"Mas belum punya gantinya, Sya ...." Wanita itu hanya mendengus kesal dan tidak merespon ucapan suaminya. Ia beranjak dari duduknya dengan ekspresi menakutkan. Kalau saja salah seorang netizen yang berkomentar ada di dekatnya, ia sudah mendamprat mulut orang yang mengatainya itu. Namun balik lagi, apakah dia seberani itu bila netizen yang berkomentar puluhan atau ratusan. Lain lagi ceritanya. Bisa jadi, sebaliknya. Lelaki yang masih duduk di atas kasur terlihat sangat lesu di raut wajahnya. Tatapannya layu ke benda pipih miliknya yang telah berubah wujud. Ia ingin marah, tapi benda itu sudah telanjur pecah. Ia hanya bisa mengembuskan napas berat.**Sementara itu, Arka–lelaki bermata coklat dan runcing tersebut selalu melamun. Pikirannya menerawang jauh entah ke mana, membayangkan masalah kliennya yang sangat pelik, salah satunya masalah Jihan. Rasa simpatinya timbul di dalam hati. Ia tidak pernah menyangka Jihan setegar tadi, menghadapi dua orang yang sangat melukainya. Kedua ora
Raisa sedikit senang mendengar kabar bahwa berkas Adnan diterima dan diminta untuk datang ke kantor perusahaan, melakukan wawancara. Itulah kenapa dia sangat bersemangat untuk menyiapkan segala keperluan suaminya.Hari pertama menerima wawancara kerja. Adnan sangat bersemangat, begitu juga Raisya. Ia berharap semoga dengan pekerjaan barunya bisa memperbaiki keterpurukan ekonomi yang mereka lalui belakangan ini.Bagi Raisya, mendapat panggilan ke salah satu perusahaan, sebuah kesempatan yang sangat baik dan tidak boleh disia-siakan. Suaminya diterima di suatu tempat, itu berarti semesta masih mendukung mereka. Baginya, penilaian netizen terhadapnya hanya karena iri pada dirinya.Hal yang paling penting baginya ialah semua perhiasan emas yang telah suaminya jual akan kembali padanya. Tentu yang diharapkan olehnya, Adnan akan mengganti sekian banyak perhiasan yang telah dijual. Raisya sudah tidak sabar membayangkannya kembali.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka pun tiba di tempat tu
Kemeja telah terpasang rapi di badannya, begitu juga celana. Ia keluar kamar dengan wajah yang tidak cemberut seperti beberapa minggu belakangan. "Mas, sarapannya tidak dimakan dulu?" tegur istrinya. Ia berbalik, "Oh, iya. Mas hampir saja lupa!" Ia duduk di kursi dan meraih gelas yang telah disediakan untuknya. Setelah selesai, ia melanjutkan, memakai sepatu miliknya bersiap untuk berangkat ke kantor. "Sya, Mas pergi dulu, ya!""Iya, Mas."Wanita yang baru saja dari dapur bergegas ke depan pintu untuk mengantarkan suaminya sekaligus memberi salam. Namun, lelaki itu telah pergi, menjauh dengan motornya.Raisya mematung di depan pintu rumah sambil matanya menatap jauh bayangan lelaki yang telah berlalu itu, hingga hilang dari pandangan. Ia mengembuskan napas panjang. Perasaannya mengisyaratkan sesuatu yang berbeda.Ya, dia merasakan ada sesuatu yang lain dari sikap suaminya dua hari belakangan. Adnan tidak terlihat merenung lagi tatkala ia menikmati sarapan pagi. Biasanya, setiap pa
Iparnya itu, dulu wajahnya sangat terawat, begitu juga rambut dan kulitnya. Namun semua itu telah sirna. Wajah Lisa terlihat kusam, kulitnya kering, begitu juga rambut yang diikat sebisanya saja tanpa bantuan alat catok yang mahal dari salon. Wajah glowing itu telah memudar."Jangan terlalu sering menitipkan Dita ke sini. Tidak ada yang akan menjaganya," ucap Lisa tajam."Aku menitipkan ke neneknya bukan kamu.""Ibu lagi gak sehat. Tetap aja, dia akan menyuruhku.""Dita di mana?"Raisya tidak ingin berdebat panjang lebar dengan wanita di depannya. Bukan menghindar, tetapi malas. Ia harus pulang ke rumah secepatnya untuk membuat makan siang."Gak tau, tuh. Cari aja sendiri."Raisya menjadi geram mendengar jawaban Lisa yang sangat tidak peduli sambil berlalu pergi. Raisya memutuskan bertanya ke tetangga. Hingga akhirnya menemukan Dita di rumah tetangga. Ia tidak tahu di mana ibu mertuanya. Ia belum sempat bertanya karena harus segera pulang. Lain waktu, dia akan menanyakannya lewat s
