"Kita lihat nanti saja ya, Mas!" jawab Najwa.Dia tak bisa berjanji. Takut, janji itu tak akan bisa dia tepati."Aku permisi dulu! Assalamualaikum!" pamitnya pada pria berambut gondrong itu. "Wa-waalaikumsalam," jawab Deva.Dia menyaksikan punggung Najwa yang perlahan hilang saat berbelok melewati rak berisi barisan Snack. Sementara, dirinya masih berdiam di sana hingga beberapa menit berlalu."Kali ini, aku nggak akan nyerah, Wa! Aku pasti akan berjuang untuk mendapatkan kamu. Tunggu, saja!" * Ting! Ting! Ting! Najwa membunyikan klaksonnya berkali-kali saat seorang pria berdiri sambil merentangkan tangan, menghalangi laju kendaraannya yang ingin masuk ke halaman rumahnya sendiri. Saat Najwa mengerem, laki-laki itu langsung menghampiri pintu pengemudi kemudian mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil Najwa. "Ada apa lagi, sih, Mas?" tanya Najwa dengan tampang yang terlihat teramat kesal. "Mas mau bicara! Tolong turun dulu!" pinta Bian. "Ck! Aku capek habis pulang kerja, Mas! Apa ngg
"Maaf, aku menolak!" jawab Najwa dengan tegas.Sementara, senyum di wajah Bian seketika sirna. Dia kecewa dengan jawaban Najwa."Loh, kenapa? Apa kamu takut, Ibu akan merepotkan kamu? Tenang aja! Begitu Mas sudah dapat kerjaan, Mas akan rutin mengirim uang untuk biaya hidup Ibu selama tinggal sama kamu.""Bukan hanya uang yang jadi masalah!" bantah Najwa. "Bi Iroh aku pekerjakan hanya untuk mengurus rumah. Kalau aku minta dia untuk merawat Ibu kamu juga tanpa tambahan bayaran sepeserpun, pasti dia bakalan nolak dan memilih untuk resign saja.""Kan a...,""Begitu pun dengan Ibu aku! Aku ngajakin Ibu ke sini hanya untuk liburan dan senang-senang. Bukan untuk disuruh merawat mantan besan yang dari dulu nggak pernah bisa menghargai beliau." Cepat, Najwa memotong kalimat Bian dengan kata-kata yang tajam dan begitu menohok.Seharusnya, Bian masih memiliki muka untuk sedikit tahu diri akan posisinya. Selama ini, dia dan Ibunya selalu menghina profesi kedua orangtua angkat Najwa yang hanya p
Bian terdiam sesaat. Dia mencerna tawaran Arlo dengan baik. Investasi? Ah, rasanya Bian kurang yakin dengan cara yang satu ini. "Nggak, ah!" tolak Bian. Dia kembali memasukkan satu suapan nasi ke dalam mulut. "Loh, kenapa? Padahal, gue udah baik banget loh, mau tawarin lu buat ikut investasi ini." Bian melirik Arlo sesaat. Kemudian, fokusnya kembali pada nasi yang kini hampir tandas diatas piring. "Entar, lu malah nipu gue, lagi." "Mana mungkin, Yan!" sangkal Arlo seraya berdecak kesal. Dia terlihat keberatan saat Bian mengatakan hal seperti itu tentang dirinya. "Gue ini sebenarnya cuma kasihan aja sama Lu. Makanya, gue nawarin lu buat ikut sama gue di investasi ini. Tapi, kalau lu nggak mau, ya udah! Gue sih, nggak ada masalah kalau misalnya lu memang nggak mau ikut. Tapi, jangan sebut gue penipu juga, dong! Tersinggung nih, gue!" "Ya, maaf, Lo! Kan, gue cuma waspada aja. Masalahnya, penipuan berkedok investasi udah mulai marak akhir-akhir ini." "Itu sih, kalau Lu memang nggak
Pulang ke rumah, Bian masih kepikiran soal investasi yang ditawarkan Arlo. Uang pemberian Salma masih tersisa lumayan banyak. Kurang lebih, sekitar delapan puluh juta-an. Haruskah dia investasikan semua uang itu atau tidak? "Nggak!" geleng Bian. "Kalau uang itu malah nggak balik lagi, gimana?," gumamnya sambil memikirkan kemungkinan yang terburuk dari skenario investasi ini. "Tapi, kalau ternyata Arlo memang jujur, bagaimana? Bukankah, itu sama saja dengan aku membuang kesempatan emas untuk menjadi kaya raya?" Arggh!! Bian benar-benar pusing. Dia tak tahu harus mengambil keputusan yang mana. Keesokan harinya, dia meminta Arlo untuk bertemu kembali. Kali ini, Bian sudah tak tahan lagi. Dia ingin mencoba menerima tawaran yang diberikan Arlo walau memiliki resiko yang begitu tinggi. "Kenapa lu ngajakin gue ketemu?" tanya Arlo begitu dia sampai di cafe tempatnya mengadakan janji temu dengan Bian. "Nggak apa-apa. Gue cuma mau ngajak lu ngobrol biasa aja. Maklum, gue nggak ada t
