POV Adnan"Naya, cepat masuk, Nak! Sudah malam. Mas seharusnya membawa jam tangan atau jam walker sekalian agar mengingat waktu.""Maaf, tadi Naya keasyikan bermain sehingga lupa waktu. Lain kali, aku akan memerhatikan lagi waktu." Aku meminta Naya agar segera masuk. Aku tidak boleh gegabah membuat kesalahan untuk sementara waktu. Tidak boleh secepat ini. Sebisa mungkin Jihan harus luluh dengan usahaku memperbaiki diri agar dia yakin denganku. Wanita dengan bulu mata lentik itu tidak menyahut atas jawabanku. Dia hanya berbalik dan hendak menutup pintu. "Ayah!" Naya berbalik, memanggilku. Tadinya, aku akan pergi."Iya, Nak.""Ayah gak bobo di lumah? Kok, bobo di tempat kelja telus?" Mata gadis kecil itu masih menatapku, menunggu jawaban.Aku jadi kikuk, bingung akan menjawab seperti apa. Pertanyaan anak kecil itu cukup membuatku salah tingkah. Entah akan berkata jujur atau tidak. "Iya, Sayang. Dia harus kembali bekerja, tidak ada hari selain bekerja dan bekerja," sahut Jihan dengan
POV Adnan"Nak, semua itu?" tanya Ibu dan menatapku juga. Aku belum menjawab pertanyaan mereka. Semakin aku menjawab, semakin mereka akan bertanya kenapa dan mengapa."Coba kami periksa, ya. Akan kami informasikan kalau sudah mencukupi atau ada yang kurang," ucap mereka, kemudian menerima perhiasan yang aku berikan."Baik, Pak. Tolong buatkan kwitansi dan bukti pembayaran untuk kami." Setelah mereka membuatkan kwitansi dan menyerahkan padaku, kedua lelaki itu izin pamit. Kami diminta untuk menunggu kabar selanjutnya dari mereka.Aku berbalik dan menyerahkan beberapa dokumen ke Mama dan adikku, Lisa. "Mas, pokoknya Lisa gak terima. Hanya itu perhiasan yang aku miliki," ucapnya dengan nada cemberut."Mama sudah lama ingin ngoleksi semua perhiasan itu dan setelah semua sudah terkumpul, kamu langsung berikan ke orang. Gimana Mama bisa dapatin lagi, Adnan?" Mama juga ikut protes padaku."Terus, kita harus gimana lagi? Kalian akan membayar pakai apa?" tatapku ke mereka dengan kesal. Aku
POV Adnan"Ya, sebelumnya, Mas masih nyari-nyari peluang kerja di teman-teman yang lain. Setelah itu, aku ke rumah Mas Yanto. Telepon aja kalau tidak percaya!" ucapku meyakinkan. Untungnya, dia tidak menelepon balik. Ia pasti ragu untuk menelepon karena khawatir mengganggu, dan juga tidak memungkinkan di waktu jam kerja seperti ini. Aku sudah mempertimbangkan dengan menyuruhnya menghubungi. Lagi pula, dia tidak mungkin seberani itu.Ia lekas membalikkan badannya karena kesal dengan ucapanku. Aku pun tak ingin menggubris karena sudah sangat lelah bukan karena kerja, tetapi lelah hati memikirkan Jihan yang masih bersikukuh, ditambah lagi Raisya yang menanyaiku seakan menginvestigasi.Aku bangkit dari tempat duduk, hendak ke ruang makan. Aku sangat lapar hari ini. Mungkin karena mood yang lagi kurang baik, perut pun ikut protes. "Sya, siapin makanan, ya! Mas mau makan." Aku berjalan sedikit cepat untuk menghampirinya sebelum dia masuk ke kamar. "Dia atas meja sudah ada, Mas. Buka aja
POV Adnan"Mas dari rumah Jihan 'kan?""Bukan seperti itu, Sya. Mas hanya kunjungi Naya""Mas kenapa mengunjungi Naya terus?""Naya kan putri, Mas. Jadi, aku masih punya tanggung jawab untuk mengunjunginya.""Trus mas gak sayang lagi sama Dita? Aku tidak pernah lihat lagi Mas bermain dengan Dita. Mas lebih sibuk di sana 'kan?""Bukan itu masalahnya, Sya. Dita, putri Mas dan begitu juga Naya. Mas hanya ....""Hanya apa? Oh, ok, sekarang aku sudah mengerti, Mas tidak perlu menjelaskan. Mas sepertinya belum move on dari Jihan.""Kamu salah paham, Sya!" Ia menepis tanganku, yang hendak meraih lengannya."Aku tahu, kok, Mas dari rumah Jihan. Mas tidak usah berkelit. Pokoknya Mas harus ceraikan Jihan mulai dari sekarang! Mas harus memilih salah satu. Aku tidak mau Mas membagi kasih sayang dengan yang lain selain kepada kami." Raisya meninggalkanku sendiri di meja makan dengan ekspresi tajam. Aku masih terdiam dan hanya melihat punggungnya dari belakang. Bagaimana dia tahu aku belum pisah d
POV AdnanAku sedikit mengernyitkan dahi. Lelaki di depanku ini terlalu banyak yang dia ketahui tentang aku dan Jihan. Pasti Jihan yang memberitahu, tak ada orang lain yang bersamanya selain Jihan."Kami belum resmi. Tunggu! Dari mana anda tahu?""Tidak penting dari mana aku tahu." Dia menyodorkan kartu namanya padaku.Dahiku berkerut. Aku meraih dan melihatnya. "Anda pengacara? Itu artinya, Jihan klien anda?" Dia hanya tersenyum.Aku tahu sekarang. Dia pengacara Jihan dan jelas telah tahu secara keseluruhan."Anda terlalu naif menyia-nyiakan wanita seperti Jihan. Dia wanita yang baik, penyabar, dan juga pintar. Bagaimana anda bisa mengkhianatinya?" Seketika jari-jariku mengepalkan tinju. Caranya berkata seperti mengejekku."Apa maksudmu?" tanyaku padanya sambil menatapnya tajam."Ayah ...." Aku menoleh pada suara yang menyapaku. Suara Naya mencairkan ketegangan di antara kami."Iya, Sayang." Ia mendekat kemudian meraih tanganku. Aku pun beranjak dari tempat duduk, mengikuti langkah k
Siang ini, aku bersiap-siap akan ke kantor Mas Arka untuk mendiskusikan beberapa hal. Setelah mengantar Naya untuk beristirahat di kedai bersama Mba Tina, aku langsung bergegas. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan padaku. Dia tidak sempat ke kedai karena sedang mempelajari beberapa materi berkas katanya. Aku tak tahu tentang apa.Sekitar dua puluh menit berlalu, aku pun sampai di kantor. Lokasi tempat tinggalku dan kantor Advokat milik Mas Arka tidak terlalu jauh. Kurang lebih sekitar sepuluh kilometer. Kalau pun perjalanan ditempuh dalam hitungan jam itu karena macet.Setelah membayar biaya ongkos taksi, aku keluar dari mobil. Aku mencocokkan kembali gedung di depanku dengan gambar yang dikirim oleh Mas Arka ke WA-ku. Gambarnya sesuai dengan gedung yang berdiri gagah di depan. Aku pun melangkah ke dalam. Seorang lelaki menghampiriku. Dari perawakannya dia terlihat masih sangat muda, mungkin pegawai baru atau anak magang. "Dengan Bu Jihan?""Iya, benar.""Mari, Bu. Silakan ke
"Menurutmu bagaimana? Coba tebak," tatapnya padaku dengan mengembangkan senyum.Aku pikir dia hanya bercanda, tetapi ternyata dia menunggu responku. Matanya masih melihat padaku. Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Seketika aku mengarahkan kembali pandanganku ke depan, tidak kuat melihat tatapan matanya yang menusuk. Entah apa arti tatapan mata itu. "Oh, taksinya sudah tiba. Mari, Mas. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih, ya." Aku beranjak dan bergegas menuju taksi.Mas Arka hanya melambaikan tangan ke arahku. Sekilas, aku melihatnya dari dalam mobil. Dia masih bergeming dari tempatnya berdiri, menatap mobil yang aku tumpangi.Setelah beberapa lama, mobil yang aku tumpangi sampai ke tujuan. Aku langsung beristirahat di rumah, tidak sempat ke kedai. Mba Tina sudah aku beritahu lewat WA sekaligus memintanya, mengantarkan Naya ke rumah.Seharian aku sangat kelelahan. Lelah hati karena memikirkan langkah Mas Adnan mengajukan banding. Aku tidak menyangka dia sekejam itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku hendak menutup pintu kembali, tetapi dicegat olehnya."Aku ingin menemui putriku.""Semalam ini? Ini sudah terlalu larut malam. Mas bisa datang besok pagi.""Mas hanya ingin melihat Naya, putriku.""Naya sudah tidur, Mas. Sebaiknya Mas pergi dari sini. Tidak baik malam seperti ini Mas di sini.""Ini rumah Mas juga. Jadi tidak ada salahnya kan aku ingin berkunjung atau mungkin beristirahat sebentar.""Mas!" Dadaku berdegup cukup kencang. Aku tidak mengerti isi pikiran lelaki di depanku. "Mas harus keluar dari rumah ini. Kalau Mas tidak keluar, aku akan berteriak minta tolong."Ia sudah masuk ke dalam dan hendak ke kamar, tetapi langkahnya terhenti karena mendengar suaraku meninggi. "Mas, aku peringatkan sekali lagi. Lekas keluar dari rumah ini!"Ia berbalik dan menatapku tajam. Ia sudah mendekat padaku, mungkin jarak kami sekitar dua hasta. Aku tidak bisa menahan deru di dada, berguncang sangat hebat."Mas ... kau ...." Aku melangkah ke belakang."K
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi