Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Begitulah pembalasan dendam.
* * *
Senin pagi Wira menghubungiku, dia meminta bantuan untuk membawakan 35 set seruling di rumahnya. Pekikan kesal terpaksa terlontar, malam tadi tak banyak tidur hingga pukul setengah empat mata baru dapat terpejam sesaat.
Kepala sedikit pening ketika berhasil kujambangi, rumah kontrakan di sekitar Jalan Pembangunan. Si kuncir tersenyum menyambut, dengan dua kantong pelastik hitam.
"Kau bercanda, kan?"
"Hehe, gimana? Segerkan pagi-pagi jalan ke rumah gua, haha!" Kutarik kunciran rambutnya, ia mengaduh meminta maaf.
"Kau benar-benar brengsek! Semalam gak tidur, baru subuh tadi tidur dua jam dan lu bangunin gua cuma buat ngajak ngopi!? Sialan!" Maaf kalau sedang emosi mulutku memang suka sarkas.
"Sorry bro.. Senin pagi gua suka kesepian. Baru setengah tujuh, yuk berangkat. Lumayan beramal di subuh hari, hehe."
"Tai! Aku gak ada jadwal, lagian
Lihatlah kebenaran melalui dua mata manusia. Tak ada yang lebih jujur di sana. * * * Satu semester ini aku melarikan diri, ke kampung halaman untuk menenangkan diri. Dengan alasan skripsi akan dirampungkan di sana. Dosen pembimbing menyetujui keinginanku, kami akan bertemu lewat surel. Di sinilah aku sekarang, rumah berkusen tua namun menyimpan kenangan yang menghangatkan hati. Terkhusus mengapa aku ingin mata ini menghilang. Enah, panggilan sayangku pada ibu. Menyambut dengan senyum yang selalu manis, bahkan di usia 60 tahun. Sementara Bapak duduk di pelataran kursi rotan, menyambut dengan anggukan. Aku memeluk Enah dengan kangen yang amat, setelah cukup lama tak pulang karena sibuk dengan kuliah dan organisasi. Lalu menghampiri Bapak, mencium tangannya, memeluk tubuh gagah yang selalu membimbingku dengan ketegaran hatinya. "Alhamdulillah, kamu pulang juga. Kenapa toh Za? Apa ada yang di perlukan, sampai harus pulang?" En
Trauma tropisme: pertumbuhan sebagai reaksi terhadap luka. * * * Hanya psikopat yang tak akan berempati dan simpati, bahkan merasa kehilangan. Ketika teman bahkan sahabat sendiri, mati setelah berdebat dengan lu dan perasaan lu santai aja! Gak! Taklif adalah teman sekaligus sahabat, bahkan sudah gua anggap seperti saudara sendiri. Begitu tau dia mati pagi itu, mana mungkin gua bisa hidup tenang. Kelakuan, omongan, kebiasaan, bahkan kebersaam kita untuk yang terakhir kali. Semua gak bisa gua lupain, ini dosa yang harus gua tanggung sendiri. Gua yakin Aiza juga merasakan hal yang sama, makanya dia ngomong ngaco hanya agar gua gak merasa bersalah. Sialnya lagi dia harus berurusan, sama tuh' burung gagak pembawa petaka. Gua yakin ini pasti gara-gara itu semua! Berharap jazad Taklif ditemukan, ikut bagian tim SARS terjun ke lapangan. Tapi pihak kampus dan polisi pantai, ngehalangin gua untuk ikut nyari Taklif. Gua harus nyari
Waktu tengah malam hingga subuh adalah dunia kami. Tapi manusia senang sekali mengganggu ketenangan ini. Lalu, sekarang mengapa kami yang dihukum?! * * * Setelah bapak mengatakan demikian, subuh hari aku merasa tubuh tak bisa di gerakan. Rasanya ada sesuatu yang membuatku tak bisa bangun, namun untuk membuka mata saja rasanya takut. Membaca dalam hati pun rasanya sulit, mungkin inilah yang dinamakan ketindihan lagi. Padahal sudah lama peristiwa ini tak pernah terjadi. Setidaknya setelah peristiwa penutupan mata ke enam di lakukan. Tubuhku benar-benar berat, telinga bahkan mendadak sangat peka. Kudengar suara gerakan hingga seperti berbisik di telinga, "kenapa tidak bangun.." kalimat itu terdengar jelas. Sementara dada terasa sesak, mau tidak mau kali ini kucoba melawan. Membaca doa-doa dalam hati sekuat tenaga, membuka mata dan tak ada apapun di atas tubuh. Ringan, itu yang dirasa hin
