Hari ini aku bersiap-siap untuk mengajak safa makan malam bersama di sebuah restoran. Makan malam kali ini bukanlah makan malam biasa aku akan melamarnya malam ini.Dia mengatakan jika status duda bukanlah hal yang buruk. Selain itu dia juga mengatakan jika saat ini bukanlah waktunya untukku berpacaran. Aku merasa itu juga berlaku buat dirinya bukan karena kami memiliki status yang sama-sama pernah menikah sebelumnya.Aku menyiapkan semuanya dengan baik memesan sebuah tempat di restoran Italia dan memintanya datang ke restoran tersebut bersama sopir.Setelah maghrib, aku segera bergegas berangkat ke tempat tersebut.bSedangkan sopir aku ditugaskan untuk menjemput wanita itu.Aku menunggunya di depan pintu masuk restoran. Begitu dia sampai dan melihatku, senyum yang manis terkembang di wajahnya. Aku segera menyambutnya dan mengajaknya masuk ke dalam dan menuju ke meja yang sudah aku pesan sebelumnya.Saat kami memilih menu yang berada di daftar menu tiba-tiba dia berbisik, "Saya terbias
"Wah Tante sudah datang, Qia sudah menunggu sejak tadi," suara Qia mencairkan suasana yang memanas.Anak itu langsung menarik tangan Safa masuk ke dalam rumah, dan dengan enggan Safa mengikuti arah ke mana Qia membawanya."Mama lihat wanita yang mama hina itu disukai oleh anakku. Aku tidak mau lagi mama melakukan itu padanya. Dengan atau tanpa persetujuan mama aku akan menikahinya demi diriku sendiri maupun demi Qia," ucapku sambil berlalu dari hadapan mama.Papa hari ini tidak ada di rumah Sepertinya beliau ada pekerjaan di luar rumah sehingga pada saat aku membawa Safa ke sini beliau pun tidak ada di rumah.Aku masuk ke dalam rumah mengikuti ke mana arah perginya Qia membawa Safa. Ternyata mereka sedang bermain di ruang tamu dengan riang gembira seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi. Apakah Safa menyembunyikannya atau memang merasa tidak mempermasalahkan ucapan mama barusan.Mama masuk ke dalam rumah dan menatap ke arah Safa dan Qia yang sedang asyik bermain di ruang tamu."Mama ma
Sekuat hati aku memendam perasaanku di hadapan mas Abi maupun mamanya, aku berusaha untuk tidak memperlihatkan kesedihanku dan rasa sakit hatiku. Aku tahu statusku yang mantan istri orang, dan aku menerimanya dengan lapang dada atas ucapan mama mas Abi. Qia membuatku terhibur dan tidak terlalu larut dengan perasaanku, hingga aku bisa menguasai diriku sampai pria yang memberikan cincin bertatahkan berlian itu mengantarkanku pulang kembali ke rumah. Saat aku sudah masuk ke rumah, aku mendengarnya kembali mengetuk pintu. Aku tahu alasanmu dia kembali, pasti karena aku meninggalkan cincin pemberiannya di mobilnya. Entah kenapa sebelum berangkat tadi, secara naluriah aku ingin sekali membawa kotak perhiasan itu bersamaku. Ternyata jawabannya adalah sikap mama mas Abi yang tidak bisa menerimaku. Aku enggan bertemu dengannya dan menyuruh mbak Lala untuk mengatakan jika aku sudah masuk ke kamar dan tidak ingin ditemui lagi. Ada rasa sakit menghujam jantungku, meskipun aku tidak berharap b
