“Iya, kalau nggak habis nanti biar dihangatin aja buat tambahan sarapan besok.” Kalingga mengiyakan. Kalau soal makanan, Kalingga aman-aman saja, tidak terlalu pemilih. “Oh iya Ning, saya mau bicara sesuatu.” Bening yang sedang memidahkan makanan-makanan itu dari kotak ke piring langsung menoleh.
Kalingga memijat pelipisnya sendiri. Pening sekali ia menghadapi Maya. Meski agak khawatir juga, tetapi Kalingga yakin Maya tidak sakit parah. Masalahnya, kalau dibiarkan begitu terus, Maya bisa semakin parah. “Ya udah, saya ke apartemennya sekarang.” Perempuan di seberang panggilan itu bernapas l
Bening kebingungan melihat tingkah Kalingga yang sungguh berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi kepada Kalingga hingga pria itu pulang dalam keadaan seperti ini? Ketika pamit tadi, Kalingga tampak baik-baik saja. Lalu kemudian ia kembali terlambat, dan dalam kondisi yang berbeda. Terlebih, ia terus me
Wildan mendecak. “Bukan urusan kamu.” Susan di seberang panggilan mengepalkan telapak tangannya. Selalu saja, Bening, Bening, dan Bening. Sampai kapan Wildan akan terus mengejar-ngejar perempuan itu? Susan sebenarnya lelah terbayang-bayangi Bening terus. Sialnya, Wildan tidak mau menyerah untuk men
Wildan yang panik langsung menggendong Susan yang mengalami pendarahan. Ia menghubungi ambulans kemudian Susan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Susan terus mengerang kesakitan sambil meremas telapak tangan Wildan. Ia menangis sambil menggigit bibirnya, b
“San… Tenang…” “Mana bisa aku tenang, Mas?! Kamu sendiri bisa-bisanya santai aja saat tau anak kita meninggal?!” Wildan memijat pelipisnya. “Siapa yang santai sih? Kalau aku santai, nggak akan aku telepon ambulans dan nungguin kamu sampai sadar di rumah sakit.” Susan kelihatan sakit hati. Ia teru
Hari ini, Kalingga secara khusus mengajak Bening untuk belajar beladiri sesuai dengan apa yang ia bilang sebelumnya. Sebelum belajar beladiri, Kalingga mengajak Bening untuk jogging terlebih dahulu sebagai pemanasan agar nanti meminimalisir terjadi cedera. Selesai jogging bersama, Kalingga masih k
“Hari ini sarapan di luar saja, mau? Kamu pasti lelah setelah latihan.” Bening mengangguk. “Boleh.” Mereka berdua pun pergi ke warung makan di dekat battalion yang memang selalu buka di pagi hari, makan berdua seolah sedang kencan, padahal dengan pakaian yang lumayan basah dengan keringat. * Har
Setelah semua urusan selesai, Langit dan Dahayu akhirnya pulang ke rumah. Karena Dahayu mengendarai mobilnya sendiri, Langit mengikutinya dari belakang dan memastikan wanita itu tidak menghilang dari pengawasannya. Langit langsung menarik Dahayu masuk ke kamar begitu mereka sampai. Dahayu pasrah-p
Sudah dua jam berlalu sejak Langit keluar dari rumah. Dahayu mulai khawatir. Pasalnya, laki-laki itu sama sekali tidak menghubunginya. Pikiran Dahayu mulai tertuju kepada klub malam. Namun, dengan segera dia mengenyahkan kemungkinan itu. “Langit udah berubah. Dia nggak bakalan pergi ke klub malam l
“Ya Allah, beneran, Yu?” Bening sampai tidak percaya mendengarnya. Semua orang di meja makan terlihat tersenyum, terutama ibu Langit yang akhirnya mendapatkan cucu pertamanya. Dahayu malah malu sendiri karena menjadi pusat perhatian. Bening berdiri dari kursinya dan menghampiri Dahayu, memeluk putr
Bibir mereka tidak menempel lama. Karena tiba-tiba Dahayu mendorong Langit dan beringsut menjauh. Wajahnya memerah padam dan jantungnya berdebar tak karuan, tetapi dia justru menolak bertautan dengan Langit. Langit menatap Dahayu dengan kecewa. “Kenapa, Yu? Apa aku salah cium kamu? Aku ‘kan suami k
Buket bunga yang Langit bawa cukup besar. Dahayu sampai kesulitan membawanya dan hampir tidak bisa melihat apa pun. Sementara itu Langit tersenyum kecil melihat Dahayu kewalahan membawa buket itu. Dia mengikuti istrinya memasuki rumah singgah. Ini bukanlah kunjungan pertama Langit ke rumah ini, teta
“Kamu... hamil?” Dahayu mengangguk pelan. Tanpa sadar tangannya berdiam di perutnya sendiri. “Iya, aku hamil. Karena itu, aku mutusin kasih kamu kesempatan. Aku nggak ingin anak ini terlahir tanpa seorang ayah,” ujarnya lirih. Langit menelan ludah, masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Akhirnya, Dahayu berbicara dengan Langit di ruang tunggu rumah sakit. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di sekitar sana sehingga mereka bisa berbicara dengan lebih leluasa. Akan tetapi, kehadiran Sagara di antara pasangan suami-istri itu membuat suasana menjadi tegang. Sagara terus memperhatika
Setelah mengetahui dirinya hamil, Dahayu tidak bisa berhenti menangis. Tangannya gemetaran memegangi testpack yang memperlihatkan dua garis biru. Dahayu bingung apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Haruskan Dahayu menyimpan semua ini sendirian ataukah memberiahukannya pada Langit? “Assalamualaik
Begitu tahu ibunya tak sadarkan diri, Langit langsung melarikan ibunya ke rumah sakit. Langit meminta tolong Bi Ikah untuk memegangi ibunya di bangku penumpang belakang. Kepalanya sedang berkecamuk, tetapi Langit harus bisa fokus pada jalanan di depannya demi menghindari kecelakaan. Mobil mewah Lan