Waktu itu kita masih di batas kota, melihat matahari tenggelam menutup cakrawala. Hanya untuk menyadari, bahwa kita ada untuk meramaikan suasana. * * * Lelaki berambut gondrong itu lagi-lagi mangkir, absen perkuliahannya sudah macam tempat duduk sepi penonton, bolong-bolong. Di kosan pun dia tak muncul, beberapa anak kos bilang si gondrong itu pergi menggunakan motor sejak subuh tadi. Tetapi siapa yang menyangka, bahwa ia ikut solat subuh di Mesjid Agung Alun-Alun kota. Jangan tanya kenapa, sudah pasti ada hubungannya dengan sobatnya. Ya Wira mungkin sarkas dan kadang pecicilan, tapi dia juga orang yang sangat peduli dan melankolis. Terkhusus jika orang itu menjadi sangat spesial dalam hidupnya. Jika kau pikir cemen betul, cowo gagal move on. Hey, manusia punya titik rapuhnya masing-masing. Tidak semua orang sekuat dirimu, dan tidak juga semua orang semelankolis Wira saat ini. Tapi memang begitulah
Aneh ya, kenapa orang selalu lebih berharga ketika sudah tak ada lagi di dunia ini. * * * Lagi-lagi Aiza tak bisa tertidur, malam ini bulan purnama melingkar sempurna di atas sana. Alam raya mendadak ramai berpesta, energi-energi dari dunia sana nampak tengah bersemangat. Buktinya Aiza merasa lemas seharian ini, ia sudah menelepon Wa Ega dan Kang Dimas untuk membantunya memproteksi diri. Tapi sepertinya ada yang salah di lingkungan tempat Aiza tinggal sekarang. Padahal dia sudah jaga-jaga agar hal ini tak terjadi lagi. Tring tring tring! Nama Wira bertengger di layar ponsel, waktu yang kurang tepat untuk mendapat gangguan dari makhluk macam dia. Tatepi daripada sendirian dan di datangi kaum dedemit, Wira dedemit sepertinya lebih bersahabat. "Apa?" Jawab Aiza tak berselera. "Jirrr judes banget dah si Akang." Wira selalu menanggapi santai badmood Aiza. Ibarat kata
Aku tau kau berbeda bagi dunia, tapi kau adalah satu di dunia kami yang memang ada.* * *Pergi ke menemui Wa Ega seharusnya tak perlu banyak drama, tapi siapa sangka menemukan rumahnya akan terasa sesulit ini. Sudah hampir dua jam Aiza berputar-putar di Bundaran Suci, tapi entah kenapa dia selalu kembali ke jalan yang sama atau tersesat dan memaksa putar balik.Pada akhirnya Aiza memilih merapatkan diri sebentar, di penjual dewegan hijau. Mungkin karena lelah ia jadi teringat bayang-bayang Taklif, juga Wira yang masih saja seterkenal sekarang. Ya cowo gondrong itu memang memiliki kepribadian mudah bergaul, walau sesekali Aiza juga merasakan Wira hanya ingin bersama dia dan Taklif. Khususnya si kacamata empat yang pasti akan selalu ditarik paksa Wira, kemanapun ia ingin pergi. Aiza kadang merasa iri juga, di antara mereka bertiga. Hubungan Wira dan Taklif seperti saudara kembar saja, tidak terpisahkan. Bahkan teman-teman sudah tak ane
Dia bersinar di kegelapan, sementara yang lain di waktu fajar.Manusia memang terkadang curang.Merenggut kedua waktu alam.* * *Jembatan pendek yang menghubungkan dua batas yang terpisah arus sungai Cimanuk. Membawa arus air deras di bawah dua kaki mereka, menuju senja di ufuk Barat. Keduanya tak bicara hanya memandang langit yang mulai berubah warna, ini saatnya sang raja meninggalkan bumi sejenak.Salah satu diantaranya telah resah sejak tadi, jantung yang tak henti memompa darah lebih cepat dari biasanya. Angin malam yang makin kencang, keratan tangan pada pegangan jembatan makin mengencang. Sementara seseorang di sampingnya hanya menatap tanpa ekspresi, udara makin kian menusuk kulit."Kenapa gak pergi?" Tanya lelaki berambut gondrong, dengan ekspresi tak ada gairah hidup. Sementara orang di sampingnya makin bergetar hebat."Karena kau masih di sini.""