Aku menghentikan aktivitasku saat ketukan pintu terdengar di ruangan tempatku bekerja dikamar atas. Terdengar suara mbak Lala memanggilku, aku segera bangkit dan untuk membuka pintu. "Bapak Abimanyu sudah datang, mbak. Beliau ada dibawah bersama dengan pak Galih," ucap wanita yang membantuku mengurus rumah ini. "Oke mbak, saya akan turun. Terimakasih ya," ucapku sambil menutup pintu kamar dan mengikutinya turun kebawah menemui kedua pria itu.Saat aku sampai di ruang tamu, aku merasakan hawa tidak bersahabat tercipta diantara mereka. Mereka duduk berjauhan tapi dengan pandangan tidak bersahabat. "Apa kabar mas," sapaku pada mas Abi berbasa-basi sambil tersenyum. Aku binggung mau memulai darimana obrolan ini, aku memintanya datang kerumah dan dia tidak menanyakan apapun alasannya padaku."Aku baik, duduklah," jawabannya sambil mempersiapkan diriku duduk. "Ini rumahku mas," sahutku sambil tertawa menanggapi candaan. Dia hanya tersenyum mendengar perkataanku, suasana sedikit cair d
Sejak kejadian Dania dilaporkan kepada polisi oleh mas Abi, mas Galih maupun Dania tidak lagi mencampur kehidupanku. Mungkin mereka kapok atau bagaimana, aku tidak tahu. Akupun tidak ingin tahu bagaimana kisah mereka selanjutnya, aku hanya ingin hidup tenang tanpa gangguan dari mereka. Mas Abi sering kali datang bersama Qia meskipun hanya sekedar mengantarkan bocah itu, dan cincin ini tetap melingkar dijariku. Entah bagiamana akan berakhir dimana hubunganku dengannya ini, bahkan aku tidak tahu. Bahkan Qia seringkali datang ke rumah ini hanya diantar oleh sopir dan dia akan bermain di sini hingga sore hari. Begitu sore hari, sopir dan pengasuhnya akan datang menjemput. Begitu hampir setiap minggunya, seminggu bisa tiga sampai empat kali Qia akan datang ke rumahku. Gadis kecil itu berkelakuan baik di rumah ini, dia tidak pernah merepotkanku saat aku sibuk bekerja di ruang kerjaku di lantai atas.Jika aku sedang sibuk dengan pekerjaanku maka Qia akan bermain sendiri dan menemaniku di
"Papa ... Papa," suara dari Qia membuatku urung menjawab perkataan mas Abi. Aku segera menoleh dan menatap ke arah bocah yang tengah berada di tangga paling atas rumahku. Aku bangkit dan menghampirinya sampai berteriak."Qia awas jangan lari-larian berbahaya berlari menuruni tangga," ucapku. Bocah kecil itu mendengarkan ucapanku dan akhirnya berjalan perlahan menuruni tangga, sedangkan aku tetap menunggunya di ujung tangga paling bawah. "Papa datang menjemputku?" ucapnya kegirangan. "Iya Papa menjemputmu," jawab mas Abi sambil berjalan menghampiri kami."Ya sudah ayo kita pulang sudah sore, kasihan tante banyak kerjaan sepertinya," ajak Qia pada papanya."Qia pergi ke mobil dulu ya tungguin papa di sana. Papa mau bicara sebentar dengan tante Safa," titah mas Abi pada sang putri.Bocah manis itu menuruti perkataan papanya. Qia lantas berpamitan padaku, mencium tanganku, dan pergi berlalu menuju mobil papanya yang terparkir di halaman rumahku."Aku menunggu jawabanmu, Safa. Apa kam
"Apa kamu akan pergi keluar?" tanya wanita yang terlihat berkelas itu sambil berdiri menatapku dari tempatnya. Untuk beberapa saat, aku sempat terpaku berdiri tidak jauh dari ruang tamu. Mendengar sapaan darinya, bergegas aku berjalan menghampiri mama dari mas Abi tersebut. "Tidak, Bu. Kebetulan saya sedang rapi saja hari ini," jawabku sambil berusaha tersenyum. "Silahkan duduk," ucapku lagi, mempersilahkan wanita tersebut duduk kembali. Aku terdiam menunggu apa yang hendak dikatakan oleh tamuku itu padaku, rasanya tidak elok jika aku menanyakan tujuannya datang ke rumahku saat ini. "Apa Qia sering datang ke sini?" tanyanya membuka percakapan. "Iya kadang-kadang, mungkin sekitar tiga sampai empat kali dalam seminggu. Biasanya Qia akan di antar jemput oleh supir dan pengasuhnya."Aku sengaja memberitahu siapa yang mengantar dan menjemput bocah itu agar nenek dari Qia ini tidak berpikir jika putranya selalu datang ke rumahku. "Apa kamu menyayangi Qia?" tanyanya lagi. "Siapa yang
