POV SafaWaktu bergulir dengan sangat cepat, tidak terasa usia Albirru sudah menginjak dua tahun, sedangkan pernikahanku dengan mas Abi hampir berjalan empat tahun. Empat tahun yang penuh dengan kebahagiaan, empat tahun yang selalu dihiasi oleh senyuman. Hal-hal kecil yang menjadi sandungan tentu saja ada seperti kecemburuan Qia pada adiknya, tentu saja itu adalah hal yang wajar. Namun lambat laun gadis kecil itu mau mengerti juga. Saat ini, Qia sudah berada di kelas tiga sekolah dasar. Seiring bertambahnya usia, putri sambungku itu juga semakin dewasa dan mengerti. Pagi yang cerah ini, kami berempat bersiap-siap untuk pergi liburan. Tepat dimana anak-anak libur setelah semesteran, begitu juga Mas Abi. Kalau aku, kapanpun mau libur biasa saja.Mas Abi, mengajak kami ke tempat dimana dulu aku dan dia staycation. Tempat yang akan kami datangi bersama anak-anak, dan kali ini kami benar-benar akan kesana. Qia dan Albi duduk di kursi penumpang belakang, putra kecilku itu duduk dengan m
"Mbak Safa disini juga ternyata," ucap Lili menyalamiku dan memelukku. Wanita itu selalu ceria dan menyapa dengan hangat saat bertemu denganku. "Kamu juga ternyata disini?" balasku sambil tersenyum"Ini pasti si jagoan, Albirru, ya." Lili berkata sambil mencubit gemas pipi putraku. "Apa kabar kalian?" tanya mas Galih menatap kearah suamiku. "Baik," jawab mas Abi pendek. Nampak suasana sedikit canggung diantara kami. Hanya Lili yang tidak pernah bersikap canggung. "Mau berenang?" tanya mas Abi pada mas Galih. "Tidak, nggak bawa baju ganti. Tadi memang tidak berniat untuk berenang tapi pas istriku melihat kalian jadi malah kesini," jawab Mas Galih. "Kamu main air saja dulu sama si kecil ini, mas. Aku ingin ngobrol sama mbak Safa. Boleh kan?" tanya Lili pada sang suami. "Baiklah," sahut Mas Galih mengalah. Kedua pria itu lantas pergi ke arah kolam renang bersama Qia dan Albi. Sedangkan aku dan Lili memilih duduk di kursi yang tersedia di tempat itu. Kami memilih kursi yang ada
Kehidupanku perlahan berubah menjadi lebih baik setelah menikah dengan Lili, wanita itu Seperti pembuka rezeki buatku. Perlahan namun pasti, usaha kami makin berkembang lagi seperti dulu. Aku mulai bisa mengumpulkan uang untuk membeli rumah mungil, setidaknya agar wanitaku itu hidup lebih nyaman di rumah yang terpisah dengan tempat usaha. Awalnya dia mengusulkan untuk membeli lagi rumahku yang dulu, namun disana banyak kenangan dengan ketiga wanita yang pernah ada di hatiku, Ibu, Safa dan Dania. Jika itu kenangan tentang ibu, aku tidak masalah, namun untuk Dania dan Safa, mereka adalah masa lalu yang tidak ingin terus aku kenang. Yang satu wanita yang aku sakiti, dan satunya lagi wanita yang menyakitiku. Hingga kini, kami belum juga memiliki buah hati, namun Lili tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia tahu aku yang punya kekurangan, namun tak pernah sekalipun membahasnya. Setelah memiliki rumah, aku berkeinginan untuk membelikan mobil untuknya. Meskipun dia jarang berpergian, n
