Jantung Risa mencelus, air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, rasa sesak mengimpit dadanya. Risa pikir sang anak meninggal karena mengalami gagal jantung dan komplikasi akibat lahir prematur. Namun, apa yang tadi Risa dengar barusan?
"Anak itu akan membawa sial kalau dibiarkan hidup! Aku harus cepat-cepat menghabisinya karena dia bisa menghancurkan reputasiku!"
Jadi, Rangga yang …
Kenapa Rangga tega melakukan hal ini pada dirinya?
Wajah Risa mengeras, kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Amarah tergambar jelas di wajah cantiknya. Risa benar-benar marah karena Rangga tega melenyapkan buah hati mereka hanya demi mempertahankan reputasi.
Risa berbalik lalu berjalan dengan cepat ke kamar. Dia membanting pintu kamarnya dengan cukup keras hingga membuat dua sejoli yang sedang mencapai puncak kenikmatan sontak menoleh ke arahnya.
"Biadab kalian!" teriak Risa sekencang-kencangnya. Wajah wanita itu merah padam dengan napas yang begitu memburu. Sekelebat Risa bisa melihat tampang terkejut dan penyesalan dari wajah adik tirinya itu, tapi Risa tidak yakin. Tidak mungkin Nadia bisa merasa menyesal jika sekarang saja dia berani menusuk Risa di belakang seperti ini.
"Kamu benar-benar jahat, Nad! Mbak sudah menyekolahkan kamu dan memberimu tempat tinggal. Tapi kamu malah tidur sama Mas Rangga! Mbak benar-benar kecewa sama kamu!" Risa menjambak rambut Nadia dengan sangat kuat untuk melampiaskan amarahnya. Namun, Rangga malah mendorong tubuhnya hingga terjatuh ke lantai dengan cukup keras.
"Kamu nggak papa, Nad?" Rangga menatap Nadia khawatir.
"Kepalaku sakit banget, Mas," jawab Nadia sambil memasang wajah kesakitan yang terlihat sekali dibuat-buat. Rasa sakit dari jambakan Risa tidak sebanding dengan kepuasan yang Nadia dapatkan setelah melihat Risa hancur seperti ini. Momen saat ini adalah momen yang sudah sejak lama Nadia tunggu. Sekarang ia melihat langsung di depan matanya betapa menyedihkannya kakak tirinya ini.
Kedua tangan Risa mengepal kuat, dia benar-benar muak melihat Nadia yang pura-pura kesakitan hingga membuat Rangga lebih membela gadis itu dari pada dirinya. Risa pikir hubungan Rangga dan Nadia hanya sebatas kakak dan adik ipar. Namun, mereka ternyata selingkuh di belakangnya.
"Dasar istri tidak tahu diri!" Rangga menatap Risa dengan geram karena sudah menyakiti Nadia.
"A-apa kamu bilang, Mas?!" Risa terenyak karena Rangga menyebut dirinya sebagai istri yang tidak tahu diri. Pria itu bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun padahal sudah selingkuh dengan Nadia dan membunuh buah hati mereka.
Apa hati Rangga sudah mati?
"Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu, Mas. Tapi kamu malah selingkuh dan membunuh anak kita. Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Kenapa?!"
"Semua ini gara-gara kamu! Kalau saja kamu tidak membawa Nadia ke rumah dan melahirkan anak cacat, aku tidak mungkin selingkuh dan membunuh anak kita!"
"Mas!" Risa menatap Rangga dengan pandangan tidak percaya. Padahal suaminya itu jelas-jelas bersalah, tapi Rangga malah menyalahkannya.
"Anakmu yang cacat itu harus mati untuk menyelamatkan reputasiku. Aku benar-benar menyesal sudah menikahi wanita tidak berguna seperti kamu. Seharusnya aku menikahi Nadia karena dia lebih pintar dan bisa memuaskanku daripada kamu.”