Melihat Bian yang sempat terdiam karena permintaannya, Arlo langsung segera memutar otak. Bian memang tidak mudah untuk dikelabui. Dari jaman mereka SMA, Bian memang tipe orang yang gampang curiga pada niat orang lain."Rekening gue kan udah terhubung tuh, sama perusahaan. Jadi, kalau lu tf ke situ, nanti yang ada duit lu kecampur sama punya gue. Terus, gue malah jadi pusing, gimana cara bagi hasil keuntungannya sama lu.""Lu nggak punya rekening lain?""Nggak ada."Bian menghela napas panjang. Baru kali ini dia menemukan seseorang yang hanya memiliki satu rekening saja. Padahal, ngakunya banyak uang."Lu kan banyak duit, Lo! Masa' rekening cuma ada satu?""Faktanya memang gitu, Bro! Gue malas yang ribet-ribet. Kalau udah punya satu rekening, kenapa harus buat lagi?"Bian mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang diucapkan Arlo mulai terasa masuk di akal. Ya, mungkin Arlo memang malas ribet saja. Lagipula, Bian juga tidak terlalu paham tentang alur investasi yang saat ini dia geluti. A
Beberapa tahun yang lalu..."Bro, muka lu kenapa? Kok, ditekuk gitu?" tanya Deva pada sahabat baiknya, Yogi."Gue ditolak, Bro!" jawab Yogi sambil menghenyakkan bokongnya disamping Deva. "Memang sialan itu cewek! Sok kecantikan banget, sumpah. Masa' mau dipegang tangannya aja, dia nggak mau? Jual mahal banget... padahal paling-paling isi bagian bawahnya juga udah jadi barang obralan."Cuih!Yogi meludah dengan kasar. Semua itu tak luput dari penglihatan Deva."Memangnya, siapa cewek itu?""Najwa Asyifa. Lu kenal, kan? Itu loh, yang sering main bareng sama kakak sepupu lu itu."Jantung Deva tersentak kuat. Tangannya reflek terkepal erat. Dia tahu, seperti apa karakter sahabat baiknya itu. Yogi bukan tipe pria yang akan menyerah dengan mudah jika ditolak wanita.Yogi selalu punya cara yang apik untuk membalaskan dendamnya. Kalau tidak mengumbar aib masa lalu si wanita, maka wanita tersebut akan dia jebak untuk bisa tidur dengannya."Lu jangan coba-coba balas dendam ke dia, Gi!" peringat
Najwa tertegun usai mendengar cerita Halimah. Jadi, gara-gara dirinya, Deva dulu sampai kena masalah?Diam-diam, Najwa mulai merasa bersalah. Jujur saja, dulu dia menganggap Deva sebagai seorang pengacau. Pemuda playboy yang gemar sekali berganti pacar setiap minggunya."Deva sebenarnya udah kagum dari dulu sama kamu loh, Wa!""Hah?" Najwa terlihat bengong. Otaknya masih berusaha mencerna tentang kejadian masa lalu yang ternyata berhubungan erat dengan dirinya."Deva kagum sama kamu sejak pertama kali kamu menginjakkan kaki di kampus kita. Tapi, karena dasarnya tuh anak sebenarnya pemalu, jadi dia cuma bisa mengagumi kamu diam-diam tanpa ada niat untuk ngajakin kamu kenalan.""Pemalu?" Najwa tertawa. "Masa' pemalu tapi tiap minggu selalu gonta-ganti pacar, sih, Kak?""Kata siapa? Deva belum pernah pacaran, tahu!" bantah Halimah. "Cewek-cewek itu aja yang ngaku-ngaku jadi pacarnya Deva. Padahal, aslinya mah enggak."Mulut Najwa mendadak bungkam. Ah, ternyata banyak sekali hal yang Najw
Dua bulan kemudian... Bian dilanda panik ketika Arlo selama satu setengah bulan ini tidak bisa dihubungi. Bagaimana tidak? Bian terlalu menggantungkan harapan pada uang yang dia berikan pada Arlo namun belum juga menemui titik terang sampai sekarang. "Apa aku ke rumahnya aja, ya?" lirih Bian bermonolog. Uangnya benar-benar sudah habis. Sehari-hari, Bian menyambung hidupnya bersama sang Ibu dengan menjadi juru parkir liar di depan sebuah minimarket yang tak jauh dari rumah kontrakannya. Beberapa kali pula, dia berusaha menemui Najwa di rumahnya. Namun, perempuan itu ternyata sudah pindah. Rumah itu sudah dikontrakkan pada orang lain yang membuat pikiran Bian semakin kalut. Padahal, hanya Najwa yang tersisa sebagai harapan untuk dapat membantu Bian. "Ya, aku harus ke rumahnya Arlo!" angguk Bian penuh keyakinan. Akhirnya, dengan menaiki motor matic milik sang adik, Bian berangkat menuju ke alamat yang pernah diberikan Arlo. Sesampainya, di sana, Bian tampak begitu syok saat melihat
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da