POV AuthorBeberapa menit berlalu, mereka tiba. Arka membantu membukakan pintu untuk mereka. "Selamat datang Tuan dan Nyonya! Silakan masuk!" Seorang waitress menyambut mereka. "Terima kasih. Tempat yang telah aku pesan sudah tersedia?""Oh, iya, Tuan! Mari ke arah sini, aku akan tunjukkan." Wanita itu sudah sangat akrab melihat wajah Arka. Selain pengunjung setia, Arka juga menjadi perbincangan kalangan waitress wanita di restoran tersebut. Bagaimana tidak, lelaki dengan paras ganteng dan cool seperti Arka jelas akan menarik perhatian mereka.Sebenarnya, waitress bernama Susi tadi sedikit bingung melihat kedatangan lelaki tadi dengan seorang wanita dan gadis kecil. Setahu dia, lelaki itu belum beristri. Jadi, siapa wanita dan anak kecil itu. Pertanyaan tersebut terlintas di benaknya. Ternyata tidak hanya dia, beberapa karyawan wanita lain juga saling bertanya-tanya.Restoran itu selalu ramai. Jadi, pelanggan sudah harus reservasi sebelum datang agar mendapatkan meja. Kalau tidak,
POV Author[Raisya!] Aku sedikit terkejut dan tidak percaya.[Untuk apa maksud Raisya menyebarkan isu ini?][Ya, untuk apalagi kalau bukan untuk memperbaiki namanya? Jadi, dia gak bakal disalahkan lagi karena merebut suami orang. Selain itu, dia ingin teman-teman berpikir kamunya yang mau balikan diam-diam sama Mas Arka. Jadi, kamu bisa bayangkan sendiri gimana jadinya][Astaghfirullah. Sekejam itu dia memfitnahku!][Tuh, di grup udah heboh][Pasti, aku udah ditelanjangi habis-habisan di grup][Ya, pastinya. Untungnya, kamu udah left grup, Han. Kalau tidak, aku tidak tahu seperti apa raut wajahmu][Iya, Met. Makasih, ya atas saranmu waktu itu][It's okay, Han]Jihan sudah lama keluar dari grup alumni karena baginya pembahasan di dalam sangat toxic yang mengganggu mental dan pikirannya. Itulah mengapa dia memutuskan untuk left grup. Jadi, dia hanya mengandalkan kabar dari Meta, sahabatnya. Meta yang selalu meneruskan informasi dari grup ke Jihan. [Han, tau gak isi statusnya Raisya ap
POV Author"Ada apa, ya, rame sekali?" tanya yang lain saat mendekat."Ituloh, Bu Lastri ditagih rentenir. Ternyata, dia minjam duit banyak banget.""Astaga! Jadi, gitu! Pantesan aku gak pernah lagi lihat kalung dan gelang emas yang melingkar di leher dan pergelangan tangannya.""Ya, mungkin saja dia udah gadai atau jual untuk menutupi utang, tapi gak cukup.""Kasihan ya, Pak Hasan, suaminya cuma seorang petani, tapi istrinya maksa banget gayanya kayak sosialita." Cuitan tetangga cukup mengganggu telinga Bu Lastri, karena suara mereka sangat besar. "Maka dari itu ibu-ibu, kalau suami gak banyak duit gak usah maksa," ucap salah seorang dari kumpulan ibu-ibu itu dengan meninggikan suara."Iya, benar. Akibatnya kan kayak gitu."Sindiran-sindiran tetangga cukup membuat telinga dan muka Bu Lastri menjadi merah padam. Entah malunya mau disimpan di mana. Semua tetangga sudah melihat dan menyaksikan sendiri para rentenir membentak dan memarahinya di depan orang banyak."Dan tahu tidak, anak
POV Author"Aku sudah cukup sabar menunggu. Bahkan hampir ratusan kali aku ke sini, tetapi hasilnya nihil." Sena menatap tajam."Mba ... Aku ...." Mata Lisa mengiba. Ia ingin histeris, tetapi tidak jadi dilakukan karena banyak warga yang menonton. Kali ini Lisa harus membuang egonya berpura-pura kuat. Ia membuang sedikit rasa malu dengan memohon ke Sena sambil bersujud. Ia tidak punya pilihan selain melakukan itu. Beberapa warga yang menonton tercengang dengan peristiwa yang tiba-tiba di depan mata mereka. Pemandangan yang sangat memalukan. Ada yang mengiba, ada pula yang menganggap hal itu hanyalah sebuah trik. Warga sekitar sudah sangat mengenal perangai anak bungsu dari Bu Lastri tersebut. Anaknya terlalu sombong, menganggap orang lain remeh, dan jarang sekali bergaul dengan warga sekitar. Sena, pemilik salon tersebut sudah beberapa kali datang ke rumah dan menagih, tetapi tidak diindahkan. Jadi, mereka berpikir mungkin cara yang digunakan oleh Sena adalah cara yang tepat.Wan
Dalam seminggu mereka pasti akan melakukan perjalanan tanpa sepengetahuan Bapaknya dan tentu Mas-nya. Semua ini ide Lisa. Ia yang meracuni pikiran ibunya agar menikmati hidup. Dia bosan hidup berkecukupan saja. Lisa pernah memberitahu ibunya bahwa kalau sudah tua dan sakit-sakitan, ibu hanya akan berdiam diri di rumah dan tidak akan pernah merasakan keindahan alam.Lisa sangat terobsesi dengan kehidupan para selebgram dan selebriti yang ditontonnya setiap hari di media sosial.Jadi, uang yang dikirim oleh Adnan seharusnya dipakai untuk keperluan rumah dan membelikan perlengkapan perabot, mereka gunakan untuk bersenang-senang. Sedangkan untuk keperluan rumah, mereka pinjam ke koperasi sebagai gantinya dengan tujuan akan menyicil. Cicilan tersebut mereka harapkan dari kiriman Adnan. Namun semuanya telah berubah dalam sekejap dan tanpa perhitungan cermat. Semua sudah terjadi."Bantuin, dong, Mas. Jangan bertanya terus," sambung Lisa cemberut."Bantuin, bantuin. Kata itu terus yang kau
POV Author"Lelaki itu cukup licik! Bisa-bisanya dia ingin memerasku dengan cara menggunakan Naya agar aku bisa luluh. Sangat tidak tahu malu dan tidak punya hati." Wanita bermata bulat itu membatin di dalam hati. Hatinya seketika panas, mendengar tawaran mantan suaminya. "Bapak! Dia sakit apa?" tanya Jihan lagi."Sekarang sedang di rumah sakit, Han, please!"Jihan tidak melanjutkan pertanyaannya. Panggilan berakhir begitu saja. Adnan mengembuskan napas berat. Kedua wanita di belakangnya menatap penuh tanda tanya."Bagaimana jawaban Jihan, Nak?" tanya wanita tua itu.Lelaki bercambang itu kembali duduk kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sedikit putus asa. Ia hanya menggeleng sebagai jawaban. "Maksudmu, Jihan gak mau bantuin?" Masih dengan anggukan yang sama sebagai jawaban."Meskipun kau sudah menawarkan tentang pengasuhan Naya?" tanya wanita paruh baya di sampingnya. Lelaki itu hanya mengembuskan napas berat. Tatapannya kosong ke depan.Pikirannya saat ini sangat kac
Bahkan keluarga suaminya, terutama Bu Lastri dan Lisa tidak memedulikan keberadaan mereka setiap kali berkunjung ke rumah. Justru, mereka tidak segan-segan untuk mengusir Jihan dan putrinya secara halus, meskipun tidak secara langsung. Jihan malas berdebat dengan mereka. Terlalu menghabiskan energi dengan sia-sia. Ia tidak punya waktu untuk itu. Jihan menata gemuruh di dadanya yang membuncah. Setelah merasa sedikit tenang, ia merapikan tasnya dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh. Tanpa disengaja, ia berpapasan dengan wanita bergigi gingsul bersama putri kecil di sebelahnya. Anak kecil yang ia kenal itu bernama Dita. Wanita itu terkejut dan menatapnya penuh tanda tanya. Hening sekitar beberapa detik. Lisa dan Ibunya saling menatap. Sedangkan lelaki bermata tajam diam membeku. Mereka menunggu peristiwa apa yang akan terjadi berikutnya. Hal itu merupakan pemandangan pertama kali bagi mereka menyaksikan kedua wanita itu saling berpapasan di waktu yang tidak tepat."Kenapa wa
POV AuthorLelaki beralis tebal itu membeku sepersekian detik. Ia bingung harus menjawab apa. Raisya, istrinya itu baru saja datang dan tiba-tiba sangat marah. Ia harus memikirkan sesuatu agar istrinya mereda. Bukan saatnya untuk berdebat. Ada hal lain yang harus dia utamakan.Dia juga harus memperlakukan baik kepada mantan istrinya karena sudah berada di rumah sakit. Hal itu merupakan kesempatan untuknya meminta bantuan, juga belas kasihan. Ia masih memikirkan bapaknya yang sedang terbaring di dalam sana. Meskipun mantan, Jihan datang ke rumah sakit pasti karena ada sikap iba terhadap mantan bapak mertuanya.Dari keheningan tersebut, Jihan–wanita yang memiliki bulu mata lentik itu mendekati wanita di depannya, yang semenjak tadi terbakar amarah."Aku hampir lupa untuk memberitahumu. Seringlah memantaunya. Jangan sampai dia izin merantau lagi dan kau akan ...." Jihan menaikkan kedua bahunya kemudian melenggang pergi, sebelum Raisya semakin meradang."Oh, ya, satu lagi. Kadang-kadang,
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi