Beberapa menit sebelumnya, Juno mendapatkan kabar dari Adrian kalau Rosaline menghilang saat tiba di kota ini. Juno pun disibukkan mencari mamanya. Dia sampai lupa menyimpan ponselnya di mana dan menghubungi Alea. Saat dia kembali ke kantor, Alea sudah tidak ada, sepertinya dia pulang duluan. Begitu pikir Juno. Juno pun mencoba menghubungi Alea, tapi tidak diangkat. "Mungkin dia sedang dijalan," pikirnya lagi. "Adrian, bagaimana? Apa mereka sudah menemukan mamaku?" tanya Juno saat melihat Adrian berjalan menghampirinya dengan tergesa-gesa. Adrian menggelengkan kepalanya. "Belum, Pak presdir." Juno menghela napas berat dan terlihat khawatir pada ibunya itu. "Astaga. Mama! Kenapa mama seperti ini sih? Mama belum benar-benar sembuh dan sekarang malah kelayapan!" Apalagi ibunya baru sembuh dari sakit DBD dan sempat dirawat di rumah sakit selama lebih dari seminggu. Tapi sekarang ibunya itu sudah berkeliaran ke luar rumah bahkan keluar kota, padahal kondisinya belum pulih sepenuh
Rosaline menceritakan pertemuannya dengan Alea pada Juno. Syukurlah ibunya tidak mengatakan hal yang macam-macam pada Alea. Tapi, ibunya itu sudah iseng menyamar dan mendekati Alea."Dia sangat baik Juno dan yang terpenting dia adalah seorang wanita. Akhirnya mama bisa memiliki cucu darimu. Mama kira kamu tidak akan pernah menikah seumur hidup!" Rosaline tampak senang."Ayo tunggu apa lagi, cepat segerakan pernikahan kalian!" ujar Rosaline dengan kedua mata yang membara penuh semangat.Segerakan apanya? Juno bahkan belum bisa membuat Alea mengatakan cinta padanya. Belum pasti juga wanita itu akan jatuh cinta padanya. Meskipun dia sudah banyak melakukan banyak hal untuk menunjukkan perasannya. Tapi, Alea sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perhatian padanya. Contohnya, membuatkan makan siang dan chat duluan."Hey Juno! Kenapa kamu malah diam saja? Mama lagi tanya sama kamu. Gimana? Kapan kamu mau Mama lamar dia untuk jadi mantu Mama?" omel Rosaline. Wanita ini tidak akan berhenti berta
Juno sangat panik saat melihat jam dinding. Sialnya, dia lupa mencharger ponselnya karena ketiduran. Bahkan dia belum mengecek tentang reservasi restoran yang sudah diperintahkannya kepada Adrian.Buru-buru dia mencharger sambil menyalakan ponselnya dan dia akhirnya melihat ada banyak notifikasi di ponselnya. Banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari kekasihnya."Sial! Dia pasti marah padaku," desis Juno sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Dia membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. Alea pasti marah kan?Tidak bisa, dia tidak bisa diam saja dan menunggu di sini. Dia menelpon Adrian tentang reservasi restoran itu dan Adrian mengatakan kalau restoran itu tidak bisa di reservasi pada hari ini."Sialan! Kenapa kamu tidak memberitahu saya dari tadi, hah?" tanya Juno dengan kesal, karena Adrian baru memberitahunya sekarang."Maafkan saya Pak. Nomor bapak dari tadi mati. Saya sudah mencoba untuk menghubungi bapak dari tadi dan mengabarkan ini. Tapi—""Jadi menurutmu ini adal