POV GALIHPagi hari saat kami hendak berjalan-jalan menikmati fasilitas disekitar hotel, tidak sengaja kami melihat Safa beserta suami dan anak-anaknya. Sebenarnya aku ingin menghindari mereka, namun Lili malah mengajakku untuk bertemu dengan mereka. Lili selalu nyaman bersama dengan Safa meskipun dia adalah mantan istriku, bahkan mereka menjalin kerjasama. Aku tidak terkejut dengan hal itu, sejak awal mereka memang sudah dekat dan Safa bukanlah orang yang pantas untuk dihindari. Rasa canggung awalannya memang menghampiri diriku, bagaimana dulu sikapku pada mereka tentu saja memicu hal tersebut. Safa nampak bahagia dengan suaminya, seorang anak laki-laki berada diantara mereka. Akhirnya Safa membuktikannya jika dia bukanlah wanita yang tidak bisa memiliki buah hati. Anak laki-laki itu lincah dan tampan, aku tidak iri pada kebahagiaan mantan isteriku itu. Aku ikut bahagia atas kebahagiaannya, wanita itu pantas mendapatkannya. Kebahagiaan yang tak pernah didapatkan saat bersamaku.Li
POV LiliLangkahku terhenti saat ada seorang memanggilku, aku berhenti di koridor menuju toilet wanita. Beberapa saat yang lalu aku baru saja keluar dari tempat itu untuk menuntaskan hajatku. Suasana disini yang cukup dingin membuatku ingin ke toilet begitu selesai makan malam bersama dengan Mas Galih dan Mbak Safa. Keduanya bertemu untuk saling membuka hati dan meminta maaf serta memaafkan. Apa yang terjadi dimasa lalu antara mereka adalah hal yang besar, banyak orang diluar sana yang pasti tidak akan bisa memaafkan perbuatan yang seperti dilakukan oleh Mas Galih, suamiku saat ini. Mungkin memaafkan bisa, tapi melupakan tentu akan sangat sulit. Meskipun begitu, Mbak Safa berkenan untuk bertemu kami, bersedia menjadi temanku, itu sungguh luar biasa. "Iya, ada apa?" sahutku malas. Wanita itu, wanita yang sudah menjadi penghancur mahligai rumah tangga Mbak Safa dan Mas Galih dulu. Lalu meninggalkan suaminya begitu saja saat dalam keadaan terpuruk, memang dia hanya ingin enaknya saja
POV GALIH____&&____"Tauge lagi?" gumamku dalam hati. Aku menatap nanar kearah sayuran yang terbuat dari kecambah kacang hijau yang terhidang di meja makan, malam ini. Kali ini, Lili membuat oseng-oseng toge dicampur dengan wortel. Sudah hampir dua minggu ini, sayuran satu itu selalu terhidang di meja seakan-akan seperti menu utama. Kadang di campur dengan tahu, kadang kacang panjang, kadang teri, kadang udang, bahkan di sup. Selama itu juga aku tidak menanyakan apapun, memakan semua yang terhidang di atas meja makan dengan tenang karena memang masakan istriku itu selalu terasa nikmat dilidahku. Namun lama-kelamaan aku mulai bertanya-tanya dengan hal ini. Kenapa sayur dengan ekor panjang itu selalu saja ada diantara makanan kami. Dengan cekatan, Lili menyendok nasi kedalam piring, kemudian memberikan ikan bawal bakar dan oseng tauge tersebut kedalam piring yang sama lalu menyerahkan padaku. "Kenapa mas?" tanyanya padaku, mungkin dia merasa sejak tadi aku memperhatikannya. "Kena
POV SafaBeberapa bulan setelah pertemuanku dengan Mantan suamiku dan Lili yang terjadi secara tidak sengaja di hotel saat kami berlibur dengan anak-anak, membuat hubunganku dengan istri mantan suamiku itu kian dekat saja. Kerjasama kami berjalan dengan lancar, bahkan sekarang aku mempekerjakan karyawan khusus untuk menerima pesanan dari toko onlinenya Lili dan juga karyawan khusus packing. Itu kami lakukan agar proses pengiriman berlangsung secara cepat, bukankah ketepatan waktu pengiriman akan membuat pelanggan jauh lebih puas. Jadi Lili yang memasarkan sedangkan bagian karyawanku yang menyediakan. Komunikasi secara online tentu saja wajib berjalan dengan lancar. Sebenarnya bisa saja aku membuka toko online sendiri, tapi sepertinya akan kewalahan menghandle segalanya. Cukuplah memiliki toko di pusat grosir dan menerima pesanan dari pelanggan saja, aku harus membagi waktu untuk kedua buah hati dan juga suamiku. Lagipula, Mas Abi memberikan nafkah lebih dari cukup. Semua yang 'kul
Perjalanan kami menuju rumah sakit tempat dimana aku periksa dan melahirkan Albi berjalan tanpa hambatan. Aku sendiri yang menyetir mobilnya. Antusiasme yang ada dalam diriku, itu karena tahu bagaimana perjuangan dan usaha Lili untuk memiliki buah hati. Berharap kali ini keinginannya akan menjadi kenyataan. Setelah cukup lama menunggu antrian, akhirnya nama Lili di panggil juga. "Aku masuk sendiri saja ya, mbak. Mbak Safa tunggu saja disini," pintanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk mengiyakan, itu hak Lili untuk menolakku menemaninya. Harusnya suaminya yang menemani, tapi malah aku yang memaksanya untuk periksa sekarang juga. Sesaat setelah wanita itu masuk ke ruang praktek dokter, aku berinisiatif untuk menelpon Mas Abi. Tadi tidak sempat pamit dan langsung saja berangkat. Beberapa waktu menunggu, akhirnya panggilan telponku diangkat juga oleh Mas Abi. "Mas, aku sedang berada di rumah sakit," ucapku setelah sebelumnya mengucap salam. "Kenapa, kamu sakit?" tanyanya deng
Mobil yang dikendarai Mas Abi bergerak menjauhi rumah kami. Hari ini lelakiku itu mengajakku jalan-jalan tanpa anak-anak bersama kami. Dia ingin mengajakku refreshing, menyenangkan diri, merilekskan tubuh dan otot-otot setelah beberapa waktu yang lalu berjuang melahirkan putra kami. Awalnya aku menolak karena kasian anak-anak, ditambah lagi bayi kami baru dua bulan. Gimana jika nanti rewel kalau ditinggal. Setelah meyakinkan diriku, akhirnya aku mengikuti kemauan Mas Abi. Qia dan Albi pergi ke rumah Omanya. Keduanya di jemput pagi-pagi sekali, sedangkan Azam di rumah dengan pengasuhnya. Aku sudah menyediakan ASIP yang cukup banyak, cukup hingga sore atau bahkan malam nanti. "Kemana kita, Mas?" Tanyaku pada lelaki yang duduk di sampingku.Fokus menyetir kendaraan roda empat yang kami tumpangi. "Bersenang-senang. Mencari hiburan, kamu pasti penat terus berada dirumah. Sejak melahirkan, kamu belum pergi kemanapun." Perkataan Mas Abi memang benar, sejak melahirkan aku menghabiskan ba
Rumah sudah mulai sepi kembali, tinggal Mama dan Papa, juga kedua teman yang selalu ada untukku, Kaira dan Lili.Hari ini kami mengadakan acara aqiqah untuk anak ke tiga kami. Bayi laki-laki yang kami beri nama Khairul Azzam itu, saat ini sudah berusia dua minggu. Kami sengaja melakukan acara aqiqah setelah dua minggu kelahirannya agar keadaanku sudah pulih saat kami mengadakan acara tersebut. Bahkan Kaira dan Lili juga tidak aku izinkan untuk datang menengok saat aku masih dalam keadaan belum sehat. Hari ini adalah hari pertama mereka datang setelah aku melahirkan. Saat itu aku memang benar-benar ingin istirahat total tanpa ada yang menjenguk, hanya Mama dan Papa yang bolak-balik datang ke rumah kami. Kelahiran kali ini begitu sulit, penuh dengan perjuangan, sehingga aku tidak mau segera ditengok oleh siapapun agar bisa banyak beristirahat. Aku, Kaira, dan Lili, saat ini sedang berada di teras rumah. Tadi setelah acara memang keduanya sengaja tidak pulang dan ingin ngobrol dengank
"Apa maksudnya, Suster. Ini sudah sakit sekali bagaimana bisa masih belum," erangku menahan rasa sakit yang kembali datang. "Sabar yaa, Bu." Perawat itu membantuku tidur miring kembali dan mengusap-usap pinggangku.Nyaman terasa saat tangan lembut itu mengusap pinggangku. Tak lama kemudian, Perawat itu kembali berjalan keluar kamar, aku berteriak memanggilnya. "Suster mau kemana, jangan pergi. Aku udah gak tahan lagi," pekikku kencang. "Mas, sakit Mas. Aku nggak mau lagi kalau kayak gini. Aku mau operasi saja." Aku berkata sembari menatap ke arah Mas Abi yang masih berdiri di samping ranjang. Wajahnya tampak khawatir melihatku. Pria itu kembali duduk di atas kursi yang berada di samping ranjangku."Iya udah, ayo gimana baiknya," sahutnya seraya meriah tanganku lagi. Tak lama berselang, masuk lagi dua orang perawat ke dalam kamarku."Mari Bu, ke ruang tindakan," ucap salah satu dari perawat tersebut. "Saya udah gak bisa bangun lagi, Sus." Rasanya aku memang sudah tidak sanggup b
POV SafaWaktu berlalu dengan cepat, tidak terasa usia kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. Setelah trimester kedua tidak ada drama lagi dalam kehamilanku, aku sudah bisa mulai memakan apa saja dan berat badanku serta bayi beserta naik secara signifikan. Pada pemeriksaan terakhir kali beberapa waktu lalu, dokter mengatakan semuanya baik-baik saja. Posisi bayi sudah sempurna, berat badannya cukup, air ketuban cukup, plasenta masih bagus. juga cukup insya Allah kan aku bisa melahirkan secara normal seperti saat aku melahirkan Albi dulu. Aku mulai rajin jalan-jalan begitu usia kandunganku memasuki trimester ketiga, makan buah-buahan yang bagus untuk ibu hamil yang sudah mendekati masa HPL. Diantaranya saja buah nanas.Buah nanas memiliki kandungan bromelain yang mampu membantu melunakkan leher rahim hingga memicu kontraksi pada ibu hamil. Namun buah ini tidak disarankan dikonsumsi secara berlebihan karena menyebabkan diare yang tidak menyamankan ibu hamil saat melahirkan. Ka
POV Abimanyu"Tega sekali kalian," terdengar suara Safa sedang berbicara dengan orang.Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi sangat jelas mendengar suara Safa, kami tadi bergantian ke kamar mandi setelah pulang dari rumah Mama. Meskipun sampai rumah sudah jam setengah sepuluh malam tapi aku memutuskan mandi dengan air hangat. Meskipun sudah jam sepuluh malam, tapi istriku itu tetap melakukan panggilan video dengan temannya. Sepertinya itu dengan Kaira dan juga Lili, mereka berdua memang membantuku untuk membawa Safa keluar dari rumah, sebelum akhirnya aku jemput untuk pergi ke rumah Mama. Pelan kuayunkan langkah mendekat pada istriku yang sedang duduk di depan meja riasnya. Bercermin sambil menelpon teman-temannya. Aku berdiri di sampingnya, bisa melihat layar smartphone milik Safa tapi Lili dan Kaira tidak bisa melihatku."Kalian sengaja membohongiku, kan? Jadi sebenarnya Lili itu mau beli baju beneran atau enggak sih? Atau cuma akal-akalan kamu saja, Li?" tanya sama pada te
POV Abimanyu"Mas, tega kamu melakukan ini padaku. Kamu yang salah, masa aku yang harus kena omelan mama," ucap Safa dengan wajah memelas. Sebenarnya aku tidak tega melakukan ini padanya, tapi ini adalah bagian dari skenario untuk memberinya kejutan. "Ya mau bagaimana lagi, Mama yang minta kamu kesana. Yang penting kita ke sana dulu saja.""Aku nggak mau pokoknya," tolak Safa. matanya mulai berembun.Antara mama dan Safa memang tidak pernah terjadi perseteruan. Hanya sekali waktu pertemuan kami sebelum menikah, dimana saat itu Mama melukai Safa dengan perkataannya. Dan swkali setelah menikah, saat Qia ngambek dan minta diantar ke rumah Omanya, lalu ke kuburan mending Mamanya. Mungkin momen itu begitu membekas di hati Safa hingga dia tidak mau juga mama kembali berkata buruk padanya. "Aku lagi hamil Mas, masa kamu tega melihat istrimu dimarahi oleh mamamu?" kali ini Safa mulai terisak.Hormon kehamilan membuatnya menjadi wanita yang mudah menangis. membuatku malah menjadi khawatir p
Sepeninggalnya Lili, aku dan Kaira kembali ke ruang kerja Kaira. Temanku itu mengajakku untuk berbicara dengan santai di ruang kerjanya. "Aku nggak nyangka kamu bakalan bisa akur dengan istri dari mantan suamimu. Ini sungguh sesuatu yang sangat langkah," ucap Kaira begitu kami sampai di dalam ruangannya."Jika Itu bukan Lili, mungkin aku tidak akan bisa juga akrab dengannya. Apalagi menjalin keakraban dengan segala yang berhubungan dengan mantan suamiku. Ditambah lagi perpisahan kami dulu sangat menyakitkan, tapi semuanya sudah berlalu aku sudah mendapatkan banyak kebahagiaan dan aku juga sudah move on dari segala masa laluku itu.""Termasuk dengan wanita yang menjadi penyebab hancurnya rumah tanggamu?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Kaira. "Bagaimana kabar wanita itu? Apa kamu masih mendengar tentangnya? Dia masih satu kampung dengan kamu kan.""Dia sudah mendapatkan balasannya, dan sekarang mungkin dia sudah menjadi orang yang lebih baik. Sudahlah, jangan
"Termasuk apa Lili?" tanyaku penasaran. "Termasuk dia yang dijadikan ibu pengganti. Aku tidak habis pikir dengan hal itu. Itu mungkin pukulan berat yang membuat wanita itu jadi insyaf.""Dia cerita apa lagi?""Tentang itu saja mbak yang bikin aku shock.""Dania cerita juga tentang aku?" Aku mencoba memancing Lili bercerita yang lain. "Enggak Mbak, memangnya Mbak Safa ketemu dengannya juga?""Enggak sih kalau di kota ini, tapi pas aku pulang kampung sempat bertemu dengannya dan seperti padamu, dia juga minta maaf padaku," jawabku apa adanya.Jadi Dania tidak menceritakan tentang aku, syukurlah. Wanita itu memang benar-benar sudah berubah. "Oh iya Mbak, bisa nggak Mbak Safa nemenin aku ke butik Mbak Kaira lagi," ucap lili mengubah topik pembicaraan. "Memangnya kamu mau memesan baju pernikahan?" tanyaku dengan penasaran.Pasalnya kerjasama antara Lili dan Kaira waktu itu tidak jadi. Lili bilang menjual baju pengantin tidak semudah menjual baju yang aku produksi maupun yang diproduksi
"Tadaaa ....," serunya sembari mengangkat sebuah rantang berwarna orange tepat di hadapanku. Aku masih memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Apakah kejutan yang dia maksud adalah dengan memberiku sebuah rantang kejutan, macam apa ini."Ini kejutannya, kamu memberiku rantang?"Ini bukan sekedar rantang, Mbak. Yang paling penting adalah isinya. Kata Mas Abi, kamu menginginkan masakan Ibuku, kan. Nah di dalam rantang ini ada masakan spesial yang Ibuku masakan buat kamu. Selain rantang ini ada juga yang di dalam itu, ucap Lili panjang lebar sambil menunjuk goodie bag. Wah jadi mas Abi benar-benar mengatakan keinginanku pada Lili. Kapan dia mengatakan, ternyata suamiku itu benar-benar memenuhi semua keinginanku bahkan hal ini pun tanpa sungkan ia lakukan."Kapan mas Abi bilang padamu?" Aku bertanya dengan penasaran"Bukan padaku sih, tapi suamimu itu bilang pada Mas Galih, kemudian Mas Galih bilang padaku, terus aku bilang pada ibu deh," tutur Lili jelaskan. Oh ternyata begitu cer