"Itu bukan Arlo?"Bian kembali merasa lemas. Yang keluar dari rumah mewah tersebut bukanlah Arlo, melainkan seorang pria yang sama sekali tidak Bian kenali."Apa jangan-jangan, Arlo ada didalam rumah itu, ya?" gumam Bian bermonolog.Tanpa berpikir lebih lama lagi, Bian langsung menghampiri pria itu. Kebetulan, orang bengkel yang mengantar mobil itu masih berdiri di sana dan mengajak pria itu mengobrol."Arlo, dimana?" tanya Bian."Anda siapa, ya?" Laki-laki pemilik mobil itu balik bertanya."Saya Bian. Teman sekolah Arlo dulu yang sudah dengan tega dia tipu," jawab Bian menggebu-gebu. "Sekarang, dimana dia? Dimana bajingan penipu itu?""Maaf, sepertinya Anda salah alamat. Di sini, bukan rumahnya Arlo.""Alah!!! Saya nggak percaya! Kamu pasti komplotan dia, kan? Ngaku saja!"Mata Bian nyalang memandang lawan bicaranya. Kehilangan uang delapan puluh juta begitu saja, benar-benar menenggelamkan akal sehatnya."Saya bahkan tidak kenal sama sekali dengan lelaki yang bernama Arlo itu," sang
Ditempat lain, Salma sedang menangis sesenggukan setelah mendapatkan satu tendangan yang cukup keras dari laki-laki yang terpaksa ia tampung setelah perselingkuhan mereka terbongkar. Sempat Salma pernah mencoba untuk mengusir Seno, namun upayanya ternyata tak membuahkan hasil. Video tak senonoh mereka yang Seno simpan di HPnya, menjadi senjata andalan pria itu untuk mengatur-atur Salma sesuka hati. "Dasar, perempuan nggak guna kamu, Salma! Masa' semalaman mangkal cuma dapat segini?" teriak Seno marah sambil menampar wajah Salma dengan uang lima ratus ribu yang dia rampas paksa saat Salma baru pulang tadi. "Ma-maaf, Mas! Semalam sepi. Jadi, Aku cuma dapat satu pelanggan aja," jawab Salma. Dia memegang perutnya yang terasa sangat sakit akibat tendangan keras dari Seno. Ya, semenjak Seno tinggal di rumah kontrakan itu bersama dirinya dan sang Ibu, Seno memang kerap kali memukuli Salma jika wanita itu tak bisa memenuhi keinginannya. Seno bahkan dengan teganya memaksa Salma untuk menja
Semakin hari, hidup semakin terasa sulit untuk Bian. Titik terang tentang keberadaan Arlo sampai detik ini masih belum ada juga.Bu Jannah juga semakin tampak kurus dari hari ke hari. Wanita paruh baya itu, semakin tak terawat dan jarang makan karena Bian memiliki kebiasaan baru yakni keluar selama berjam-jam, entah kelayapan kemana."Lapar!! Tolong! Sa-ya, la-par," teriak Bu Jannah lemah dari dalam kamarnya.Bau tak sedap tercium di seluruh penjuru kamar. Sudah dua hari, Bian membiarkan sang Ibu buang air kecil dan besar di tempat tidur dan tak pernah dibersihkan.Hal itu tentu saja membuat kondisi Bu Jannah semakin terlihat memprihatinkan."Tolong!! Saya mohon! Beri saya makanan... huhuhu...," dia menangis sesenggukan.Lemas, itu yang dia rasakan. Untungnya, Bian masih berbaik hati, memberinya air minum yang tersimpan didekatnya.Andai tak ada air minum, mungkin sejak kemarin, Bu Jannah sudah pingsan tak sadarkan diri."Tolong!!!"Brak!Bu Jannah tersentak kala mendengar suara pintu
Kening Bian berkerut saat melihat didepan rumah kontrakannya tampak begitu ramai. Beberapa tetangga yang cukup Bian kenali wajahnya terlihat sedang membicarakan sesuatu namun mendadak diam saat menyadari kehadiran Bian. Hal itu tentu saja membuat Bian kebingungan. Dia curiga, jika telah terjadi sesuatu yang tidak-tidak didalam rumahnya. Apakah Ibunya meninggal dunia? Jika iya, Bian akan merasa sangat lega karena bebannya jadi berkurang satu. "Pak RT? Ibu? Ada apa ini rame-rame?" tanya Bian pada sang Ibu dan juga Pak RT. Sedikit ada rasa kecewa saat dia mengetahui bahwa Ibunya baik-baik saja. "Mas Bian darimana saja?" tanya Pak RT dengan tampang yang terlihat kurang senang dengan kedatangan Bian. "Memangnya, kenapa, ya, Pak?" Bian balik bertanya. "Ibunya Mas Bian, kasihan. Daritadi, beliau teriak-teriak minta makan karena katanya beliau kelaparan." Mata Bian reflek melebar. Dia menoleh menatap sang Ibu yang langsung tertunduk takut melihat dirinya. "Badannya juga kotor
"Ibu jangan aneh-aneh! Kenapa Ibu malah fitnah aku seperti ini, sih?"Bian mengeratkan rahangnya karena menahan emosi. Pandangan menghakimi dari orang-orang yang ada di sana sungguh membuatnya merasa sangat malu.Padahal, selama ini dia sudah berusaha membangun citra sebagai anak yang sangat berbakti. Menjual cerita kesedihan kepada para tetangga bahwa dia adalah pria malang yang ditinggal selingkuh oleh sang istri hanya karena alasan dirinya ingin tetap merawat Ibunya yang sedang lumpuh.Berkat cerita sedih itu lah, terkadang ada tetangga yang iba dan memberikan uang pada Bian supaya bisa membantu biaya terapi Bu Jannah. Sayang, uang itu malah Bian gunakan untuk modalnya main judi online."Ibu tak memfitnah! Ibu berkata benar! Kamu...," Bu Jannah menggeleng. Gurat kecewa tergambar jelas di wajah keriputnya yang basah karena air mata."Kamu bukan lagi anak Ibu yang baik, Nak! Kamu berubah," lirih Bu Jannah penuh kecewa."Bu... tolong hentikan sandiwara Ibu! Orang-orang akan semakin sa
"Bi! Bi Iroh!" panggil Najwa sambil mengetuk pintu kamar asisten rumah tangganya."Iya, Mbak. Sebentar," sahut wanita berbadan besar itu dari dalam kamar.Tak berselang lama, pintu kamar itu akhirnya terbuka. Bi Iroh keluar sambil mengucek-ucek matanya."Kenapa, Mbak? Mbak Najwa butuh sesuatu?" tanya Bi Iroh."Saya mau ke suatu tempat, Bi. Bibi bisa temani saya?" tanya Najwa to the point."Kemana?""Nanti saya jelaskan di mobil saja. Sekarang, Bi Iroh siap-siap dulu, ya! Ini penting!"Asisten rumah tangga tersebut tak bertanya lagi. Buru-buru, dia masuk kembali ke dalam kamar untuk berganti pakaian.Begitu keluar, sebotol jus apel sudah tersuguh di depan matanya."Buat di mobil supaya Bi Iroh nggak ngantuk," ucap Najwa dengan senyuman."Ya ampun, Mbak Najwa baik sekali. Bibi jadi terharu," timpal Bi Iroh sambil menerima botol minum berisi jus apel yang dibuatkan Najwa untuk dirinya.Pak Haris dan Bu Dahlia sudah kembali ke kampung setelah membantu Najwa pindahan ke tempat yang baru. D
Ajal memang tak ada yang tahu. Tak pernah Najwa sangka, bahwa mantan ibu mertuanya akan berpulang secepat ini. Terlebih lagi, beliau berpulang dengan membawa luka hati yang teramat dalam akibat perbuatan putra kesayangannya."Pak, tolong kabari Bian kalau Bu Jannah sudah berpulang," tukas Bu Ana pada suaminya."Iya, Bu," angguk sang suami yang dengan sigap menaiki sepeda motornya menuju ke rumah Bian.Hampir sepuluh menit berselang, Pak RT kembali bersama dengan Bian. Beberapa warga lain turut ikut serta untuk membantu beberapa hal terkait mengurus jenazah."Ibu...," raung Bian sambil memeluk tubuh yang kini tak lagi bernapas itu."Bu, maafkan Bian, Bu! Bangun, Bu! Bian masih butuh Ibu," lanjut pria itu dengan suara bergetar.Dia memang pernah berharap supaya Ibunya lekas meninggal. Namun, saat hal itu benar-benar terjadi, hati Bian malah merasa sangat perih.Dia pikir dia akan baik-baik saja jika Ibunya tiada. Namun, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Hidup Bian malah terasa ha
Mendung menggantung di langit yang gelap. Dibawah air yang perlahan mulai jatuh membasahi bumi, Najwa dapat melihat Neti yang sedang meraung sambil memeluk papan yang bertuliskan nama sang Ibu."Bangun, Bu! Jangan tinggalkan Neti. Neti masih butuh Ibu."Teriakan memilukan Neti, menggema di sela hujan yang semakin deras. Wanita yang kini telah resmi dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun delapan bulan tersebut datang dengan diantar oleh beberapa petugas rutan."Sudahlah, Net! Ikhlaskan Ibu, ya!" hibur Bian. Dia memeluk sang adik dengan perasaan yang sama hancurnya."Kenapa Ibu cepat sekali ninggalin kita, Mas? Kenapa? Apa Ibu marah sama aku? Apa Ibu kesal, karena selama ini aku selalu cuek sama beliau?""Mungkin, ini yang terbaik, Net! Setidaknya, Ibu sudah tidak menderita lagi."Pandai sekali Bian menghibur adiknya. Padahal, dirinyalah pelaku utama yang membuat Ibunya selama ini menderita lahir dan batin.Tak hanya fisik yang dibiarkan menderita karena seringnya kelaparan. Tapi, ba
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da