Emosi tak akan membuat solusi, biarkan waktu yang membuat perjalanan panjang tentang kehilangan dan pertemuan.* * *Setelah mendapatkan ceramah habis-habisan dari bapak kost, keduanya sepakat untuk berdamai. Bahkan sekarang malah menikmati mie rebus dengan telur, katanya sebagai perayaan perdamaian mereka."Lu sendiri, kenapa malah ke jembatan?" Tanpa ba bi bu, Wira bertanya di tengah suapan mie yang sedang mereka santap. Padahal sejak tadi fokus mereka hanya pada mie dan televisi."Mimpi.""Yang jelas.""Gua mimpiin Taklif semalam." Wira yang sejak tadi mengamati ekspresi Aiza lagi-lagi tertunduk, sebelum akhirnya ia juga mengatakan mendapatkan mimpi yang sama.Dalam mimpinya mereka duduk bertiga, di tepi pantai Laut Selatan. Mereka berdua tak mengatakan apapun kepada si kacamata itu, justru Taklif yang banyak bercerita di sana. Sampai ucapannya memb
Tak ada yang tau bagaimana jalan cerita ini. Cerita hidupku, dan masa depanku. Maka dari itu aku butuh seseorang meyakinkan ku. Bahwa semua ini bisa kami jalani bersama. * * * Satu malam sebelum hari pernikahan tiba esok. Naya memilih duduk di kursi santai yang tepat menghadap kolam renang hotel. Tempat di mana acara pernikahan mereka akan dilaksanakan. Mungkin menakutkan ya memang, apa lagi pandangan mata Naya tidak sama seperti yang lainnya. Namun kali ini, dia merasa akan baik-baik saja. Salah satunya karena Aiza duduk di sampingnya. Malam itu langit bertabur bintang, cerah seperti yang mereka inginkan. Kedua kakak beradik ini akan terpisah jarak dan waktu. Tetapi bagi keduanya, tidak ada penyesalan yang harus mereka sesali. Sementara Nayanika menatap bintang, Aiza menunggu apa yang ingin adiknya itu sampaikan. Lelaki jangkung itu sedikit bingung. Untuk apa Naya memanggilnya tiba-tiba. Apa lagi di tempat sepert
Mungkin mata ku tidak akan bisa melihat mereka kembali.Tetapi, aku akan selalu menghormati keberadaan mereka.Mungkin tak dapat dilihat oleh mata, tetapi bisa di mengerti melalui Sang Pencipta.* * *Aku menelepon kakek dan menceritakan perihal mimpi itu. Tentang sosok yang kutemui, taman itu, dan dua gerbang dunia di sana yang berbeda. Air yang aku minum dan juga kulihat. Lalu kakek bilang aku sangat beruntung. Ada makna dalam mimpi tersebut, satu mengenai bagaimana caraku menggunakan kemampuan melihat makhluk itu. Kedua mengenai bagaimana selama ini aku membantu dengan kemampuan itu, dan yang ketiga adalah apa yang terjadi jika aku menggunakannya dengan tidak bijaksana. Juga, mengenai balasan apa yang akan diterima jika perbuatan kita baik atau buruk.Namun kakek mengingatkan bahwa, semua kembali pada cara ku memperlakukan kehidupan.Surya telah mengatakannya pada Enah dan Bapak. Aku mengantarkann