Seketika wajah Raisya merah padam, melihat lelaki yang sedang berjalan dengan wanita di sampingnya. Ia mengingat-ingat kembali pembicaraan mereka di telepon tadi. Dia sangat yakin dan tidak salah dengar suaminya bilang sendiri ke luar kota. Namun yang dia lihat saat ini, suaminya bukan ke luar kota, tetapi di suatu tempat yang cukup jauh dari kota. "Kenapa dia harus berbohong padaku? Sepertinya, dia menyembunyikan sesuatu dariku," gumam Raisya."Sya, benar 'kan, lelaki tadi Mas Adnan, suamimu?"Raisya menjawab dengan menganggukkan kepala. Ia mengembuskan napas sambil menata gemuruh di dadanya. "Aku tinggal sebentar, ya! Ntar aku gabung lagi bersama kalian.""Oke, Sya. Semangat!"Ia berjalan sedikit lebih cepat menuju lelaki itu untuk menanyakan perihal ucapan suaminya pergi keluar kota. Dan yang mengganggu pikirannya, wanita di sebelahnya. Raisya tak sabar lagi ingin menanyai maksud Adnan keluar kota. Ketiga temannya saling menatap kebingungan. Raisya tidak memberitahu mereka. Nam
Suatu pagi, Raisya sedang di dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Namun, hari itu berbeda, tak ada Adnan, suaminya. Ia sarapan hanya berdua saja, bersama putrinya.Sudah tiga hari, lelaki itu tidak ada kabar. Raisya semakin khawatir. Ia masih ingat dua hari yang lalu suaminya akan menelepon balik kalau sudah waktu luang. Namun malam pun terlewatkan, bahkan pagi juga tidak ada panggilan telepon atau WA masuk ke ponsel Raisya. Ia terbangun karena suara putrinya. Semalam ia tertidur karena capek melamun dan berpikir.Setelah menyelesaikan sarapan dan mengantar putrinya, ia kembali ke rumah. Hari itu, dia tidak ikut bersama teman-temannya hang out seperti biasa. Ia harus membereskan isi rumah yang mulai berantakan. Tanaman-tanamannya pun sudah banyak yang tidak terawat, hingga layu dan kering. Sesekali ia mengecek ponselnya. Yang diharapkan tak kunjung ada kabar. Ia memutuskan, meletakkan kembali ponselnya ke meja yang terletak di teras rumah.Tidak terasa waktu sudah hampir siang.
"Ini tidak seperti yang kau kira, Sya. Aku bisa jelaskan.""Apa maksudmu berbicara seperti itu? Siapa wanita ini, Mas?" tanya Sarli dengan ekspresi tidak mengerti."Ya, aku isterinya. Kamu siapa?" jawab Raisya dengan ekspresi menyelidik. Ia menatap wanita di depannya dari atas ke bawah.Tiba-tiba sebuah tamparan keras melekat lagi di pipi lelaki itu. Kali ini, wanita berambut pirang itu yang menamparnya. Napasnya memburu kesal kepada lelaki di sampingnya."Kamu membohongiku, Mas. Kau bilang sendiri bahwa kau seorang duda. Ternyata kau sudah memiliki istri. Dasar pembohong!" Wajah Sarli sudah memerah, malu dan juga marah telah menguasainya. Ia ingin sekali meneriaki lelaki di depannya. Ia merasa telah ditipu oleh lelaki itu. "Duda? Mas?" tatap Raisya ke suaminya dengan ekspresi tidak percaya.Adnan semakin merasa terpojok. Ia sangat bingung harus menjawab apa."Kamu, kenapa merebut suamiku?" tanya Raisya geram. Ia belum puas mendengar jawaban wanita berambut pirang itu."Hei, asal ka
Karena tidak dipedulikan dan harga dirinya seolah dihinakan, Sarli tidak terima begitu saja. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang di balik sambungan telepon. Ia sangat marah. Lelaki berkulit sawo itu mengantar Raisya ke rumah. Namun pertengkaran mereka sepertinya belum selesai. Mereka terus berdebat di atas motor. Adnan merasa nasibnya sangat apes. Maksud hati menyembunyikan Sarli dari Raisya. Namun wanita itu sangat mudah dan cepat mengetahui kebusukan yang disembunyikan. Kalau Adnan diberi pilihan, dia tidak akan memilih salah satu dari keduanya. Adnan tidak ingin melepaskan Raisya, tetapi juga tidak ingin melepas Sarli begitu saja. Sarli merupakan aset baginya setelah mengetahui bahwa wanita itu merupakan putri satu-satunya dari keluarganya. Jelas bahwa wanita itu pewaris tunggal harta kedua orang tuanya. Ia pernah berkunjung ke rumah kedua orang tua Sarli sebelum memutuskan untuk menikahi wanita itu. Kedua orang tuanya memiliki kebun dan ladang sawah berhektar-hektar