"Om lagi ngapain di sini?" tanya Martin penasaran. Kenapa omnya yang kuno ini datang ke restoran mewah tempat anak muda nongkrong. Omnya yang tidak pernah memikirkan hal-hal tentang kata romantis, atau wanita. Sekarang malah datang ke sini. "Bukan urusanmu, Martin." Seperti biasa, omnya itu selalu bersikap jutek dan berwajah datar. Martin juga terbiasa dengan itu. "Jangan bilang Om lagi mau ketemuan sama pacar Om?" tanya Martin dengan wajah tak percaya kalau omnya punya pacar. Juno tak mengindahkan Martin. Tanpa sengaja dia melihat ke arah Linda yang berada di samping Martin, wanita itu terus melihatnya. Juno mengerutkan dahi karena tidak menyukainya. "Apa dia pacar yang kau selingkuhi, Martin?" bisik Juno pada keponakannya itu. "Mana mungkin. Pacarku sangat cantik, dia cuma mainan saja," jawab Martin dengan suara yang cukup keras. Hingga Linda mendengarnya. Linda terlihat kesal, tapi dia tidak bicara sepatah katapun. Dia juga tidak beranjak pergi dari sana. Jawaban itu
Tak butuh waktu lama bagi Adrian untuk melacak lokasi Alea lewat orang suruhannya yang memang sudah handal dalam bidang ITE. Dalam waktu kurang dari tujuh menit, Adrian langsung membagikan informasi tersebut kepada Juno melalui sambungan telepon."Alea ada di apartemen?" tanya Juno dengan nada cemas."Iya, Pak. Bu Alea ada di Apartemen Rose. Beliau masuk ke unit 021 sekitar sejam yang lalu," jawab Adrian dengan nada serius.Juno menghela napas lega. Setidaknya sekarang ia tahu di mana kekasihnya berada. Ia merasa sedikit tenang karena Alea tidak kembali ke klub hiburan malam seperti yang sempat terjadi sebelumnya."Baik. Aku akan segera ke sana!" katanya mantap, sambil bersiap-siap masuk ke dalam mobilnya."Oh iya, apartemennya atas nama siapa?" tanya Juno lagi, ingin memastikan lebih banyak detail."Atas nama ..." Adrian tiba-tiba saja menjeda kalimatnya di sana. Hingga membuat Juno penasaran."Atas nama siapa?" tanya Juno lagi."A-atas nama Yudha Prasetya," jawab Adrian gugup.Seket
Refleks karena terkejut dengan apa yang baru saja terjadi kepadanya, membuat Alea melayangkan tangannya pada wajah Juno. Pria itu juga menerimanya dengan senang hati. "Om benar-benar keterlaluan. Apa Om nggak tahu tempat? Aku udah bilang jangan sentuh aku sembarangan, apa lagi menyentuh dengan intim seperti barusan," ujar Alea marah-marah. Dia benar-benar malu di depan Giska dan petugas keamanan yang ada di sana. Mereka melihat Juno mencium bibirnya. Alea paling tidak suka, kalau hal intim diumbar dan diketahui banyak orang. Itu juga yang pernah dia tekankan, saat dia masih berhubungan dengan Martin, mantan kekasihnya. "Maaf Sayang, aku cuma—" "Ngapain Om ke sini hah?" Wanita itu langsung memotong ucapannya. Tatapan matanya tampak sengit pada Juno. "Aku nyari kamu ke rumah dan ke restoran, ternyata kami gak ada. Akhirnya aku tahu kamu ada di sini. Maaf, aku—" "Pergi dari sini!" Tak mau mendengarkan penjelasan dari Juno, Alea pun mengusirnya. Ketika dia sudah marah, dia ti
Dengan hati yang masih tak tenang, diliputi kegelisahan, Juno terpaksa meninggalkan Alea di apartemen Giska. Dia sebenarnya berat melangkah pergi, namun juga tak ingin mengganggu Alea yang mungkin butuh istirahat setelah hari yang melelahkan secara emosional. Setidaknya hatinya sedikit lega—melihat Alea dalam keadaan baik-baik saja dan bersama teman wanitanya memberinya secercah harapan bahwa semuanya akan membaik."Semoga saja Alea tidak lama marahnya," gumam Juno sambil mengendarai mobilnya menembus dinginnya malam yang sunyi. Sesekali ia melirik jam di dashboard, menyadari betapa larutnya waktu. Namun pikirannya tetap melayang-layang, memutar kembali percakapan terakhir mereka, mencoba memahami bagian mana yang membuat Alea begitu kecewa padanya. Ya, dia sudah tahu dan paham apa yang membuat Alea marah.Begitu sampai di apartemennya, Juno mendapati ibunya masih terjaga. Di atas sofa ruang tamu, Rosaline tampak setengah tertidur, namun langsung terbangun saat mendengar suara pintu t
