauh. Tidak ingin terus berhadapan dengannya. “Lagipula kamu sendiri yang mengatakan untuk memberitahu jika aku ingin pergi.”Azril menghela napas. Memang benar apa yang dikatakan Safa, tetapi rasanya aneh sekali. Apa mungkin itu efek dari sakit kemarin? Entahlah, ia tak ingin banyak bertanya.Pria itu merogoh saku, lalu mengambil sesuatu dan diberikan kepada Safa. “Ini untukmu!”Safa mengernyit bingung saat Azril meletakkan lembaran merah yang berada di atas telapak tangannya.“Apa maksudnya? Kamu tidak bisa menyogokku dengan sejumlah uang, Ril!” Safa tidak terima dengan balas
Safa tak berhenti menangis dan terus mundar-mandir menunggu kabar sang ayah. Hatinya tak tenang, penuh khawatir terjadi sesuatu.“Andai kamu tidak hadir lagi dalam hidupku, hal ini tidak akan terjadi,” cecar Safa menatap tajam Azril. Ingin sekali menampar dan mengusir pria itu dari sini.“Berhentilah untuk menyalahkan keadaan, Fa. Daripada kamu emosi, lebih baik banyak berdoa untuk kesehatan Ayah.” Azril mengingatkan. Ia sama sekali tidak merasa tersakiti oleh ucapan Safa.Wanita itu menggeram kesal, lalu pintu ruangan terbuka membuat Safa mengalihkan dan bergegas mendekati sang dokter yang keluar.“Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?” tanya Safa khawatir.“Ayah Anda terkena serangan jantung, tetapi syukurnya segera dibawa kemari. Saya sarankan untuk menjaga kestabilan emosinya, ya. Jangan sampai membuatnya tertekan, sebab hal itu bisa membahayakan jantungnya.” Sang dokter menjelaskan dengan gamblang.Perasaan Safa berkecamuk mendengar ayah yang memiliki penyakit mematikan. Entah sejak
“Kamu mengapa menamparku, Fa?” Azril tertegun saat mendapat tamparan dari wanita yang ditolonginya.“Tidak usah mengambil kesempatan.” Safa murka saat tatapan Azril begitu menghunus amat dekat. Ia pun segera bangkit dan menjauh.“Kesempatan apa yang kamu maksud, Fa? Apa seperti ini?” Pria itu ikut bangkit dan sengaja mendekati Safa bahkan tanpa segan merapatkan tubuhnya dengan rangkulan bahu yang semakin rapat.Mata Safa melebar menahan amarah yang bergemuruh. “Ish, tidak usah peluk-peluk sana menjauh.”Safa berusaha melepaskan rangkulannya. Ia risih dan ingin segera pergi, terlebih beberapa pasang mata memerhatikan ke arahnya. Sungguh, bikin malu.“Padahal saat tertidur tadi kamu sendiri yang peluk aku.”Safa meneguk saliva dan semakin murka pada pria itu. Ternyata dia menyadari hal itu, tetapi dia sengaja membiarkan. Ah, malu sekali. Kini hatinya sudah dipenuhi oleh bara api yang rasanya ingin segera diluapkan.Namun, sekuat tenaga ia tahan. Pria itu benar-benar menguji kesabarannya
Azril mengangguk mengerti apa yang telah diceritakan oleh ayah mertuanya, tetapi ia juga tidak ingin memaksa hati Safa untuk mencintainya.“Ayah, Azril khawatir dengan Safa.” Tidak bisa dipungkiri jika hatinya tidak tenang. Pikiran Azril melalang buana jika Safa akan melakukan hal nekat.“Jangan lepas Safa dari doamu, Nak. Ayah yakin Safa baik-baik saja. Anak itu hanya butuh waktu dan menenangkan pikirannya untuk lebih terbuka.”Walau dirinya merasa khawatir, tetapi Marlan rasa Safa masih memiliki iman yang kuat. Hanya saja ego yang tinggi membuat Safa sedikit keras.Sementara Safa menghentikan langkahnya di taman. Membiarkan suara gemuruh dalam dada dikeluarkan dengan tangis. Duduk di kursi kosong, bingung pada dirinya sendiri, tidak tahu mengarah ke mana.Penuturan ayah membuatnya tertampar, tetapi Safa sulit percaya begitu saja sama Azril. Entah sogokan
“Az-ril!" Safa tersentak kaget, bagaimana bisa pria itu datang kemari. Seketika wajahnya merunduk. Pria itu memandang sendu, tahu betul perasaan Safa, terlebih kehilangan wanita yang telah melahirkan dan mengenalkan diri pada dunia. Rindu dengan alam berbeda memang menyakitkan. Azril melangkah mendekat, lalu ikut berjongkok dan menatap wajah Safa yang begitu sembab. “Maafkan aku, Fa.” Hanya permintaan maaf yang mampu Azril ucapkan. Keadaan yang dialami mungkin hal terberat bagi Safa, tetapi Azril tidak akan membiarkan Safa melewatinya sendirian. Lagipula, ia tidak akan memaksa Safa untuk membalas cintanya. Azril akan menunggu sampai Allah menggerakkan hati Safa. Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. “Ayo kita pulang.” Azril merangkul bahu Safa lembut dan tersenyum seraya menenangkan wanitanya. Safa terpaku, tubuhnya begitu lemah dan menurut sampai akhirnya pria itu membantu Safa berdiri. Sebelumnya, Safa melirik ke arah sang pusara ibu untuk pamit pergi. “Bu, Safa pulang, ya. M
Setelah kejadian itu, Safa menjadi lebih diam. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar bahkan tidak ikut serta menjemput ayahnya hari ini yang dikabarkan pulang dari rumah sakit.Safa ingin kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda seraya mengobati hatinya yang dilema. Menjalani kesibukan seperti biasa.Saking fokusnya, Safa tidak sadar dengan kehadiran seseorang hingga terdengar suara dehaman. Seketika kepalanya menoleh, memerhatikan pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu.“A-ayah!” Segera memeluknya penuh kasih sayang.“Kenapa kamu tidak ikut Azril? Kamu masih marah dengan Ayah?” Marlan memandang wajah putri kecilnya yang ia rindukan.Marlan merasa kesepian setelah kejadian kemarin. Saat itu, Safa tidak hadir lagi di rumah sakit dan hanya Azril yang setia menemani dirinya.Safa menggeleng, sama sekali tidak marah. Hanya saja belum siap menampakkan wajahnya di hadapan sang ayah.“Maafin Safa, Yah. Safa tidak mau membuat Ayah semakin marah karena melihat Safa,” ujarnya
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me