Aku tidak yakin. Tentang semua hal saat ini.* * *Setelah obrolan dengan Suryakanta, Nayanika duduk di gazebo halaman belakang di subuh hari. Ngeri betul kalau ada yang melihat gadis itu sendirian. Mereka pasti akan mengatakan ada penampakan kuntilanak. Walau sebenarnya memang ada sih di pohon besar sana. Di salah satu halaman tetanggangganya.Naya sudah kenal dengan sosok wanita itu. Tetapi berkat perlindungan kakek, dia tidak bisa masuk ke sini. Makanya sesekali Naya yang mengunjunginya. Hanya saja subuh ini mereka hanya saling menyapa lewat semilir angin."Aku gak mau canggum lagi di kantor, jadi. Malam ini aku mau ngomong sama kamu Nay!""Bentar. Ngomong apaan?""Tentang ucapan kakek atau Kak Aiza." Hening sejenak, "..walau tanpa restu mereka pun. Aku akan mengatakannya sama kamu Nay. Aku jatuh suka! Jauh sebelum ini. Saat kita masih di
Jika kakak tanyakan 'apa aku baik-baik saja?'Sebenarnya aku takut. Tetapi..Selama kalian bersama ku. Sesulit apapub itu, aku akan baik-baik saja.* * *Aku terkejut, tak berani menatap matanya ataupun melihat wajahnya. Kak Aiza mengatakan hal itu, seolah selama ini dia adalah beban untukku. Padahal, akulah yang menjadi bebannya selama ini.Sejak ia bisa melihat mereka. Sedetik pun, dia tak pernah absen mencemaskan keadaan ku. Bahkan di saat untuk pertama kalinya. Kami bisa berbagi cerita dan rahasia mengenai mereka. Kak Aiza harus bergelut dengan rasa takutnya sendiri.Benar. Aku tau Ka Aiza harus menutup indra ke enamnya karena ketakutan Enah. Bahkan ketika dia harus memilikinya kembali. Hal yang paling ia cemaskan adalah perasaan Enah. Bahkan aku juga yakin, saat ini kakak juga pasti memikirkan. 'Apa Enah akan mengetahui cerita ini. Sekali lagi?'.Aku tidak tau, bagaimana car
Sekali lagi. Ini terjadi, tetapi aku juga bertanya mengenai hal yang sama."Apa aku benar-benar telah kehilangan kemampuan itu?"* * *Jika dulu kemampuan itu membawa perpecahan diantara keluarga. Dan memilikinya kembali, juga menyatukan keluarga ini. Lalu kenapa aku merasa, justru ada yang hilang dan kehilangan arah ketika tak memilikinya?Bukankah dulu ketakutan terbesar karena memiliki kemampuan itu. Tetapi karena hal itu juga, aku bisa menolong banyak orang. Tidak. Bukan berarti aku kecewa pada keputusan ini atau.. mengapa harus sekarang kemampuan itu menghilang. Apakah kemampuan itu tidak akan kembali lagi, bahkan untuk selamanya kali ini? Bagaimana dengan Nayanika, adikku itu. Kenapa dia tidak berkata apapun jika memang benar dia sudah mengetahuinya.Tiga bocah itu! Apa mereka ada di sini. Di rumah ini? Aiza tiba-tiba bangkit dari rebahannya, lalu mengamati seisi ruangan televisi. Ia mengambil tongkat
Bolehkah, seseorang membagi tubuh dan jiwanya? Aku juga tidak mengerti menjawab perihal ini. Terlebih, setelah dunia itu tertutup kembali untukku. * * * Seva masih di sini. Dia tidak lekas menjawab perkataanku, yang tentu saja membuat rasa penasaran bertambah.Apa Niskala memang ada dengan meraka? Apa jiwa Niskala tidak tenang? Atau Seva hanya mempermainkannya saja, setelah mengetahui kebenaran dari nya? Aiza tidak yakin wanita di depannya benar-benar Niskala. Bukan kah Seva tidak bisa melihat mereka juga. Lalu, mengapa dia mengatakan hal itu? Apa Shin yang menyuruhnya untuk berakting. "Sepertinya, kau benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tenang saja hahaha, aku hanya bercanda Aiza!" seva tertawa di depannya, tapi aiza tidak tahu apa itu memang layak untuk ditertawakan. "Hah.. kau tidak suka rupanya, maaf. Tapi.. ya aku berharap kakak ku, Niskala. Memang masih berada di dunia ini." Ekspresi ga
Biarkan kebenaran yang berbicara, biarkan takdir menemukan jalannya.* * *Seperti yang Aiza katakan tempo hari, dokter mengatakan bahwa sore ini Aiza sudah dapat pulang. Masalah benturan di kepalanya tidak parah, kalaupun terasa pusing itu karena ia baru saja menjalani perawatan dan kondisi darahnya belum stabil. Tangan dan kakinya yang terluka juga sudah sembuh, bersyukurlah retakan kecil di kaki kirinya tidak parah dan gips telah membantu tulangnya untuk menempel kembali dengan sempurna. Selebihnya hanya resep dokter dan menjaga pola makan agar pasien bisa lekas sembuh serta beraktivitas seperti sebelumnya.Sampai saat ia pulang dan dijemput seperti janji sobatnya itu. Aiza masih belum menyadari sesuatu, bahkan ketika Naya bereaksi memegang lengan baju Aiza dengan erat. Lelaki jangkung itu malah berkata bahwa Naya seperti bocah yang takut hilang. Karena hal itu Naya melepaskan lengan baju Aiza dengan marah, dan memilih masuk mobil
Apa ceritanya akan kembali seperti dulu?Apa semua akan baik-baik saja?* * *"Kau tidak perlu cemas. Untuk saat ini, lebih baik begini. Kaka mu tidak perlu tau bahwa ia tidak bisa melihat makhlul-makhluk itu lagi. Mungkin dengan begini kesembuhannya akan lebih cepat."Naya melamun di depan layar laptop yang kini telah padam. Pikirannya sedang tidak berada di tempat rupannya, bahkan ketika Enah datang untuk menebus obat dan kembali, ia menyaksikan anak gadis nya melamun dengan pandangan kosong ke arah layar laptop yang mati. Wanita lima puluh tahunan berkerudung pich itu melirik Aiza yang juga sejak tadi mengamati adiknya. Kakaknya itu sudah memerhatikan tingkah adiknya sejak lima belas menit yang lalu. Bahkan ketika Enah datang dan melirik dengan pandangan bertanya padanya."Kenapa adik mu?"Begitulah makna tatapan matanya. Aiza menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya jawaban tida
Aku mempercayainya lalu aku mengikutinya, karena aku meyakininya. * * * Seperti yang sosok itu katakan, aku tidak ragu untuk menutup mataku dan melangkah terus kedepan. Tidak peduli apa nanti akan tersesat atau tidak, dia bilang 'percayalah pada apa yang engkau yakini'. Lalu aku merasa walau mata tertutup, jalan itu membentang luas dipenglihatanku. Seolah sesuatu menarik dari arah depan sana, agar terus melangkah tanpa ragu. Lalu sayup-sayup suara doa-doa menggema, makin lama semakin terdengar jelas. Lagi-lagi seperti katanya, suara yang aku kenal dan kurindukan. Enah mengaji dan berdoa memanggil namaku berulang kali, hingga cahaya itu yang teramat menyilaukan membuat mata terbuka dan kulihat langit pucat ciri khas rumah sakit. "MasyaAllah! Alhamdulillah...Aiza! Aiza, ini Enah Za.MasyaAllah,bapak! Aiza bangun Pak!" Lalu suara bapak dan Naya juga terdengar, dan begitulah sampai akhirnya aku bena