Alea mencengkram pulpen di tangannya lebih erat, berusaha menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba menyeruak. Dia sendiri tak mengerti kenapa ia merasa sebal, hanya karena Juno menjawan pertanyaan dari wanita itu. Toh, Juno bukan siapa-siapa dia dihatinya. Pacaran pun berdasarkan keterpaksaan. Tapi tetap saja, hatinya terasa tak karuan saat melihat wanita itu tersenyum manis pada Juno. Alea juga heran, kenapa Juno menjawab pertanyaan wanita itu? Padahal sebelumnya dia selalu cuek, dingin, kepada orang lain, terutama wanita selain dirinya. "Baik, kita mulai rapatnya," ucap Juno sambil duduk di kursinya. Suaranya terdengar lelah, tapi tetap berwibawa. Dia menyapu pandangan ke seluruh ruangan sebelum akhirnya menatap Alea selama beberapa detik. Tatapan itu dalam, dan cukup untuk membuat jantung Alea berdegup kencang. Alea buru-buru menunduk, pura-pura sibuk membuka catatan rapat di hadapannya. Tapi matanya tidak fokus membaca. Dia justru memikirkan Juno dan alasan di balik wajah lelah
"Bagaimana keadaannya, Dok?" Pertanyaan bernada khawatir itu meluncur dari bibir Juno, ditujukan kepada dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Alea. Kekasihnya itu masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, dengan beberapa luka di wajah dan sedikit goresan di lengan."Saya rasa tidak ada luka dalam, Pak. Hasil pemeriksaan awal menunjukkan pasien hanya mengalami luka luar saja," jawab sang dokter dengan nada tenang, berusaha menenangkan kegelisahan Juno."Tapi kenapa dia masih belum sadar? Sudah satu jam, Dok, dan dia masih seperti ini. Apa Anda yakin dia benar-benar baik-baik saja?" Nada suara Juno meninggi, mencerminkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.Dokter itu mengangguk pelan. "Kami akan melakukan observasi lebih lanjut, setelah pasien siuman. Terkadang, trauma psikologis bisa menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri meski tidak ada luka fisik yang serius. Tapi kami akan tetap melakukan CT scan untuk memastikan tidak ada pendarah
Alea berteriak sekencang yang dia bisa. Suaranya memecah udara di dalam ruangan, tetapi tak ada satu pun yang datang menolong. Dia meronta sekuat tenaga, mencoba mendorong tubuh pria itu menjauh, tapi perbedaan kekuatan fisik mereka terlalu mencolok. Air matanya mulai mengalir, menandakan ketakutan dan keputusasaan yang menguasai dirinya."Om ... tolong aku..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Nama itu lagi-lagi muncul di kepalanya. Satu-satunya orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari neraka ini. Tapi dia tidak tahu apakah Juno akan datang, atau apakah pria itu bahkan tahu Alea dalam bahaya."Jangan mendekat. Jangan berani sentuh aku!" teriak Alea lagi, seraya memundurkan badannya ke belakang. Sampai mentok di ujung sofa tersebut.Alea ngeri, saat matanya melihat rantai, cambuk, secara tidak sengaja di sana. Untuk apa kedua benda itu ada di sana?Sementara, ria di hadapannya mulai menurunkan resleting celananya. Napasnya memburu, seperti binatang buas yang haus mangsa. Tata