POV Abimanyu_______________Siang itu adalah hari yang membahagiakan buatku, akhirnya Safa menerima lamaranku. Beruntung mama datang bukan untuk membuat Safa terluka lagi, tapi datang untuk memintanya menjadi mama Qia sekaligus istriku. Kami meneruskan obrolan setelah makan siang bersama, membahas tentang pernikahan kami. Aku ingin segera menikahi wanita ini, jika kami menikah dan tinggal bersama, maka Qia dan aku tidak perlu bolak-balik ke rumah ini untuk bertemu dengannya. Saat tengah asyik berbincang, tiba-tiba mantan suami Safa lagi-lagi datang ke rumah ini. Aku tidak tahu apa maunya pria itu masih saja mendatangi mantan istrinya. Begitu masuk kedalam rumah, dia langsung memarahi calon istriku hanya karena Safa berniat untuk menjual rumahnya. Mungkin saja Safa sudah mengiklankan rumah ini atau memakai jasa seseorang untuk menjualnya kemudian pria ini mengetahuinya. Pria arogan itu dengan seenaknya merendahkan mantan istrinya, hal itu tentu saja memancing kemarahanku. Bagaiman
Mobil yang dikendarai Mas Abi bergerak menjauhi rumah kami. Hari ini lelakiku itu mengajakku jalan-jalan tanpa anak-anak bersama kami. Dia ingin mengajakku refreshing, menyenangkan diri, merilekskan tubuh dan otot-otot setelah beberapa waktu yang lalu berjuang melahirkan putra kami. Awalnya aku menolak karena kasian anak-anak, ditambah lagi bayi kami baru dua bulan. Gimana jika nanti rewel kalau ditinggal. Setelah meyakinkan diriku, akhirnya aku mengikuti kemauan Mas Abi. Qia dan Albi pergi ke rumah Omanya. Keduanya di jemput pagi-pagi sekali, sedangkan Azam di rumah dengan pengasuhnya. Aku sudah menyediakan ASIP yang cukup banyak, cukup hingga sore atau bahkan malam nanti. "Kemana kita, Mas?" Tanyaku pada lelaki yang duduk di sampingku.Fokus menyetir kendaraan roda empat yang kami tumpangi. "Bersenang-senang. Mencari hiburan, kamu pasti penat terus berada dirumah. Sejak melahirkan, kamu belum pergi kemanapun." Perkataan Mas Abi memang benar, sejak melahirkan aku menghabiskan ba
Rumah sudah mulai sepi kembali, tinggal Mama dan Papa, juga kedua teman yang selalu ada untukku, Kaira dan Lili.Hari ini kami mengadakan acara aqiqah untuk anak ke tiga kami. Bayi laki-laki yang kami beri nama Khairul Azzam itu, saat ini sudah berusia dua minggu. Kami sengaja melakukan acara aqiqah setelah dua minggu kelahirannya agar keadaanku sudah pulih saat kami mengadakan acara tersebut. Bahkan Kaira dan Lili juga tidak aku izinkan untuk datang menengok saat aku masih dalam keadaan belum sehat. Hari ini adalah hari pertama mereka datang setelah aku melahirkan. Saat itu aku memang benar-benar ingin istirahat total tanpa ada yang menjenguk, hanya Mama dan Papa yang bolak-balik datang ke rumah kami. Kelahiran kali ini begitu sulit, penuh dengan perjuangan, sehingga aku tidak mau segera ditengok oleh siapapun agar bisa banyak beristirahat. Aku, Kaira, dan Lili, saat ini sedang berada di teras rumah. Tadi setelah acara memang keduanya sengaja tidak pulang dan ingin ngobrol dengank
"Apa maksudnya, Suster. Ini sudah sakit sekali bagaimana bisa masih belum," erangku menahan rasa sakit yang kembali datang. "Sabar yaa, Bu." Perawat itu membantuku tidur miring kembali dan mengusap-usap pinggangku.Nyaman terasa saat tangan lembut itu mengusap pinggangku. Tak lama kemudian, Perawat itu kembali berjalan keluar kamar, aku berteriak memanggilnya. "Suster mau kemana, jangan pergi. Aku udah gak tahan lagi," pekikku kencang. "Mas, sakit Mas. Aku nggak mau lagi kalau kayak gini. Aku mau operasi saja." Aku berkata sembari menatap ke arah Mas Abi yang masih berdiri di samping ranjang. Wajahnya tampak khawatir melihatku. Pria itu kembali duduk di atas kursi yang berada di samping ranjangku."Iya udah, ayo gimana baiknya," sahutnya seraya meriah tanganku lagi. Tak lama berselang, masuk lagi dua orang perawat ke dalam kamarku."Mari Bu, ke ruang tindakan," ucap salah satu dari perawat tersebut. "Saya udah gak bisa bangun lagi, Sus." Rasanya aku memang sudah tidak sanggup b
POV SafaWaktu berlalu dengan cepat, tidak terasa usia kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. Setelah trimester kedua tidak ada drama lagi dalam kehamilanku, aku sudah bisa mulai memakan apa saja dan berat badanku serta bayi beserta naik secara signifikan. Pada pemeriksaan terakhir kali beberapa waktu lalu, dokter mengatakan semuanya baik-baik saja. Posisi bayi sudah sempurna, berat badannya cukup, air ketuban cukup, plasenta masih bagus. juga cukup insya Allah kan aku bisa melahirkan secara normal seperti saat aku melahirkan Albi dulu. Aku mulai rajin jalan-jalan begitu usia kandunganku memasuki trimester ketiga, makan buah-buahan yang bagus untuk ibu hamil yang sudah mendekati masa HPL. Diantaranya saja buah nanas.Buah nanas memiliki kandungan bromelain yang mampu membantu melunakkan leher rahim hingga memicu kontraksi pada ibu hamil. Namun buah ini tidak disarankan dikonsumsi secara berlebihan karena menyebabkan diare yang tidak menyamankan ibu hamil saat melahirkan. Ka
POV Abimanyu"Tega sekali kalian," terdengar suara Safa sedang berbicara dengan orang.Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi sangat jelas mendengar suara Safa, kami tadi bergantian ke kamar mandi setelah pulang dari rumah Mama. Meskipun sampai rumah sudah jam setengah sepuluh malam tapi aku memutuskan mandi dengan air hangat. Meskipun sudah jam sepuluh malam, tapi istriku itu tetap melakukan panggilan video dengan temannya. Sepertinya itu dengan Kaira dan juga Lili, mereka berdua memang membantuku untuk membawa Safa keluar dari rumah, sebelum akhirnya aku jemput untuk pergi ke rumah Mama. Pelan kuayunkan langkah mendekat pada istriku yang sedang duduk di depan meja riasnya. Bercermin sambil menelpon teman-temannya. Aku berdiri di sampingnya, bisa melihat layar smartphone milik Safa tapi Lili dan Kaira tidak bisa melihatku."Kalian sengaja membohongiku, kan? Jadi sebenarnya Lili itu mau beli baju beneran atau enggak sih? Atau cuma akal-akalan kamu saja, Li?" tanya sama pada te
POV Abimanyu"Mas, tega kamu melakukan ini padaku. Kamu yang salah, masa aku yang harus kena omelan mama," ucap Safa dengan wajah memelas. Sebenarnya aku tidak tega melakukan ini padanya, tapi ini adalah bagian dari skenario untuk memberinya kejutan. "Ya mau bagaimana lagi, Mama yang minta kamu kesana. Yang penting kita ke sana dulu saja.""Aku nggak mau pokoknya," tolak Safa. matanya mulai berembun.Antara mama dan Safa memang tidak pernah terjadi perseteruan. Hanya sekali waktu pertemuan kami sebelum menikah, dimana saat itu Mama melukai Safa dengan perkataannya. Dan swkali setelah menikah, saat Qia ngambek dan minta diantar ke rumah Omanya, lalu ke kuburan mending Mamanya. Mungkin momen itu begitu membekas di hati Safa hingga dia tidak mau juga mama kembali berkata buruk padanya. "Aku lagi hamil Mas, masa kamu tega melihat istrimu dimarahi oleh mamamu?" kali ini Safa mulai terisak.Hormon kehamilan membuatnya menjadi wanita yang mudah menangis. membuatku malah menjadi khawatir p
Sepeninggalnya Lili, aku dan Kaira kembali ke ruang kerja Kaira. Temanku itu mengajakku untuk berbicara dengan santai di ruang kerjanya. "Aku nggak nyangka kamu bakalan bisa akur dengan istri dari mantan suamimu. Ini sungguh sesuatu yang sangat langkah," ucap Kaira begitu kami sampai di dalam ruangannya."Jika Itu bukan Lili, mungkin aku tidak akan bisa juga akrab dengannya. Apalagi menjalin keakraban dengan segala yang berhubungan dengan mantan suamiku. Ditambah lagi perpisahan kami dulu sangat menyakitkan, tapi semuanya sudah berlalu aku sudah mendapatkan banyak kebahagiaan dan aku juga sudah move on dari segala masa laluku itu.""Termasuk dengan wanita yang menjadi penyebab hancurnya rumah tanggamu?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Kaira. "Bagaimana kabar wanita itu? Apa kamu masih mendengar tentangnya? Dia masih satu kampung dengan kamu kan.""Dia sudah mendapatkan balasannya, dan sekarang mungkin dia sudah menjadi orang yang lebih baik. Sudahlah, jangan
"Termasuk apa Lili?" tanyaku penasaran. "Termasuk dia yang dijadikan ibu pengganti. Aku tidak habis pikir dengan hal itu. Itu mungkin pukulan berat yang membuat wanita itu jadi insyaf.""Dia cerita apa lagi?""Tentang itu saja mbak yang bikin aku shock.""Dania cerita juga tentang aku?" Aku mencoba memancing Lili bercerita yang lain. "Enggak Mbak, memangnya Mbak Safa ketemu dengannya juga?""Enggak sih kalau di kota ini, tapi pas aku pulang kampung sempat bertemu dengannya dan seperti padamu, dia juga minta maaf padaku," jawabku apa adanya.Jadi Dania tidak menceritakan tentang aku, syukurlah. Wanita itu memang benar-benar sudah berubah. "Oh iya Mbak, bisa nggak Mbak Safa nemenin aku ke butik Mbak Kaira lagi," ucap lili mengubah topik pembicaraan. "Memangnya kamu mau memesan baju pernikahan?" tanyaku dengan penasaran.Pasalnya kerjasama antara Lili dan Kaira waktu itu tidak jadi. Lili bilang menjual baju pengantin tidak semudah menjual baju yang aku produksi maupun yang diproduksi
"Tadaaa ....," serunya sembari mengangkat sebuah rantang berwarna orange tepat di hadapanku. Aku masih memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Apakah kejutan yang dia maksud adalah dengan memberiku sebuah rantang kejutan, macam apa ini."Ini kejutannya, kamu memberiku rantang?"Ini bukan sekedar rantang, Mbak. Yang paling penting adalah isinya. Kata Mas Abi, kamu menginginkan masakan Ibuku, kan. Nah di dalam rantang ini ada masakan spesial yang Ibuku masakan buat kamu. Selain rantang ini ada juga yang di dalam itu, ucap Lili panjang lebar sambil menunjuk goodie bag. Wah jadi mas Abi benar-benar mengatakan keinginanku pada Lili. Kapan dia mengatakan, ternyata suamiku itu benar-benar memenuhi semua keinginanku bahkan hal ini pun tanpa sungkan ia lakukan."Kapan mas Abi bilang padamu?" Aku bertanya dengan penasaran"Bukan padaku sih, tapi suamimu itu bilang pada Mas Galih, kemudian Mas Galih bilang padaku, terus aku bilang pada ibu deh," tutur Lili jelaskan. Oh ternyata begitu cer