Amarah Risa sudah tidak bisa dibendung lagi. Suaminya yang gila itu ternyata tega membunuh buah hatinya hanya demi reputasi dan bisnis. Rangga benar-benar jahat.
"Aku ingin cerai!"
"Apa? Cerai?"
Risa mengangguk mantap. Percuma saja dia mendampingi seorang pembunuh.
"Kamu pikir aku akan menceraikanmu?" Rangga menyeringai seram lalu berjalan cepat menghampiri Risa.
Risa tanpa sadar menahan napas dan meremas gaunnya dengan erat melihat Rangga yang menatapnya dengan sangat tajam. Namun, dia berusaha menutupi ketakutannya agar tidak terlihat lemah di depan Rangga.
"Sampai mati pun aku tidak akan pernah menceraikanmu, Risa!" desis Rangga terdengar tajam. Dia tidak akan pernah menceraikan Risa karena nama baiknya akan hancur jika media tahu kalau dia meninggalkan Risa di saat mereka baru saja kehilangan anak.
"Aku akan mengatakan ke media kalau kamu sudah selingkuh dan membunuh anak kita kalau kamu tidak mau menceraikanku, Mas!"
"Berani kamu, ya?!"
"Akh!" Risa memekik kesakitan ketika Rangga tiba-tiba mencekik lehernya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas.
"Mas, le-lepas!" Risa berusaha melepas tangan Rangga. Ia mulai kehilangan napasnya, dadanya juga mulai terasa sesak.
Namun, Rangga malah mencekik lehernya semakin kuat. "Ini akibatnya kalau kamu berani melawanku, Risa!"
"Erngh!" Air mata itu jatuh membasahi pipi Risa. Dia terus memberontak agar bisa lepas dari cengkeraman Rangga. Namun, tenaganya tidak sebanding dengan pria itu.
"Mas, le-lepas ...."
Wajah Rangga semakin mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Kedua matanya menatap Risa dengan penuh amarah bercampur dengan kebencian. "Nasibmu akan sama seperti anak kita kalau berani memberitahu perbuatanku pada media! Camkan itu baik-baik di otakmu, Risa!" Rangga mendorong Risa dengan cukup keras hingga jatuh ke lantai.
"Uhuk!" Risa sontak terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang memerah akibat cengkeraman Rangga.
Dengan sisa-sisa tenaga dia berusaha keras untuk berdiri lalu beranjak meninggalkan kamar yang pernah menjadi saksi cinta antara dirinya dan Rangga. Namun, semuanya hanya tinggal kenangan setelah pria itu tega mengkhianatinya.
"Mau ke mana kamu?"
"Akh!" Risa tersentak karena Rangga tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat. "Mas, lepas! Apa kamu belum puas menyakitiku?"
"Aku tidak akan pernah melepasmu kalau kamu berani membeberkan apa yang aku lakukan ke media, Risa!" sengit Rangga penuh peringatan.
Risa tersenyum miris. "Aku sudah muak berada di kamar ini! Kalau kalian mau bercinta lagi terserah! Aku tidak peduli!" Risa menyentak tangannya dari cengkeraman Rangga hingga terlepas lalu pergi dari tempat itu.
Rangga kembali masuk ke kamar sambil membanting pintu dengan cukup keras. Amarah masih menguasai tubuh pria berusia tiga puluh tahun itu. Rangga merasa sangat marah karena Risa berani melawannya.
"Sialan!" Rangga menendang kursi yang ada di kamarnya dengan cukup keras untuk melampiaskan kekesalan.
"Kenapa kamu tidak menceraikan Mbak Risa, Mas? Seharusnya Mas ceraikan saja Mbak Risa karena dia sudah tahu kalau Mas yang membunuh anaknya."
"Aku tidak mungkin menceraikan Risa karena reputasiku menjadi taruhannya, Nad."
"Tapi kamu harus tetap hati-hati, Mas, karena sekali saja Mbak Risa buka mulut ke media, reputasi Mas akan hancur saat itu juga!"
Kening Rangga berkerut dalam mendengar ucapan Nadia barusan. Dia yakin sekali Risa tidak mungkin berani membongkar perbuatannya karena dia sudah mengancam wanita itu. "Akan aku pastikan dia akan menyusul anaknya ke neraka kalau dia berani membuka mulutnya.”
"Mas, jangan berhenti....""Kamubenar-benar luar biasa, Nad. Selain cantik kamu selalu bisa memuaskanku."Risa menutup keduatelinganya erat-erat karena suara desahan Rangga dan Nadia terus terdengar ditelinganya. Padahal luka di dalam hatinya masih belum sembuh akibat kematiansang buah hati, tapi suaminya malah asyik selingkuh dengan adik tirinyasendiri. Mereka bahkan tidak malu lagi menunjukkan kemesraan di depan matanya.Apa Rangga danNadia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"Agh...!" Risa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan kesedihannya.Rumah yang dulu terasa nyaman sekarang terasa seperti neraka baginya. Dia tidakbetah. Rasanya dia ingin sekali keluar dari rumah ini dan menjauh darikehidupan Rangga dan Nadia selamanya.Setelah perasaannyaagak tenang, Risa memutuskan untuk menemui Rangga dan Nadia yang sedangmenikmati makan malam karena ada hal penting yang ingin dia katakan padasuaminya. Namun, dia sontak berhenti melangkah ketika mendengar suar
"Kerja bagus. Kamu akan segera mendapatkan bayaranmu," ucap Rangga dengan wajah puas. Detik berikutnya, ekspresinya berubah tegas. "Sekarang pergi dari sana dan pastikan tidak ada orang yang melihatmu. Kalau ketahuan, nyawamu juga akan lenyap," desis Rangga terdengar penuh peringatan. Dia tidak ragu melenyapkan seseorang yang bisa merusak reputasinya sekalipun itu istri dan anaknya."Bagaimana, Mas? Apa berhasil?" tanya Nadia sambil memeluk Rangga dari belakang. Bibirnya yang dipoles merah merona membentuk senyuman.Rangga menurunkan ponsel dan menyentuh lengan Nadia yang melingkar di pinggangnya. “Ya, semua sudah selesai." Pria itu membalik tubuhnya, berhadapan dengan Nadia dan juga meletakkan lengannya di pinggang wanita itu. “Tidak ada lagi yang akan menghentikan kita.”Nadia tersenyum membalas Rangga. Dia membelai punggung pria di hadapannya, lalu mendekatkan tubuhnya pada Rangga sambil berbisik, “Dengan begini, kamu bisa nikahin aku tanpa khawatir apa pun lagi 'kan, Mas?""Tentu
"Kamu dan anakmu sama saja! Hanya bisa bawa sial kalau dibiarkan hidup!"Satu makian itu membuat Risa tersentak. Napasnya terengah-engah dan penglihatannya sedikit buyar. Risa mengerjapkan kedua matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Lama-kelamaan, pemandangan sekeliling pun berubah jelas.Ruangan serba putih ini terasa sangat asing bagi Risa. Aroma obat-obatan pun tercium di mana-mana. Dibandingkan ruang tidur, tempat itu terlihat seperti kamar inap rumah sakit."Aku di mana ...?" Risa ingin bangun dan mencari tahu di mana keberadaannya sekarang. Namun, seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit saat digerakkan. "Jangan banyak bergerak." Sebuah suara dalam terdengar berucap dengan nada memerintah, membuat Risa sontak menoleh. Sosok seorang pria berkemeja putih tampak berjalan masuk melalui sebuah pintu. Rahangnya yang tegas dan alisnya yang menekuk tajam membuat pria itu tidak terlihat begitu bersahabat. Namun, raut wajah pria itu terlihat tenang selagi menghampiri d
'Beraninya kalian berdua menggunakan namaku untuk menghalalkan hubungan hina kalian! Dasar baj*ngan!' Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Risa. Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu di dalam diri wanita itu. Risa sudah memberikan segalanya untuk Rangga. Cinta, kehormatan, juga kasih sayangnya. Akan tetapi, pria itu malah dengan tega menghancurkan hidupnya. Jangan lupa dengan Nadia, Risa telah memberikan adik tirinya itu tempat berteduh setelah kematian ibunya. Risa menunduk, lalu tertawa pelan. "Seorang baj*ngan dan wanita murahan, kalian memang ditakdirkan bersama," makinya rendah. Terbayang bagaimana kedua orang itu tertawa bahagia atas kematiannya, Risa merasa benci. Akan tetapi, tersadar dengan posisi dan juga wajahnya yang rusak, kembali dan membereskan dua orang itu tidak akan semudah di bayangan. 'Apa yang harus kulakukan ...?' Di saat ini, pembawa berita berlanjut ke berita berikutnya. [Pradikta Januar, dokter bedah plastik yang belum lama terlibat sk
“Katakan padaku siapa kamu sebenarnya sampai berani membuat kesepakatan seperti itu?” Dikta masih mencekal pergelangan tangan Risa. Apa yang wanita di hadapannya ini ketahui? Bagaimana dia bisa seberani itu membuat kesepakatan padanya.Risa meringis menahan sakit di pergelangan tangannya. Tetapi, Risa bertahan sekuatnya hingga dokter di hadapannya ini menerima penawarannya. “Aku adalah istri dari pria yang kamu kritik.”Cengkeraman di tangan Risa mengendur. Risa tersenyum tipis, sepertinya Dikta mau menerima penawarannya. Namun, itu tidak lama. Dikta kembali mencengkeram tangannya hingga lagi-lagi membuat Risa meringis menahan sakit.“Kamu … yang diberitakan meninggal bunuh diri?”“Aku belum mati!” teriak Risa. Teringat tentang berita tadi, wasiat dan bunuh diri. Benar-benar membuat Risa marah. “Rangga membuat berita palsu dan memanfaatkan keadaanku untuk kepentingannya sendiri!”Dikta tertegun. Pria itu kemudian melepas cengkeramannya di tangan wanita yang wajahnya memang sudah
Dikta bergeming di tempat dengan jantung berdetak hebat. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi wajah Risa di hadapannya. Mata, hidung, juga bibir wanita itu mirip sekali dengan Aluna, gadis yang memiliki tempat spesial di hatinya sampai sekarang meskipun sudah tiada.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya hingga tanpa sadar mengubah wajah Risa sama persis dengan Aluna."Ta!" panggil Zean pelan membuat Dikta tergagap. Dia menatap Dikta dengan sendu seolah-olah bertanya apakah sahabatnya itu baik-baik saja.Dikta tidak menjawab, malah keluar dari ruangan Risa begitu saja. Dia butuh udara segar untuk menghalau sesak yang tiba-tiba menyelip di dalam dadanya karena kenangan yang selama ini dia lalui bersama Aluna berbondong-bondong masuk ke dalam pikirannya setelah melihat Risa.Dikta mengempaskan diri di sofa dengan napas terengah, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Dikta mencoba menggapai oksigen
"Kita sudah sampai, Nona." Risa segera turun ketika taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan ballroom salah satu hotel paling terkenal di ibu kota. Tempat Rangga dan Nadia menggelar resepsi pernikahan mereka. Risa berjalan dengan anggun memasuki tempat acara membuat seluruh perhatian tamu undangan tertuju ke arahnya."Anda mau minum, Nona?"Risa mengambil segelas minuman berwarna merah lalu mengangguk sekilas sebagai bentuk terima kasih pada pelayan. Dia memutar-mutar gelasnya sebentar sebelum menyesap sedikit minumannya dan mengamati sekitar.Amarah dan kekecewaan terpancar jelas di mata Risa. Pesta pernikahan Rangga dan Nadia begitu mewah dibandingkan pesta pernikahannya dulu. Rangga bahkan mendatangkan seorang penyanyi asal Negri Jiran untuk memeriahkan pestanya. Risa mendengkus, penasaran. Ini semua pasti permintaan Nadia, wanita licik itu pasti selalu ingin lebih daripada siapa pun.Risa kembali menyesap minumannya. Sepasang mata bulat miliknya terus melihat Rangga d
Sudah lima menit lebih Rangga berdiri di dekat jendela, mengamati Risa yang sedang sibuk bekerja. Tubuh sekretaris barunya itu terlihat begitu sintal dengan ukuran buah dada yang tidak terlalu besar, sepertinya pas berada di dalam genggamannya. Bokong Risa begitu sekal, padat, dan berisi. Ugh, benar-benar seksi.Risa tersenyum miring, diam-diam dia tahu jika Rangga sejak tadi terus memperhatikannya. Dengan sengaja dia menaikkan sebelah kakinya, membuat paha mulusnya terlihat jelas. Setelah itu dia membuka dua kancing kemejanya paling atas seolah-olah merasa gerah.Rangga tanpa sadar menelan ludah, darah di dalam tubuhnya seketika berdesir ketika melihat paha mulus dan belahan dada Risa. Rasanya dia ingin sekali menyeret Risa ke atas ranjang lalu mengungkung tubuh wanita itu di bawah tubuhnya. Rasanya pasti sangat menyenangkan.Rangga cepat-cepat kembali ke tempat duduknya ketika melihat Risa berjalan ke ruangannya. Dia mengontrol raut wajahnya agar tetap terlihat tenang lalu berdeh
Risa belum pernah bernapas selega ini setelah mengalami kejadian buruk yang nyaris merenggut nyawanya beberapa bulan lalu. Setelah berusaha keras membujuk Pratama, akhirnya dia berhasil meyakinkan pemuda yang pernah menjadi kaki tangan Rangga itu untuk mengakui semua kejahatannya dan menyerahkan diri ke polisi.Keadilan yang selama ini dia dan Dikta harapkan perlahan-lahan mulai menemui titik terang. Risa yakin sekali Rangga dan adik tirinya yang jahat itu akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka, dan nama Dikta akan kembali baik seperti semula."Terima kasih banyak, Pratama. Aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan dan pengorbananmu." Risa tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Pratama.Pratama hanya bisa menundukkan kepala dalam diam. Dia seperti memakan buah simalakama jika menuruti permintaan Risa atau pun Rangga. Semua tidak ada yang menguntungkan.Akan tetapi satu hal yang jelas, Pratama merasa sangat menyesal sudah menuruti perintah Rangga unt
Keenam orang itu berkumpul di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang berukuran tidak terlalu besar. Suasana di dalam pun terasa sangat menegangkan.Pratama duduk di sebuah kursi panjang dengan tangan dan kaki yang terikat. Di samping kanan dan kirinya ada Dikta dan Zean yang terlihat siaga, berjaga-jaga agar dia tidak kabur lagi dari mereka.Sedangkan Risa berusaha menenangkan satu-satunya wanita paruh baya yang ada di sana."Ini ada apa sebenarnya? Kenapa anak saya ditangkap?" Mutia—ibu Pratama menatap Risa dengan penuh tanda tanya. Dia merasa sangat terkejut melihat Risa, Dikta, dan Zean tiba-tiba datang ke rumahnya lalu menangkap Pratama."Ibu, yang tenang, ya. Anak Ibu sudah melakukan kesalahan, dan tujuan kami datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban," jelas Risa pelan-pelan."Anak saya salah apa? Kenapa tangan dan kakinya sampai diikat?"Risa tersenyum sendu, dia bisa melihat dengan jelas jika Mutia sangat menyayangi Pratama dan percaya jika Pratama adalah anak yang sang