"Eungh."Suara lenguhan dari orang yang baru bangun tidur, terdengar dari bibir Alea. Wanita itu baru saja membuka matanya. Sebelah tangannya memegang bagian belakang kepalanya yang terasa sakit. Dia pun beranjak untuk bangun dari sebuah benda yang empuk tempatnya tidur sekarang."Lu udah bangun, ternyata?"Suara itu sontak saja membuat Alea sadar sepenuhnya, kalau saat ini dia sedang berada di tempat asing. Terlihat seorang wanita cantik, bertubuh semok dan memakai pakaian minim, tengah melihatnya dan berjalan ke arahnya."Lu cantik juga ya. Pantas aja mereka maksa buat masukin lu ke sini. Lu pasti bisa jadi primadona di sini. Di jamin si madam juga bakal suka," cetus wanita itu seraya memegang dagu Alea dan memperhatikan wajah cantiknya."Jangan sentuh saya!" seru Alea seraya menepis tangan wanita itu. Tatapannya tampak menunjukkan kewaspadaan nyata.Terutama saat dia melihat ke sekelilingnya, kamar yang aneh. Cahaya remang-remang dan beraroma alkohol bercampur wangi yang tak bisa A
Setelah berbicara dari hati ke hati, dan Juno memberikan hadiah sebuah gelang kepada kekasihnya, akhirnya Alea luluh dan mencoba memaafkan pria itu. Momen yang awalnya canggung berubah menjadi penuh haru. Ada getaran di dada Alea saat menerima gelang itu, bukan karena kemewahannya, melainkan karena maknanya.Gelang itu bukan sembarang gelang. Juno memesannya khusus satu bulan lalu, tepat saat mereka resmi menjalin hubungan. Dia memerintahkan seorang desainer perhiasan untuk membuat gelang unik, hanya satu-satunya di dunia, khusus untuk Alea. Sebuah simbol cinta dan komitmen.“Kamu suka gelangnya, kan?” tanya Juno sambil memeluk Alea yang kini berada di pangkuannya. Tatapan matanya begitu dalam, mengisyaratkan cinta yang tak main-main.Lelaki ini memang seringkali bersikap genit. Jika tidak dengan ciuman, maka pelukan atau belaian. Kadang Alea bertanya dalam hati, apa Juno memang tipe lelaki mesum? Namun, entah kenapa, setiap perlakuan itu tak pernah terasa menjijikkan. Justru membuat
Alea mencengkram pulpen di tangannya lebih erat, berusaha menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba menyeruak. Dia sendiri tak mengerti kenapa ia merasa sebal, hanya karena Juno menjawan pertanyaan dari wanita itu. Toh, Juno bukan siapa-siapa dia dihatinya. Pacaran pun berdasarkan keterpaksaan. Tapi tetap saja, hatinya terasa tak karuan saat melihat wanita itu tersenyum manis pada Juno. Alea juga heran, kenapa Juno menjawab pertanyaan wanita itu? Padahal sebelumnya dia selalu cuek, dingin, kepada orang lain, terutama wanita selain dirinya. "Baik, kita mulai rapatnya," ucap Juno sambil duduk di kursinya. Suaranya terdengar lelah, tapi tetap berwibawa. Dia menyapu pandangan ke seluruh ruangan sebelum akhirnya menatap Alea selama beberapa detik. Tatapan itu dalam, dan cukup untuk membuat jantung Alea berdegup kencang. Alea buru-buru menunduk, pura-pura sibuk membuka catatan rapat di hadapannya. Tapi matanya tidak fokus membaca. Dia justru memikirkan Juno dan alasan di balik wajah lelah
Dengan hati yang masih tak tenang, diliputi kegelisahan, Juno terpaksa meninggalkan Alea di apartemen Giska. Dia sebenarnya berat melangkah pergi, namun juga tak ingin mengganggu Alea yang mungkin butuh istirahat setelah hari yang melelahkan secara emosional. Setidaknya hatinya sedikit lega—melihat Alea dalam keadaan baik-baik saja dan bersama teman wanitanya memberinya secercah harapan bahwa semuanya akan membaik."Semoga saja Alea tidak lama marahnya," gumam Juno sambil mengendarai mobilnya menembus dinginnya malam yang sunyi. Sesekali ia melirik jam di dashboard, menyadari betapa larutnya waktu. Namun pikirannya tetap melayang-layang, memutar kembali percakapan terakhir mereka, mencoba memahami bagian mana yang membuat Alea begitu kecewa padanya. Ya, dia sudah tahu dan paham apa yang membuat Alea marah.Begitu sampai di apartemennya, Juno mendapati ibunya masih terjaga. Di atas sofa ruang tamu, Rosaline tampak setengah tertidur, namun langsung terbangun saat mendengar suara pintu t
Refleks karena terkejut dengan apa yang baru saja terjadi kepadanya, membuat Alea melayangkan tangannya pada wajah Juno. Pria itu juga menerimanya dengan senang hati. "Om benar-benar keterlaluan. Apa Om nggak tahu tempat? Aku udah bilang jangan sentuh aku sembarangan, apa lagi menyentuh dengan intim seperti barusan," ujar Alea marah-marah. Dia benar-benar malu di depan Giska dan petugas keamanan yang ada di sana. Mereka melihat Juno mencium bibirnya. Alea paling tidak suka, kalau hal intim diumbar dan diketahui banyak orang. Itu juga yang pernah dia tekankan, saat dia masih berhubungan dengan Martin, mantan kekasihnya. "Maaf Sayang, aku cuma—" "Ngapain Om ke sini hah?" Wanita itu langsung memotong ucapannya. Tatapan matanya tampak sengit pada Juno. "Aku nyari kamu ke rumah dan ke restoran, ternyata kami gak ada. Akhirnya aku tahu kamu ada di sini. Maaf, aku—" "Pergi dari sini!" Tak mau mendengarkan penjelasan dari Juno, Alea pun mengusirnya. Ketika dia sudah marah, dia ti
Tak butuh waktu lama bagi Adrian untuk melacak lokasi Alea lewat orang suruhannya yang memang sudah handal dalam bidang ITE. Dalam waktu kurang dari tujuh menit, Adrian langsung membagikan informasi tersebut kepada Juno melalui sambungan telepon."Alea ada di apartemen?" tanya Juno dengan nada cemas."Iya, Pak. Bu Alea ada di Apartemen Rose. Beliau masuk ke unit 021 sekitar sejam yang lalu," jawab Adrian dengan nada serius.Juno menghela napas lega. Setidaknya sekarang ia tahu di mana kekasihnya berada. Ia merasa sedikit tenang karena Alea tidak kembali ke klub hiburan malam seperti yang sempat terjadi sebelumnya."Baik. Aku akan segera ke sana!" katanya mantap, sambil bersiap-siap masuk ke dalam mobilnya."Oh iya, apartemennya atas nama siapa?" tanya Juno lagi, ingin memastikan lebih banyak detail."Atas nama ..." Adrian tiba-tiba saja menjeda kalimatnya di sana. Hingga membuat Juno penasaran."Atas nama siapa?" tanya Juno lagi."A-atas nama Yudha Prasetya," jawab Adrian gugup.Seket
"Om lagi ngapain di sini?" tanya Martin penasaran. Kenapa omnya yang kuno ini datang ke restoran mewah tempat anak muda nongkrong. Omnya yang tidak pernah memikirkan hal-hal tentang kata romantis, atau wanita. Sekarang malah datang ke sini. "Bukan urusanmu, Martin." Seperti biasa, omnya itu selalu bersikap jutek dan berwajah datar. Martin juga terbiasa dengan itu. "Jangan bilang Om lagi mau ketemuan sama pacar Om?" tanya Martin dengan wajah tak percaya kalau omnya punya pacar. Juno tak mengindahkan Martin. Tanpa sengaja dia melihat ke arah Linda yang berada di samping Martin, wanita itu terus melihatnya. Juno mengerutkan dahi karena tidak menyukainya. "Apa dia pacar yang kau selingkuhi, Martin?" bisik Juno pada keponakannya itu. "Mana mungkin. Pacarku sangat cantik, dia cuma mainan saja," jawab Martin dengan suara yang cukup keras. Hingga Linda mendengarnya. Linda terlihat kesal, tapi dia tidak bicara sepatah katapun. Dia juga tidak beranjak pergi dari sana. Jawaban itu