Dua bilah bibir itu tanpa sadar terus tersenyum, kedua tangan mereka pun masih saling bertaut. Risa tidak bisa berhenti tersenyum mengingat ekspresi konyol Rangga, begitu pula dengan Dikta.Dia tidak pernah menyangka bisa mengatakan hal sekonyol itu pada Rangga padahal dia biasanya irit bicara. Dikta hanya ingin memberi Rangga sedikit pelajaran agar berhenti mengganggu Risa.Tidak lama kemudian Dikta dan Risa sudah tiba di restoran. Mereka memang ingin sarapan bersama sebelum pergi mencari Pratama."Apa tanganmu masih sakit?" Risa tersentak, jantungnya seketika berdetak dua kali lebih cepat ketika sadar kalau Dikta sejak tadi menggenggam tangannya. Dokter muda itu bahkan mengusap pergelangan tangannya yang memerah dengan sangat lembut seolah-olah tidak ingin dia terluka."Em, agak sakit sedikit, sih. Tapi gak papa." Risa melepas tangannya dari genggaman Dikta dengan hati-hati. Dia takut mati muda jika Dikta terus menggenggam tangannya karena jantungnya sejak tadi berdetak tidak karua
Risa hari ini bangun pagi sekali, bahkan sebelum matahari terbit. Dia terbangun tepat jam empat lebih lima belas menit, setelah itu tidak bisa tidur lagi.Akhirnya Risa memutuskan untuk memeriksa keembali jadwal Rangga hari ini. Setelah sarapan, mantan suami sekaligus bos-nya yang menyebalkan itu ingin pergi ke Pulau Komodo dan menghabiskan waktu sampai sore.Malam harinya Rangga harus menghadiri pesta kecil-kecilan untuk merayakan kerja sama dengan perusahaan milik kliennya.Sebelum pergi ke Labuan Bajo, Rangga sering sekali mengingatkan dirinya agar ikut ke mana pun pria itu pergi. Akan tetapi dia sudah mempunyai janji lain hari ini, dia ingin mencari keberadaan Pratama bersama Dikta.Ah, memikirkan Dikta membuat jantung Risa tiba-tiba berdebar, wajah pun terasa panas. Meski mereka baru beberapa bulan ini saling mengenal, Risa bisa merasakan kalau Dikta sebenarnya pria yang sangat baik meskipun ucapannya terkadang menyebalkan.Tanpa banyak kata Dikta menenangkan dirinya yang terpuku
"Kenapa Dokter makasa, sih? Aku bisa balik ke kamarku sendiri kok.""Jangan banyak protes. Aku akan tetap mengantarmu sampai ke kamar.""Gess...." Risa memutar bola mata malas. Mau tidak mau akhirnya dia membiarkan Dikta mengantarnya kembali ke kamar.Suasana begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara mereka. Dikta memilih berjalan di belakang Risa alih-alih di samping wanita itu. Dia hanya ingin memastikan jika Risa tiba di kamarnya dengan selamat. Apa lagi hari sudah malam.Risa membetulkan jas milik Dikta yang dipakainya untuk menghalau hawa dingin yang menyergap tubuhnya. Aroma laut berpadu dengan kayu manis yang menguar dari jas Dikta tercium jelas di indra penciumannya.Aromanya sangat menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar. Entah mengapa Risa merasa nyaman berada di dekat Dikta. Rasanya dia sudah lama sekali tidak merasakan kenyamanan ini dan jujur saja dia merasa senang ditemani Dikta meskipun dia tadi sempat menolak.Tubuh Risa menegang, dia sontak berhe
Risa mengerjapkan kedua matanya berkali-kali untuk memastikan jika pria tampan yang berdiri tepat di hadapannya adalah Dikta."Kenapa Dokter bisa ada di sini?"Kening Dikta berkerut dalam, sepertinya Risa lupa kalau dia yang membawa wanita ke kamarnya."Ini kamarku, Brialla. Tentu saja aku ada di sini.""Kamar Dokter?" Kini giliran Risa yang bingung, pantas saja kamar ini terlihat sangat berbeda dengan kamar yang Rangga pesan untuknya. Ternyata kamar ini milik Dikta."Iya, ini kamarku." Dikta menegaskan."Terus, kenapa aku bisa ada di sini?"Alis Dikta terangkat sebelah. Kenapa Risa bertanya seperti itu pada dirinya? Apa Risa lupa kalau beberapa jam yang lalu dia menangis tersedu-sedu hingga membuatnya terpaksa membawa wanita itu ke kamarnya?"Apa kamu sempat minum tadi?""Minum?" Kedua alis Risa menyatu. "Aku tidak minum apa pun. Kenapa Dokter bertanya seperti itu? Apa Dokter pikir aku mabuk?"Dikta menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Risa
Risa ingin mencari Pratama sebelum pria itu pergi terlalu jauh. Namun, Dikta malah mencekal pergelangan tangannya."Ada apa, Brialla? Kenapa kamu terlihat panik sekali? Apa terjadi sesuatu?" Dikta menatap Risa khawatir. Dia tidak tahu mengapa Risa terlihat sepanik ini."Dokter ...." Risa menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk matanya. Suaranya pun terdengar bergetar."Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Dikta lagi sambil meraih kedua bahu Risa agar menghadapnya. Kekhawatiran terpancar jelas dari sepasang iris hitam miliknya ketika menatap Risa.Risa tidak mampu lagi menahan air matanya. Dia biarkan saja kristal bening itu jatuh membasahi pipinya untuk meluapkan kekecewaan dan rasa sakit yang saat ini sedang dia rasakan.Dikta semakin panik melihat Risa yang tiba-tiba menangis. Rasanya dia ingin sekali menarik tubuh Risa ke dalam dekapan dan mengatakan kalau semuanya pasti akan baik-baik saja agar perasaan wanita itu mejadi lebih t
Risa bergegas menghampiri pria asing itu lantas berdiri tepat di hadapannya. Sepasang matanya yang bulat sibuk memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah.Potongan rambut, wajah, dan bentuk tubuh pria itu terlihat tidak asing di matanya. Risa merasa pernah melihat pria ini sebelumnya. Dan matanya yang sipit mengingatkan Risa dengan—Deg,Tubuh Risa tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram pinggiran rok yang dipakainya dengan erat karena kejadian buruk yang dialaminya beberapa bulan yang lalu kembali melintas di ingatan.Risa masih ingat dengan jelas wajah pengemudi sedan hitam yang menabrak mobilnya hingga masuk ke dalam jurang dan meledak.Pengemudi itu ada di hadapannya sekarang.Dia ... Pratama. Kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Rangga."Maaf."Risa tergagap ketika mendengar suara Pratama. Dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang meskipun dia sekaran
Tidak ada yang membuka suara selama di perjalanan. Risa terlalu merasa canggung untuk mengajak Dikta bicara. Sejak tadi yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Risa baru pertama kali ini menaiki mobil Dikta. Mercedes Benz AMG G65 ini merupakan mobil mewah berjenis suv yang memiliki harga sekitar 4,2 miliar. Melihat rumah, kendaraan, dan barang-barang mewah yang dipakai Dikta membuat Risa sadar kalau Dikta bukanlah orang sembarang.Akan tetapi mengapa Dikta tidak bisa melawan Rangga? Apa mungkin ada seseorang yang diam-diam membantu mantan suaminya itu?Risa tanpa sadar mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia akan mengalami sedikit kesulitan untuk melawan Rangga jika ada orang penting yang berdiri di belakang pria itu. Akan tetapi dia sudah berjanji akan memulihkan nama baik Dikta karena dokter muda itu sudah mau memperbaiki wajahnya."Sudah berjalanan sejauh mana rencanamu?""Dokter tanya apa?" Risa tersentak ketika mendengar s